Periode Pra-Raffles, 1619-1810 Abad ke-19 merupakan awal sejarah baru masyarakat kolonial Eropa di Jawa, yang 200 tahun sebelumnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Ketika Kota Jakarta ditaklukkan oleh VOC di tahun 1619, masyarakat Eropa yang menjadi penduduk kota ini berasal dari Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Portugis, Skotlandia, Denmark, Norwegia, dan lain-lain. Mereka ini umumnya tentara yang disewa oleh VOC. Di antara mereka ada juga pedagang, pegawai, ahli perkapalan, tukang kayu, pendeta, guru sekolah, perajin, dan seniman (Taylor 1983: 11). Karena sedikitnya wanita Eropa yang datang ke Batavia, para imigran tersebut mengambil wanita-wanita pribumi menjadi gundik mereka. Dari perkawinan ini lahirlah kelompok etnis yang disebut Eurasia atau Indo. Sementara itu, di kota ini juga hidup orang- orang Cina dan Jepang yang berstatus warga negara bebas, yang memiliki budak berasal dari India dan bangsa pribumi. Kelompok- kelompok masyarakat ini yang kemudian menjadi penduduk resmi Batavia waktu itu. Dari sini berkembang sebuah bentuk kehidupan budaya yang dikenal dengan nama mestizo, campuran antara kebudayaan Eropa dan Asia. Contoh yang nyata dari gaya hidup mereka, misalnya, bepergian dengan mengenakan pakaian Eropa bersama para budak yang membawa barang-barang, seperti payung (status simbol orang Asia), kipas, perlengkapan kotak sirih, tempolong, dan buku himne jika mereka pergi ke gereja. Mereka yang berasal dari lapisan masyarakat kelas atas ini umumnya tinggal di rumah mewah di daerah pinggiran, dan memiliki sejumlah budak yang bisa menghibur mereka dengan bermain musik dan menari. Abad ke-18 kebudayaan mestizo telah mencapai bentuknya yang mapan. Masyarakat ini semakin terisolasi dari Eropa dan menjadi sosok masyarakat yang mandiri. Tahun 1799, akhirnya, VOC bangkrut karena utang yang menumpuk. Batavia kemudian ditangani langsung oleh sebuah dewan yang bernama The Council of Asiatic Possession yang berdomisili di Den Haag. Pada saat yang sama revolusi Perancis juga telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan kehidupan politik di Eropa. Ketika Napoleon berhasil menundukkan Belanda, tahun 1806, ia mengirimkan orang kepercayaannya ke Batavia untuk menjadi gubernur jenderal. Orang tersebut adalah Daendels. Daendels menganggap dirinya seorang pembaharu. Ia membuat perubahan- perubahan yang drastis di Batavia. Di antaranya adalah menggusur benteng-benteng tua, memindahkan pusat kota Batavia ke daerah suburban di sebelah selatan (Jakarta Pusat), mendirikan Harmonie (yang kini menjadi sebuah jalan), dan istana yang baru. Menurut Taylor, tindakan Daendels ini merupakan simbol dari berakhirnya era VOC yang bercirikan sistem monopoli dan perbudakan. Daendels menginginkan struktur hubungan feodal masyarakat mestizo, yang diwarnai dengan upeti- upeti, berubah. Upaya seperti itu sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa gubernur jenderal yang terdahulu, tapi dampaknya tidak besar. Van Imhoff, yang berkuasa pada pertengahan abad ke-18 misalnya, mencoba menegakkan budaya murni Eropa dengan mendirikan seminari, akademi, dan menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda yang hanya dimengerti oleh kalangan kelas atas. Gubernur jenderal yang berikutnya, Jacob Mossels, juga mencoba meneruskan usaha Van Imhoff dengan mengeluarkan peraturan- peraturan, misalnya mengizinkan penggunaan alat-alat musik seperti terompet, timpani, dan drum pada musik pengiring makan malam hanya untuk pejabat-pejabat tinggi pemerintahan. Pada masa itu Jacob Mossels juga mendirikan sebuah organisasi yang memberikan sponsor secara rutin kepada acara konser dan pertunjukan teater. Pada akhir abad ke-18 mereka yang berniat menegakkan kebudayaan Eropa murni agaknya semakin banyak. Perkumpulan-perkumpulan dan gedung-gedung eksklusif Free-Masonary bermunculan di Batavia dan Semarang. Reynier de Klerk, yang menjadi gubernur jenderal pada tahun 1777-1780, juga mendirikan beberapa sekolah privat dan akademi untuk para wanita. Pada masa inilah (1778) J.C.M. Radermacher, anak seorang keluarga terkemuka Belanda, mendirikan sebuah lembaga keilmuan pertama di Asia yang diberi nama Bataviasch Genootschap der Kunsten an Wetenschappen (Institut Seni dan Ilmu Batavia). Anggota lembaga ini terdiri dari 103 orang masyarakat Batavia dan 77 orang dari India, Afrika, dan negeri Belanda sendiri. Salah satu aktivitas lembaga tersebut adalah menerbitkan jurnal tahunan yang berisi artikel dari bermacam-macam disiplin ilmu dan humaniora. Pada jurnal volume yang ketujuh diterbitkan sebuah artikel tentang musik, yang secara panjang lebar membicarakan masalah-masalah musikologi, seperti sejarah, teori, dan komposisi (lihat Bataviasch Genootschap der Kunsten an Wetenschappen, 1792). Dari data yang tersedia agaknya bisa disimpulkan bahwa kehidupan musik Eropa di lingkungan masyarakat kolonial pada akhir abad ke-18 ini sudah cukup mapan. Sebuah surat yang ditulis oleh Von Wurmb, sekretaris Institut Seni dan Ilmu Batavia, menceritakan bagaimana semaraknya aktivitas kehidupan musik di koloni pada waktu itu. Ditambah dengan munculnya tulisan musik di jurnal tadi, hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya musik bagi kehidupan masyarakat kolonial di Jawa. Gejala ini juga masih tampak pada tahun-tahun pertama kedatangan Daendels (1800) di koloni ini. Sebuah surat kabar bernama Bataviasche Koloniale Courant (BKC) terbit pertama kali pada tahun 1810 melaporkan adanya penyelenggaraan konser secara rutin di Batavia pada masa itu (lihat BKC 1811). Munculnya konser-konser sebagai peristiwa publik pada era sebelumnya masih merupakan peristiwa non-publik menandakan bahwa situasi kehidupan musik klasik di koloni ini sejalan dengan yang terjadi di Eropa (lihat Dahlhaus, 1989). Gejala ini tiba-tiba lenyap dari permukaan berita ketika Inggris datang menaklukkan Daendels pada tahun 1811. Periode Raffles, 1811-1816 Selama perang Inggris-Belanda pada akhir abad ke-18, angkatan laut Inggris menjadi ancaman yang serius bagi kapal-kapal Belanda di Indonesia. Pada tahun 1800 armada Inggris berhasil mengepung Batavia meskipun tidak berhasil mendarat. Sebelas tahun kemudian, di bawah komando Lord Minto dan deputinya, Thomas Stamford Raffles, Inggris akhirnya berhasil menaklukkan Jawa, dan Raffles diangkat sebagai gubernur jenderal. Orang Inggris yang datang ke Jawa ini berbeda dengan orang- orang Belanda yang ketika itu sudah menghuni pulau Jawa selama 200 tahun. Mereka ini, menurut Taylor, adalah para pejabat sipil dan orang terpelajar yang mewakili kerajaan Inggris pada saat negara itu sedang mengalami kejayaan (Taylor 1983:96). Di samping itu orang-orang Inggris ini juga memiliki ambisi sebagai pembaharu. Mereka mewarisi identitas kelas penguasa dari tradisi kerajaan Inggris dan sangat percaya akan superioritas kebudayaan Barat. Tingkah laku mereka mengacu pada nilai-nilai mapan priayi Eropa abad ke-18. Sementara itu, seperti sudah disinggung, kehidupan pusat-pusat urban di Jawa pada masa itu didominasi oleh kebudayaan mestizo. Karena itulah orang-orang Inggris mengalami culture shock ketika melihat tingkah-laku sehari-hari masyarakat kolonial. Dalam konteks tersebut mereka kemudian bertekad mengubah kebudayaan mestizo secara radikal. Langkah pertama pemerintahan Raffles pada saat itu adalah membangun lembaga-lembaga sosial yang dapat berfungsi sebagai penyalur ideologi budaya mereka. Misalnya, menerbitkan koran mingguan di Batavia yang bernama Java Government Gazette (JGG) pada tahun 1812. Melalui surat kabar ini para penguasa Inggris mencoba menyebarkan kebudayaan asli Eropa dengan cara memuat artikel, berita, iklan buku dan barang dari Eropa, kolom untuk puisi, dan esei tentang budaya, pendidikan, dan moralitas yang berhubungan dengan itu (lihat JGG 1812-1816). Melalui surat kabar ini diketahui bahwa Inggris juga mendirikan beberapa organisasi masyarakat yang berfungsi membudayakan masyarakat kolonial melalui pergaulan sosial. Caranya dengan membuat norma-norma, seperti melarang para wanita mengenakan kebaya (yang merupakan pakaian tipikal wanita mestizo), mengunyah tembakau, duduk di lantai, makan dengan tangan, dan berdansa tanpa sepatu pada saat berpesta (Taylor 1983: 100). Pendek kata, Raffles berusaha mengubah gaya hidup masyarakat Indies di koloni ini dengan mengembangkan tata-cara masyarakat Eropa dalam semua aspek kehidupan. Slogan seperti Beauty, Music and Wine pada masa itu sangat populer. Pesta-pesta makan malam menjadi wadah untuk ''membudayakan'' masyarakat Indies. Dalam pesta-pesta inilah orang-orang Inggris memperkenalkan tingkah- laku sosial masyarakat Eropa asli, misalnya saja tidak memisahkan para wanita dengan suaminya yang menjadi kebiasaan kebudayaan mestizo. Acara-acara pesta juga merupakan kesempatan bagi mereka untuk memakai pakaian yang indah-indah, dan mendengarkan pembacaan puisi atau resital musik vokal. Simak misalnya komentar atas sebuah acara pesta ulang tahun Ratu Inggris yang dirayakan oleh masyarakat Eropa di Yogyakarta berikut ini: ''Tepat pada pukul 8 malam acara tarian rakyat dimulai. Dibantu dengan selingan minuman, acara ini berlangsung hingga tengah malam. Setelah makanan dihabiskan, lagu-lagu yang baik dimainkan untuk mengiringi acara pemberian selamat yang patriotik kepada anggota keluarga kerajaan dengan minuman yang ditenggak dengan antusias. Pesta ini kemudian dilanjutkan dengan acara berdansa yang meriah di ruang dansa hingga matahari terbit keesokan harinya'' (JGG, 6 Februari 1814). Dalam rangka merangsang dan mendukung aktivitas intelektual pemerintahan, Raffles juga mengimpor buku-buku tentang matematika, geometri, geografi, bahasa (Latin, Perancis, dan Inggris), sejarah, ilmu alam, dan pengetahuan umum. JGG juga menunjukkan bahwa pada saat itu ada pribadi-pribadi yang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat luas. Iklan-iklan penjualan buku kerap muncul dalam koran JGG, misalnya seperti yang dipasang oleh Raffles sendiri ketika ia harus meninggalkan Batavia (lihat JGG, 2 Maret, 1816). Usaha lain yang dilakukan pemerintahan Raffles untuk merangsang minat masyarakat terhadap dunia kehidupan intelektual dan seni adalah mendirikan seminari dan sekolah-sekolah yang mencantumkan mata pelajaran berhitung, geografi, bahasa, sastra, musik, tari, dan seni rupa dalam kurikulum. Adanya komunikasi yang baik antara pulau Jawa dan India waktu itu memungkinkan masyarakat kolonial bisa mengirimkan anak-anak mereka ke kota, seperti Calcutta, untuk belajar di sekolah tinggi. Kurikulum pada sekolah-sekolah tinggi di India ini juga menggabungkan mata kuliah matematika, sastra, dan seni dalam suatu program (JGG, 11 Maret, 1815). Dalam rangka mengubah selera budaya mestizo inilah kehidupan artistik mendapat perhatian yang besar dari pemerintahan Raffles. Pada masa ini JGG mencatat berdirinya lembaga-lembaga seperti Masyarakat Sastra Batavia dan Masyarakat Filsafat Batavia. Raffles juga memberikan dukungan pada aktivitas Lembaga Seni dan Ilmu Batavia. Jadi dunia sastra pada masa ini bisa dibilang sudah cukup mapan. JGG, misalnya, memiliki kolom khusus untuk puisi. Kadang di surat kabar ini dijumpai sebuah polemik panjang tentang puisi atau masalah-masalah sastra yang lain, misalnya saja polemik tentang bahasa Melayu yang muncul dalam Edinburgh Review (lihat JGG, 4 dan 15 Februari, 11 Maret, 15, 22 dan 29 April, 10, 17, 24 Juni, 1815), yang dimulai dengan dimuatnya artikel Marsden. Surat kabar ini juga mengiklankan buku-buku impor berupa novel, esei, drama, dan puisi, atau barang-barang seni, seperti lukisan, grafis, pianoforte, dan barrel organ. Di JGG juga dijumpai resensi- resensi pertunjukan teater, tari, opera, dan musik lainnya yang diselenggarakan di India dan Eropa. Semua ini memberikan kesan bahwa kehidupan dunia seni masyarakat kolonial Eropa yang berdomisili di pusat-pusat urban bisa dikatakan cukup marak. Kehidupan Musik Pada Masa Itu Empat tahun masa terbit JGG memberikan cukup informasi dan data untuk merekonstruksi gambaran umum tentang kehidupan musik masyarakat kolonial Eropa di Jawa pada masa Raffles. Aktivitas musik di koloni ini umumnya terjadi dalam konteks peristiwa sosial. Pada masa itu tiap resimen tentara Inggris memiliki korps musik sendiri-sendiri. Yang paling populer di antara korps-korps musik ini adalah korps musik Resimen Kerajaan yang ada di Semarang. Aktivitas korps musik ini, yang berupa pementasan, sering diberitakan oleh surat kabar JGG. Di samping korps musik militer ini, tiap residen biasanya juga memiliki korps musik sendiri. Dan meskipun pemerintahan Raffles bertekad menghilangkan perbudakan dari Jawa, beberapa anggota dari kalangan masyarakat kelas atas yang tinggal di daerah pinggiran masih tetap memiliki kelompok orkes yang pemainnya terdiri dari para budak. Selain berfungsi sebagai hiburan dalam peristiwa-peristiwa sosial, pada masa ini bisa dijumpai aktivitas musik yang berupa konser dan iringan untuk pertunjukan teater. Kegiatan tersebut didukung oleh adanya beberapa kelompok musik orkes yang aktif berpentas. Di Batavia kegiatan musikal ini semakin bertambah semarak ketika Military Bachelor Theater (sekarang Gedung Kesenian Jakarta), sebuah gedung pertunjukan yang dibangun dari bambu, berdiri pada tahun 1814. Memang, musik bagi masyarakat Inggris punya peran penting: sebuah bentuk ekspresi simbolik yang bisa membudayakan manusia. Belajar musik atau tari sejak kecil bagi wanita Inggris adalah suatu keharusan. Oleh sebab itu, penguasa baru ini berusaha mengubah kebiasaan wanita mestizo menghabiskan waktu bermain kartu menjadi menghadiri konser-konser, menari, atau dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi tradisi wanita Eropa. Dalam konteks inilah mata kuliah di sekolah-sekolah wanita dilengkapi dengan pendidikan musik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika musik pada masa ini sudah menjadi suatu bidang pekerjaan yang menarik. Di JGG kadang ditemui iklan tentang lowongan pekerjaan untuk para pemusik profesional, terutama untuk para pemimpin orkes (lihat JGG, 9 Mei, 1812). Pekerjaan pemimpin orkes pada masa itu menyangkut hal-hal seperti melatih, menyutradarai, dan menulis komposisi untuk dimainkan orkes tersebut. Pada masa itu seorang komponis misalnya John White yang menjadi pemimpin kelompok orkes The His Majesty 14th Regiment di Semarang bisa mendapatkan uang dengan cara mengorganisasi konser yang khusus memainkan musik- musik mereka. Periode ini adalah periode ketika para komponis Eropa mulai melepaskan diri dari lingkungan istana dan mengadakan konser yang terbuka untuk publik. Dari sinilah para komponis beken seperti Haydn, Mozart, dan Beethoven mendapatkan penghasilan mereka setelah lepas dari kungkungan istana (lihat Raynor 1972: 314-30). Hal ini rupanya juga berlaku di Jawa. Selain komponis profesional, di tanah jajahan ini juga terdapat para komponis amatir yang banyak mengarang lagu-lagu untuk acara-acara tertentu. Para pengarang lagu ini biasanya juga merangkap sebagai penyanyi. Di samping kehadiran para pemusiknya sendiri, kehidupan musik di koloni ini juga didukung oleh tersedianya instrumen dan partitur-partitur musik yang diperdagangkan di pasar bebas. Mengingat banyaknya kelompok-kelompok orkes di koloni ini, perdagangan istrumen dan partitur musik bisa merupakan suatu usaha wiraswasta yang menarik. Instrumen yang paling banyak dijual di pasaran adalah barrel organ dan pianoforte. Pada masa ini instrumen piano di Eropa merupakan sebuah simbol status masyarakat kelas menengah. Instrumen ini biasanya dijual bersama-sama dengan barang-barang mewah. Periode ini adalah periode ketika industri piano mengalami booming. Konsekuensinya, harga piano di pasaran berangsur-angsur turun dari 50 pound sterling di tahun 1760 menjadi 18,3 pound sterling di tahun 1815 (Milligan 1983: 15-16). Para komponis pada masa itu juga banyak membuat karya-karya untuk piano, terutama untuk jenis musik yang ringan seperti mars, rondo, dan lagu-lagu militer yang digarap dalam bentuk variasi. Musik- musik ini pada masa itu juga populer di Jawa, terutama karena sering dimainkan dalam peristiwa-peristiwa sosial. Teater dan Musik Teater dan musik adalah dua bidang kesenian yang dikembangkan dengan serius oleh Belanda maupun Inggris di Jawa pada masa kolonial. Pementasan teater Eropa yang pertama kali diadakan oleh Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-18 ketika gedung pertunjukan (schouwburg) pertama di Batavia berdiri di Pasar Ikan (Van den Berg 1880: 14). Pada masa inilah (1757) Gubernur Jenderal Jacob Mossels membentuk sebuah organisasi kesenian yang bertujuan mempromosikan pertunjukan teater dan musik. Sejak saat itu dunia teater masyarakat kolonial terus aktif hingga di masa Daendels. Di Batavia ketika itu ada dua organisasi masyarakat pencinta teater, yaitu Bataviasche dichtliefhabbers dan Inschiklijkheid voor Lof, yang aktif memproduksi pementasan-pementasan teater. Anggota organisasi ini mencakup para produser, sutradara, penulis naskah, aktor, dan aktris. Menurut Berg, ini adalah era ketika teater sudah menjadi bidang profesi yang mapan. Situasi ini bahkan menarik perhatian para aktor dan aktris dari Belanda untuk datang ke Jawa dan mengembangkan kariernya di sini (Ibid: 11). Dalam kesempatan itulah musik memainkan peranan yang penting. Pada masa ini ada sebuah bentuk teater yang populer sekali yang bernama blijspal, yang merupakan gabungan dari drama, musik, dan tari. Bukan mustahil bentuk ini adalah prototip dan mempengaruhi langsung lahirnya apa yang kita kenal sebagai komidi bangsawan di penghujung abad ke-19. Pada masa kekuasaan Inggris aktivitas pertunjukan teater semakin semarak, apalagi sesudah berdirinya Military Bachelor Theater. Sebelum gedung ini berdiri, aktivitas pementasan teater muncul dalam peristiwa-peristiwa seperti pesta makan malam di klub-klub atau di kapal (lihat JGG, 2 dan 23 Mei 1812). Pertunjukan yang diselenggarakan di Bachelor Theater ini diadakan rata-rata sekali sebulan, terutama dalam dua tahun terakhir kekuasaan Inggris. Dalam hal ini JGG memberikan dukungan yang kuat dengan meliput semua pertunjukan yang berlangsung, memberitakan sinopsis dalam bahasa Belanda (JGG 1814-16). Gejala ini menunjukkan bagaimana besarnya hasrat pemerintahan Raffles untuk mempromosikan nilai-nilai budaya Inggris melalui teater mereka. Naskah seperti John Bull yang sangat populer pada masa itu, yag ditulis oleh Colman Jr., nyata-nyata adalah sebuah pengkultusan nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat Inggris. Naskah-naskah lain yang mereka mainkan di Jawa pada saat yang sama juga dimainkan di London, terutama di Drury Lane dan Covent Garden (lihat Donohue 1975). Naskah-naskah tersebut antara lain adalah The Rival karya Sheridan The Citizen dan The Apprentice karya Murphy dan Henry the Fourth karya Shakespeare (JGG 1812-14 Van den Berg 1880: 53). Hal ini menunjukkan bagaimana dekatnya orientasi budaya masyarakat Inggris di Jawa dengan budaya di tanah air mereka. Semua produksi teater ini menggunakan orkestra sebagai musik pengiring dan mereka selalu mendapat pujian dari JGG. JGG juga memberi kita informasi bahwa musik yang dimainkan dalam pertunjukan teater ini tidak hanya berfungsi sebagai iringan adegan-adegan yang dramatis, tapi juga dipentaskan secara otonom. Sayang, JGG tidak memberikan informasi musik- musik apa yang dimainkan dalam kesempatan tersebut. Dari informasi yang ada mengenai musik-musik yang dimainkan untuk pertunjukan teater di Eropa, besar kemungkinan musik itu merupakan variasi dari berbagai genre. Musik yang dimainkan untuk pembukaan acara biasanya terdiri dari overture, concerto, dan simfoni (Fiske 1986: 259). Menurut Fiske, hingga akhir abad ke-18 karya-karya concerto grosso dari Corelli, Gemaniani, dan Handel sangat sering dipentaskan dalam pertunjukan teater. Dari konser yang diadakan di Bachelor Theater pada bulan April 1816, diketahui genre-genre musik ini juga sering dimainkan di Batavia (JGG 13 April 1816). Mengingat naskah-naskah drama yang dimainkan di Eropa juga dimainkan di Jawa, besar kemungkinan musik-musik Corelli, Gemaniani, dan Handel juga tidak asing bagi masyarakat Eropa di koloni ini. Dan seorang direktur musik biasanya juga seorang komponis, dirigen, dan pemusik. Di samping bertugas memilih karya-karya musik yang akan dimainkan, ia juga harus mencipta karya khusus untuk sebuah pertunjukan. Oleh sebab itu, sebagian dari karya-karya musik yang dimainkan di gedung teater ini pasti merupakan ciptaan mereka. Friske juga mengatakan bahwa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 penonton boleh meminta orkestra memainkan lagu-lagu kesayangan mereka, misalnya saja lagu yang berjudul Briton Strike Home karya Purcell dan Roast Beef of Old England karya Leveridge (Fiske 1986: 259). Pada masa itu lagu-lagu ini juga populer di Jawa. Oleh karena itu lagu-lagu ini juga mungkin termasuk ke dalam naskah musik yang dimainkan untuk teater. Selain jenis musik yang berfungsi sebagai iringan dan yang dimainkan secara otonom, masih ada lagi musik yang dimainkan secara integral dalam alur cerita sebuah drama. Salah satu contohnya adalah pementasan sebuah komik opera (mirip dengan blijspel) The Humane Cossack yang tercatat dipentaskan pada bulan Juli 1816 di Bachelor Theater. Genre opera ini berkembang di Perancis dan Inggris pada akhir abad ke-18. Musik yang dimainkan dalam komik opera biasanya berkisar dari karya-karya Thomas Morley, Handel, Purcell, Haydn, dan Mozart, hingga lagu- lagu rakyat Skotlandia dan Irlandia. Kadang musik-musik pinjaman ini malah lebih dominan daripada yang dibuat khusus untuk opera tersebut, misalnya saja dalam karya Sheridan yang berjudul The Duenna. Paruh kedua abad ke-18 ini adalah masa ketika musik dalam opera dianggap kurang penting dibanding dengan libretto. Pada akhir abad ke-18 komik opera malah ditulis dengan semakin menekankan unsur dialog ketimbang lagu- lagu (Ibid: 263). Kegiatan Konser Musik Seperti yang dilaporkan oleh Von Wurmb dan Van den Berg, kegiatan konser pada penghujung abad ke-18 boleh dibilang cukup tinggi. Pada akhir masa kekuasaan Daendels di tahun 1810, surat kabar BKC mencatat adanya serangkaian konser yang diorganisasi oleh sebuah masyarakat musik bernama De Herren Intekenaren (lihat BKC 1811 nomor 4). Ketika Inggris mendarat, surat kabar ini menghilang dan JGG muncul sebagai gantinya. Selama masa penerbitan JGG, yakni tahun 1812-1816, berita atau iklan tentang konser musik sangat jarang ditemukan. Penguasa Inggris agaknya memusatkan kegiatan artistik mereka di Jawa kepada pertunjukan teater ketimbang konser. Selama empat tahun masa penerbitan JGG ini hanya tercatat dua peristiwa konser musik yang diberitakan. Yang pertama mengambil tempat di Hap-Square, Sloane Street, Batavia. Berita di JGG mengenai konser ini berbunyi sebagai berikut: ''Surat undangan telah dikirim ke beberapa anggota masyarakat yang dihormati untuk memohon kedatangan mereka. Konser ini diadakan oleh kelompok pemusik Gentlement Amateur dengan tidak dikenakan biaya. Pada akhir konser penonton malah akan diberi hidangan makan malam'' (JGG, 25 Desember 1813). Berita semacam ini baru muncul lagi di JGG pada saat kekuasaan Inggris di Jawa mendekati akhir, yakni pada tanggal 13 April 1816 ketika JGG memuat iklan tentang apa yang disebut sebagai ''Konser Akbar'' yang akan mengambil tempat di Bachelor Theater. Konser ini bukan diselenggarakan oleh masyarakat Inggris, melainkan oleh masyarakat Belanda dengan tujuan mengumpulkan dana untuk membantu keluarga yang menjadi korban Perang Waterloo di Belgia. Para pemusik yang menyelenggarakan konser ini menyebutkan kelompok mereka dengan nama The Netherland Amateurs of Music. Seperti telah saya kemukakan sebelumnya, kehidupan musik masyarakat Belanda di koloni ini pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sangat semarak. Oleh sebab itu, terhentinya kegiatan musik mereka pada masa kekuasaan Inggris pasti tidak tanpa alasan. Jawaban dari masalah ini dapat ditemukan pada situasi politik sesudah Inggris menaklukkan Jawa. Meskipun JGG memberikan kesan seperti tidak ada ketegangan antara masyarakat Inggris dan Belanda di koloni ini, situasi di bawah permukaan menunjukkan hal yang sebaliknya. Dalam hal ini kehidupan dunia musik pada masa itu malah menunjukkan bagaimana seriusnya tegangan tadi. Dalam hubungan dengan peristiwa sebuah konser yang diselenggarakan oleh Belanda, De Haan menulis begini: ''Orang Inggris pada akhirnya ternyata melakukan tipuan yang kekanak-kanakan. Masyarakat musik Belanda, yang sebelumnya tidak pernah mengadakan konser secara mandiri, ketika itu bertekad akan menyelenggarakan konser di Teater Inggris (SIC Bachelor Theater?). Beberapa minggu sebelumnya acara ini sudah diatur dengan baik dan bisa Anda bayangkan bagaimana seriusnya para pendekar kita menyiapkan konser ini dengan niat untuk menyambut kembalinya dominasi kekuasaan Belanda. Tetapi apa yang diperbuat oleh direktur gedung teater tersebut? Ia menggagalkan perayaan ini dengan menyediakan gedung teater tersebut untuk sebuah pertunjukan drama.'' Meskipun JGG tidak pernah melaporkan adanya kegiatan konser di kalangan masyarakat Belanda, Van den Berg mencatat seperti juga Von Wurmb adanya konser-konser yang diselenggarakan di rumah-rumah penduduk elite Belanda. Menurut Dahlhaus, ini adalah masa ketika konser rumahan masih sangat dominan di kalangan kaum bangsawan Eropa, dan konser ini tidak terbatas hanya para undangan, tetapi terbuka untuk khalayak umum. Para komponis seperti Beethoven, Chopin, dan Liszt menjadi terkenal melalui konser-konser rumahan ini (Dahlhaus 1989: 48). Situasi ini agaknya juga terjadi di kalangan masyarakat elite Belanda. Musik yang Dimainkan untuk Acara Konser Meskipun kita mempunyai gambaran umum akan musik-musik yang dimainkan di koloni ini pada masa kekuasaan Inggris, informasi yang spesifik untuk musik-musik yang dimainkan pada acara konser tidak begitu banyak. Dari peraturan konser yang dikeluarkan oleh Jacob Mossels pada tahun 1757 diketahui bahwa musik-musik yang digemari pada waktu itu berorientasi ke karya para komponis dari Italia dan Jerman, baik dalam bentuk instrumental maupun vokal. Von Wurmb juga memberitahukan bahwa musik-musik yang dimainkan pada konser rumahan di Jawa sama dengan musik yang dimainkan oleh para mahasiswa musik di Praha. Sayangnya, rentetan konser yang muncul pada masa Daendels berkuasa tidak memberikan informasi tentang musik yang dimainkan. Dari naskah-naskah yang dimainkan dalam pertunjukan teater, serta program acara konser yang muncul di JGG, dapat disimpulkan bahwa naskah-naskah konser ini mencakup musik-musik yang ringan, seperti genre musik militer, hingga musik serius seperti overture, concerto, dan simfoni. Bentuk musik yang mendominasi sebuah peristiwa konser adalah overture, concerto, dan simfoni. Gejala ini menunjukkan adanya persamaan antara selera masyarakat Eropa di tanah airnya, terutama di Inggris, dan masyarakat kolonial di Jawa. Ketiga bentuk musik tadi adalah musik-musik yang paling digemari di London pada masa itu, dan banyak ditulis oleh para komponis Eropa pada paruh kedua abad ke-18. London sendiri pada masa itu adalah sebuah kota yang sangat menarik bagi para komponis dari Austria, Perancis, dan Italia. Ini adalah masa ketika Inggris menjadi ujung tombak Revolusi Industri di Eropa. Kekayaan negara ini memberikan peluang bagi para pemusik untuk menikmati hidup mewah, tidak terkecuali para komponis seperti Handel dan Haydn yang sempat merantau ke Inggris dan tinggal di sana beberapa saat. Selain mereka, komponis beken lainnya yang juga sempat tinggal di London adalah Carl Frederich Abel, J.C. Bach, Wilhelm Cramer, Muzio Clementi, J.P. Solomon, J.L. Dussek, dan Viotti (Milligan 1983: 1). Pleyel sendiri, komponis yang karya simfoninya dimainkan di Bachelor Theater, adalah seorang komponis Italia yang hijrah ke London pada tahun 1792, dan terkenal dengan karya-karyanya untuk opera, musik vokal, dan piano (Milligan 1983: 16 Sadie 1988: 493). Jika diamati, program konser di Bachelor Theater agaknya juga memiliki sebuah implikasi politis. Yakni, merupakan sebuah kompromi antara selera masyarakat penguasa (Inggris) dan masyarakat jajahannya (Belanda). Karya-karya dari komponis seperti Pleyel, Winter, Ferrari, dan Boieldiau agaknya dimainkan untuk selera masyarakat Inggris, sedang karya Kluyt dimainkan untuk selera masyarakat Belanda. Akibatnya walaupun isi program konser ini agak berat dan menurut selera sang penguasa kombinasi naskah-naskah ini menunjukkan salah satu unikum kehidupan musik Eropa di Jawa. Ide kombinasi selera ini sejalan dengan tekad Inggris yang pada saat itu berusaha membaurkan masyarakatnya dengan masyarakat Belanda melalui perkawinan campuran (lihat JGG, 11 April 1812). Musik dalam Kehidupan Sosial Seperti tadi pernah disinggung, pada masa ini slogan Beauty, Music, and Wine adalah sesuatu yang sangat populer. Musik tentu saja adalah sebuah bentuk hiburan yang sangat penting dalam setiap pesta keramaian. Pada masa itu ada beberapa peristiwa yang selalu diikuti oleh pesta keramaian, antara lain adalah (1) HUT para Wali Nasrani dan anggota keluarga kerajaan Inggris, atau Raffles dan istri (2) Peringatan hari-hari bersejarah, seperti hari nasional bangsa Eropa dan hari jatuhnya Pulau Jawa ke tangan Inggris (3) Tahun baru (4) pertemuan klub-klub atau organisasi masyarakat lain (5) Acara penyambutan atau perpisahan untuk mereka yang kembali ke Eropa (6) Pemasaran atau pemberian nama kapal-kapal baru (7) Penutupan acara pacuan kuda yang sangat populer pada waktu itu dan (8) Acara sosialisasi masyarakat kelas atas. Musik-musik yang dimainkan pada kesempatan ini berbeda dengan musik yang biasa dimainkan untuk keperluan teater atau konser. Dalam konteks ini musik yang berperan secara dominan adalah musik militer. Gejala ini sejalan dengan sifat peristiwa sosial itu sendiri, yang kebanyakan merupakan pesta keramaian militer. Di sini musik-musik tersebut berfungsi mengiringi upacara pemberian selamat dengan mengangkat gelas minuman. Setiap orang atau peristiwa cenderung diberi selamat dengan iringan musik tertentu. Pemberian selamat untuk The Queen and Royal Family umumnya diiringi lagu God Save The King, Lord Minto dengan The Downfall of Paris, dan The East India Company dengan Money in Both Pockets. Tabel ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa lagu yang dialamatkan kepada beberapa orang atau peristiwa. Meskipun seluruh komposisi yang sering dimainkan memiliki fungsi yang sama, yaitu iringan untuk ucapan selamat, karya- karya ini tergolong dalam beberapa genre musik yang berbeda. Beberapa dari komposisi itu merupakan karya instrumental, beberapa berasal dari musik vokal, beberapa diciptakan oleh komponis terkenal, dan beberapa berasal dari lagu rakyat Inggris. Di samping itu beberapa dari komposisi tadi ada yang berasal dari komponis lokal di koloni, misalnya saja lagu yang berjudul The Fall of Cornelis (Jatinegara sekarang) yang digubah oleh seorang pemusik pada perayaan hari jatuhnya Pulau Jawa ke tangan Inggris (JGG, 29 Agustus 1812). Kemudian ada beberapa lagu yang berasal dari musik teater atau opera. Briton Strike Home, misalnya, digubah oleh Purcell untuk operanya yang berjudul Bonduca (1895). Lagu ini, menurut Winstock, sangat populer di kalangan prajurit (Winstock 1970: 73-74). Lagu O Richard O mon roi, dikenal dengan nama O Richard the King, digubah oleh Getry untuk operanya yang berjudul Richard Coeur de Lion. Menurut Disher, lagu ini berasal dari apa yang disebut Teater Paris yang banyak menggambarkan kehidupan keraton (Disher 1955: 73-74). Ini mungkin adalah alasan mengapa lagu ini dialamatkan kepada keluarga kerajaan di Bourbon. Lagu Rule Britannia digubah oleh Arme untuk drama musikalnya yang berjudul Alfred yang dipentaskan untuk menghibur the Prince of Wales di Cliveden House, Maidenhead, pada tanggal 1 Agustus 1940. Lagu ini kemudian digunakan oleh Handel dalam musik pengantar oratorionya yang berjudul Judas Maccabacus. Selain itu masih ada lagi lagu-lagu yang berasal dari lagu tradisional yang anonim dan lagu yang digubah khusus oleh para komponis untuk musik teater. Heart of Oak, misalnya, adalah lagu tradisional yang digunakan oleh Barrick dalam salah satu naskahnya untuk menggambarkan keberanian seorang pelaut dan kedigdayaan negaranya. Ini mungkin alasan yang menyebabkan lagu tersebut dipilih untuk memberi selamat kepada angkatan laut Inggris. Lagu-lagu lainnya yang termasuk genre lagu tradisional adalah God Save the King, Ye Gentlemen of England, The Downfall of Paris, Off She Goes, Within a Mile of Edinbro Town, The Tight Little Island, dan Money in Both Pockets (lihat Disher 1955). Lagu Roast Beef of Old England adalah gubahan Leveridge pada tahun 1736 yang digunakan sebagai musik istirahat dalam drama-dramanya. Kelompok pemusik yang biasa memainkan naskah-naskah ini dalam peristiwa sosial umumnya adalah sebuah band. Mengingat konteks pertunjukan musik tersebut, istilah ''band'' di sini mungkin menunjuk pada ansambel musik militer yang terdiri dari instrumen tiup logam dan kayu serta alat perkusi. Tapi, menurut Sadie, pada abad ke-18 istilah ''band'' dalam bahasa Inggris sehari-hari sering digunakan untuk kelompok musik orkes (Sadie 1988: 54). Disher juga menunjukkan bahwa lagu Rule Britannia dan British Grenadiers memiliki partitur dalam bentuk orkes simfoni (Disher 1958: 17). Musik Vokal dan Musik Tari Pertunjukan lagu dan tari dalam sebuah peristiwa sosial biasanya dimulai sesudah acara pemberian selamat. Musik-musik yang dimainkan dalam kesempatan ini sebagian adalah musik militer yang berasal dari musik vokal, misalnya God Save the King, Rule Britannia, The Roast Beaf of England, dan The Dowfall of Paris. Di samping itu masih ada musik balada seperti lagu The Battle of the Nile, dan apa yang tergolong dalam bentuk lieder seperti karya Schubert yang berjudul Hark: Hark the Lark at Heaven's Gate Sings. Di Eropa pada masa itu musik Schubart menjadi pertanda hadirnya masyarakat kelas menengah yang terpelajar dan mempunyai selera musik baru. Menurut Sadie, di Wina ada sekelompok masyarakat kelas menengah yang biasa berkumpul di sore hari dan menyanyikan lagu-lagu Schubert (Sadie 1988: 674). Di koloni ini lagu Schubert dipentaskan dalam perayaan tahun baru di Pasirwangi pada tahun 1815. Selain lagu-lagu ini juga masih ada lagu yang digubah khusus oleh komponis lokal dalam kesempatan pesta atau keramaian tertentu, misalnya lagu The Fight of Salamanca, yang digubah dan dinyanyikan ketika perayaan hari ulang tahun Raffles (JGG, 3 Januari 1813). Untuk musik tari, yang populer pada masa itu adalah musik militer yang berasal dari musik rakyat, misalnya The Tight Little Island, dan Off She Goes. Tapi JGG pernah memuat sebuah tulisan yang mengatakan bahwa musik-musik ini sangat membosankan dan lebih baik diganti dengan musik-musik waltz yang menyegarkan. Pada masa itu dansa waltz memang sangat populer sebagai dansa ball room. Kesimpulan Seperti terlihat dari apa yang telah saya uraikan, masa ini adalah masa ketika kebudayaan mestizo mengalami proses Eropanisasi. Dalam proses ini terlihat bagaimana Inggris secara sadar mencoba menanamkan pola kehidupan budaya Inggris sendiri. Gejala ini akhirnya membuat pusat-pusat urban di Jawa menjadi sebuah fokus transformasi budaya yang sangat menarik: dari budaya mestizo beralih ke budaya Eropa murni dengan warna budaya Inggris yang kuat. Strategi Inggris dalam melakukan usaha pembudayaan masyarakat Indies ini bertumpu pada empat unsur penting dalam kehidupan budaya, yaitu surat kabar, peristiwa sosial, pendidikan, dan seni. Oleh sebab itu, dalam usaha memahami realitas kehidupan budaya masyarakat kolonial pada masa itu, keempat unsur kehidupan budaya tadi menjadi sesuatu yang problematik. Analisa terhadap keempat unsur kehidupan budaya ini harus diletakkan dalam konteks politis. Java Government Gazette, pesta-pesta atau keramaian, sekolah-sekolah, dan seni (musik dan teater) adalah medium tempat Inggris mengoperasikan ideologinya. Dengan demikian, keempat unsur kehidupan budaya ini telah menjadi alat propaganda penguasa Inggris. Jika kehidupan masyarakat kolonial pada masa ini diamati melalui yang terpapar di JGG, terkesan adanya kehidupan yang harmonis antara penguasa baru dan masyarakat jajahannya. Tapi De Haan dalam bukunya mencatat adanya konflik antara dua kelompok masyarakat kolonial ini. Oleh sebab itu, yang harus dianalisa lebih jauh adalah bagaimana dan sejauh mana keempat medium ideologi Inggris tadi menyiratkan adanya perlawanan dari masyarakat mestizo. Dalam kondisi yang represif, perlawanan dari kelompok masyarakat yang ditekan agaknya bisa tersalurkan secara maksimal melalui unsur-unsur kehidupan budaya yang mampu menjadi wadah sublimasi dari perlawanan tadi. Wujud sublimasi perlawanan ini bisa bermacam-macam, misalnya saja berupa sebuah tindakan negasi. Contoh dari tindakan ini adalah keengganan masyarakat mestizo yang sebelumnya diketahui sangat gemar musik untuk datang mengunjungi konser-konser yang diadakan oleh pihak Inggris, sehingga sebuah undangan konser harus mereka tawarkan dengan hidangan makan malam. Di lain pihak, JGG tidak pernah melaporkan adanya konser-konser rumahan, yang sebelumnya sering diadakan oleh kaum elite masyarakat Indies. Padahal melihat frekuensi penjualan alat musik dan partitur serta banyaknya kelompok pemusik yang ada di koloni ini, kegiatan konser-konser rumahan pada masa itu tidak mungkin kalah dengan periode pra-Raffles. Hal yang sama juga terlihat dalam dunia teater JGG selama masa penerbitannya tidak pernah sekali pun melaporkan adanya kegiatan pementasan teater dari masyarakat Indies yang sebelumnya diketahui memiliki dunia kehidupan yang sangat menarik, dan sempat memikat aktor dan aktris Belanda untuk datang dan hidup di koloni ini. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, pemerintahan Raffles benar-benar melakukan tindakan represi yang begitu keras terhadap kehidupan teater masyarakat mestizo karena Inggris ingin menggunakan drama-drama mereka sebagai alat propaganda yang efektif. Kedua, karena JGG menunjukkan betapa gencarnya masyarakat Inggris di Batavia mementaskan drama-drama mereka di Bachelor Theater. Dari sini bisa dilihat bagaimana JGG menjalankan fungsinya dengan baik sebagai alat propaganda, dan juga alat untuk memanipulasi sebuah realitas demi kepentingan ideologi penguasa. Bentuk tindakan lain dari sublimasi perlawanan masyarakat yang tertindas adalah menunjukkan kemampuan yang tidak dimiliki oleh masyarakat penindas secara sangat demonstratif. Contoh dari tindakan ini adalah ketika masyarakat Indies berusaha mengadakan konser besar-besaran yang dicatat oleh De Haan. Dalam konteks ini, musik bagi masyarakat Indies juga telah menjadi sebuah ideologi. Oleh sebab itu, tidak heran jika penguasa Inggris yang menyadari usaha politis masyarakat mestizo ini tidak segan-segan menggagalkan konser mereka. Hal lain yang menarik diamati pada periode kekuasaan Raffles ini adalah hilangnya intensitas kehidupan konser untuk publik, yang sebelumnya justru menyebabkan musik di koloni ini tidak kalah semaraknya dengan di Eropa. Di tangan Raffles kehidupan musik hanya menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa sosial dan pertunjukan teater. Selama tahun periode kekuasaan Inggris JGG hanya mencatat dua kali peristiwa konser musik untuk publik. Hal ini tidak lain karena pemerintahan Raffles memanfaatkan musik untuk meluaskan hegemoni kebudayaan Inggris dalam kehidupan masyarakat mestizo. Dalam konteks ini musik militer, yang menjadi ujung tombak budaya musik Inggris di koloni ini, merupakan genre musik yang fungsional dalam melayani keperluan ideologi Inggris. Genre musik ini memang secara gamblang menunjukkan keperkasaan bangsa Inggris. Dengan kata lain ia adalah alat propaganda yang sangat efektif, apalagi peristiwa peristiwa sosial yang menjadi konteks dari kegiatan musik ini juga merupakan wadah dari usaha Inggris dalam melakukan hegemoni budaya. Dalam konteks inilah kita bisa mengerti mengapa pemerintahan Raffles di koloni ini tidak mengembangkan kehidupan dunia musik romantik di abad ke-10 dengan konser-konser untuk publik yang menjadi ciri dari zamannya, serta menjadi pertanda kemunculan masyarakat kelas menengah Eropa. Di sini terlihat adanya kontradiksi dalam sikap pemerintahan Raffles yang berusaha merangsang kehidupan masyarakat mestizo untuk tertarik kepada dunia kaum cendekiawan, etiket sosial, dan kebudayaan masyarakat borjuis Eropa. Akhirul kata, seperti nasib yang juga dialami oleh bentuk- bentuk kesenian lain, pada masa lain, yang dimanipulasi oleh kelompok masyarakat tertentu untuk menjadi alat propaganda, musik militer dan teater Inggris hilang lenyap dari koloni ini ketika masyarakat tersebut menerima kekalahan mereka terhadap Belanda. Periode yang berikut bisa dikatakan sebagai periode keemasan kehidupan dunia seni Eropa di kalangan masyarakat kolonial. Gelombang kedua masyarakat Belanda yang datang ke koloni ini membawa suasana kehidupan seni yang lebih sehat, lebih netral, dan lebih berorientasi pada nilai-nilai artistik yang dihayati secara umum oleh masyarakat Eropa. Apalagi suasana ini juga didukung oleh meningkatnya kehidupan ekonomi negara Hindia Belanda sejak dijalankannya sistem tanam paksa di tahun 1830, dan semakin gencarnya penerapan sistem kapitalisme industri pada perempat terakhir abad ke-19. DAFTAR PUSTAKA Bataviasch Genotaschap dar Kunsten en Wastenschappen, 1792. Batavia Bataviasche Koloniale Courant, 1811. Batavia. Dahlhaus, Carl 1989 Nineteenth-Century Music. J. Bradford Robinson,trans. Berkeley, Los Angeles: University of California Press De Haan, Frederik 1922 Oud Batavia: gendenkbock uitgegaven door het Bataviaasch Gunontschap van Kunsten en Watenschappen naar applaiden van het driahondarjarig bastaan der stad in 1919. 2 Vols. Batavia: G. Kolff & Co. Disher, Maurice Willson 1955 Victorian Song: From Diva To Drawing Room. London: Phoenix House Ltd. Donohue, Joseph 1975 Theatre in the Age of Kaan. Oxford: Basil Blackwell. Fiske, Roger 1986 English Theatre Music in the Eighteenth Century, 2nd ed. Oxford & New York: Oxford University Press. Hall, D.G.E. 1977 A History of Southeast Asia. London: Macmillan. Java Government Gazette, 1812-16. Batavia Milligan, Thomas B. 1983 The Concerto and London's Musical Culture in the ??? ate Eighteenth Century. 2d ed. Ann Arbor, Michigan: UMI Research Press. Sadie, Stanley, ed. 1988 The Norton/Grove Concise Encyclopedia of Music. London: Macmillan Press Ltd. Taylor, Jean Gelman 1983 The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia. Madison. Wisconsin: University of Wisconsin. Press. Van den Berg, N.P 1880 Het Tooneel te Batavia in Vroegeren Tijd. Batavia: W. Bruining & Co. Winstock. Lewis 1970 Song & Music of the Redcoats: A History of the War Music of the British Army 1642-1902. London: Leo Cooper. FRANKI RADEN, memasuki Jurusan Musik IKJ (dulu LPKJ) di tahun 1974. Dikenal mula-mula sebagai komponis, selanjutnya ia juga menulis ulasan seni di pelbagai penerbitan. Pernah dua kali meraih Citra sebagai penata musik pada film-film November 1828 dan Nagabonar. Di tahun 1986 ia memberikan ceramah musik di Tokyo dan Amsterdam, serta tinggal di New York sebagai visiting artist atas beasiswa Rockefeller. Memasuki University of Wisconsin di Madison (1987) dengan spesialisasi etnomusikologi dan meraih MA tiga tahun kemudian dengan tesis tentang musik Eropa di Jawa abad ke-19. Kini ia tengah meneliti musik kontemporer Indonesia dalam rangka menyelesaikan program doktornya di universitas yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini