SEORANG kawan berbisik: ''Bagus nggak, sih, foto-foto ini?'' Kawan itu baru saja selesai berkeliling menonton pameran foto ASEAN di lobi Plaza Indonesia, Jakarta, pekan lampau. Pameran yang diprakarsai Marina Mahathir ini, putri Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, juga dikelilingkan di enam negara ASEAN yang berpenduduk 300 juta jiwa ini. Di Jakarta pameran berlangsung sepekan, dan diresmikan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Joop Ave, awal Mei lalu. Foto yang ditampilkan tata warna ukuran 50 x 60 cm berbingkai, ditata dalam lima kategori. Yakni Dunia Kanak-Kanak, Upacara Keagamaan, Dunia Kerja, Waktu Senggang, dan Kebudayaan. Katalognya ukuran 26 x 26 cm setebal 160 halaman berharga Rp 75.000. Judulnya, sama seperti judul pameran: Eyes, sebuah muhibah fotografis di negara-negara ASEAN. Karya yang termaktub dalam buku ini berasal dari 5 fotografer Brunei, 17 dari Indonesia, 12 dari Malaysia, 8 dari Filipina, 10 dari Singapura, dan 13 dari Thailand. Kembali ke pertanyaan sang kawan tadi, dalam melihat satu foto, duduk soalnya bukan pada bagus atau tidak bagus. Sekadar contoh, foto diri Anda dalam ukuran setengah badan seraya bertopang dagu dan nyengir sampai tampak jelas gagang emas kaca matanya, atau arloji emas maupun gigi emas. Yakin, foto itu pasti bagus, ya, buat pajangan di rumah. Tapi bakal jadi bahan tertawaan jika disorongkan untuk keperluan KTP atau paspor. Artinya, nilai sebuah foto tergantung nawaitu atawa niat, dan sasarannya yang esensial bakal terbaca dalam penyajiannya. Tiap kategori didahului sejumlah kutipan yang merupakan pola editorial penataan pameran. Misalnya, tentang kanak-kanak Indonesia disebutkan: di mana-mana bocah meracak kerbau sepanjang jalan. Muhibah lewat foto ini berlangsung tahun 1993. Namun, pihak penyelenggara seakan amat menyetujui olok-olok tentang keajaiban kamera sebagai alat pembeku waktu, suatu pandangan anakronistik dengan referensi yang berasal dari masa silam nun di tahun 1924, berasal dari sudut pandang seorang koresponden koran Belanda. Maka, foto bocah Irian Jaya berseluncur di tebing kumuh, karya Dana Irfan, pun ditampilkan mewakili bocah Indonesia. Melihat foto anak main egrang atau bersijingkat dengan bambu karya Narong Utsichok dari Thailand, niscaya menyentuh kenangan masa kecil kita di pedesaan. Jenis permainan ini pun tentu dikenal di Malaysia, Brunei, atau Filipina. Berarti foto tersebut masih cocok dengan misi pameran yang ingin lebih mempertautkan perkerabatan sesama bangsa di kawasan Asia Tenggara ini. Sedangkan untuk kategori Dunia Kerja, yang ditampilkan lebih besar porsi jenis kerja tradisional, seperti gembala sapi di Bromo karya Ali Budiman, dan gembala kerbau karya Bullit Marquez dari Filipina. Atau pawang dengan beruk pemetik kelapa di Malaysia karya Lau Cheng Tean. Hanya dari Singapura ditampilkan orang bekerja di sebuah proyek gedung jangkung karya Alex Yong. Pandangan awam tentang fotografi secara luas masih menganggap melulu sebagai kerja seni. Pengertian seni-menyeni dalam fotografi, menurut para ahli, hanya merupakan satu cabang di samping cabang amatir, profesional, dan komersial. Jadi, adanya pretensi untuk berseni-seni dalam karya foto, ya, tentu sah saja. Hanya soalnya, adakah si seniman mampu mengekspresikan dirinya secara khas. Dengan keberanian serta keterampilan melakukan eksperimen tata cahaya dan tata ruang, secara grafis tiap foto yang disajikan segera terbaca sebagai karya si Anu, dan bukan sekadar mengulangi suksesnya karya orang lain. Contoh pengulangan ide itu, misalnya, tampak pada foto Balinese Baris Dancer. Karya Rio Helmi ini mengingatkan kita pada karya Djamal, almarhum, yang mengabadikan momen gemulai gerak cantik seorang penari Jawa di pentas Taman Ismail Marzuki, akhir 1960-an. Foto Rio itu, bersama sejumlah liputan dari berbagai negara tentang tari, kostum dengan gincu warna-warni, dan sedikit tentang dunia kerja, masuk dalam kategori Tampaknya, pandangan elite tentang kebudayaan setara dengan pandangan awam, yakni menganggapnya hanya sebatas kesenian, dan belum mencakup aneka upaya manusia untuk meningkatkan harkat serta martabatnya sebagai khalifah Tuhan di bumi ini. Konsep lain yang juga agak mengusik adalah untuk kategori Upacara Agama. Dari Singapura ditampilkan foto religius berkesan Islam karya Ronni Pinsler, sementara dari Indonesia, Buddhist Ceremony, Borobudur, oleh Tantyo Bangun, dan Christian Acolytes, Dili, East Timor, karya Rully Kesuma. Khusus mengenai visualisasi tema keagamaan ini, kesannya hanya mungkin dicapai dengan tata grafis vertikal. Atau sama sekali berupa close up wajah yang mengesankan kekhusyukan batin. Di bagian ini yang dituntut dari seorang fotografer bukan sekadar kepiawaian bermain garis dan bidang, tapi ada dukungan pemahaman esensi sang subyek atawa wawasan tematik. Yang mungkin unik dalam pameran ini adalah disediakannya satu sudut ruangan, diisi dengan lukisan karya dua pelukis dari tiap negara ASEAN. Tema di pojok khusus Eyes on Eyes ini membuka peluang bagi pelukis untuk menuangkan pandangannya dalam mengajuk cara fotografer melihat. Misalnya, Photographer and Model karya Umar dari Indonesia, melukiskan Mat Kodak itu secara harfiah berupa makhluk kuda ketika memotret cewek model yang bugil. Wah, fotografer beken seperti Poltak Panggabean, yang kenyang bergaul dengan dunia model, mudah-mudahan tidak sewot. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini