Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jangan sampai membelenggu

Komentar rubrik agama, tempo, 17 april 1993 soal karya agung di pura besakih, bali.

15 Mei 1993 | 00.00 WIB

Jangan sampai membelenggu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Rubrik Agama, TEMPO, 17 April lalu melaporkan Karya Agung di Pura Besakih, Bali, yang berlangsung akhir Maret lalu. Di situ disebutkan bahwa sulinggih dari tiga warga, yaitu Warga Pasek, Warga Pande, Warga Bhujangga Waisnawa yang mewakili 80% umat Hindu di Bali, tidak diikutsertakan dalam pelaksanaan Karya Agung tersebut. Selanjutnya diwartakan, panitia Karya Agung merasa tak membeda- bedakan. Mereka hanya berpegang pada tradisi di Bali yang berlaku selama ini, yakni pengantar upacara hanya pendeta Tri Sadaka, yaitu Syiwa, Budha, dan Bhujangga yang ditunjuk. Kebetulan pendeta-pendeta wakil tiga warga itu tak terpilih. Dan pada akhir tulisan disebutkan, ''Bila tradisi dan masalah spiritual membawa masalah, tampaknya memang ada yang harus dibenahi.'' Saya kira memang ada yang harus kita luruskan, yaitu persepsi kita tentang ''tradisi'' ini. Dalam kitab suci Upanisad-Upanisad Utama terdapat uraian mengenai tradisi sebagai berikut: ''Bila kita puas terhadap tradisi kita yang sudah tidak mencukupi dan gagal mencari untuk diri kita sendiri tradisi yang lain, kita akan membuat kekeliruan besar dalam menafsirkan semangat agama. Kesetiaan atas tradisi kita yang unik berarti bukan saja kerukunan dengan masa lalu, melainkan keterlepasan dari masa lalu. Masa lalu yang hidup haruslah menjadi pengilham terbesar dan penopang masa depan.'' Selanjutnya, ''Tradisi bukanlah hal yang kaku yang melumpuhkan kehidupan jiwa masa sekarang. Ia bukanlah ingatan masa lalu, tapi adalah persemayaman yang abadi dari jiwa yang hidup. Dia adalah aliran yang hidup dari kehidupan rohani. Yang Maha Kuasa akan bergembira terhadap dia yang mendengar semua percakapan tentang dharma yang memuja Tuhan Semesta, yang terbebas dari rasa dengki dan yang telah mengalahkan kemarahan.'' Apalagi seperti yang dikatakan S. Radhakrishnan: ''If a tradition does not grow, it means that its followers become spiritually dead''. Tradisi tidak seharusnya menjadi belenggu atau kungkungan, tapi justru pendorong kehidupan spiritual yang sesuai dengan zamannya. Kita harus berani mengubah tradisi yang sudah usang dan menciptakan tradisi baru yang kontekstual yang memenuhi tuntutan zaman. Apabila tidak, lambat laun kehidupan spiritual kita akan mandek dan pada akhirnya mati. Mudah-mudahan pada masa-masa mendatang kita akan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk dapat memuaskan harapan seluruh umat pendukung tradisi itu. I GUSTI NGURAH ALIT Jalan Dr. Kusumaatmaja 49 Jakarta 10310

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus