Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NADIAH Bamadhaj, 54 tahun, perupa berkebangsaan Malaysia dengan identitasnya yang hibrida, melihat bentuk submisif dari perempuan Jawa sebagai sebuah strategi untuk bertahan hidup dalam dunia yang keras, sulit, dan masih didominasi oleh laki-laki. Pergulatan panjang hidupnya selama 18 tahun di Yogyakarta membawanya pada cara pandang baru tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Lantaran konteks sosial politik dan sejarahnya, hal ini menumbuhkan gagasan yang berbeda tentang apa yang disebut sebagai tindakan feminis.
Dalam pameran “The Submissive Feminist” yang berlangsung di Kiniko Sarang Art Space Yogyakarta pada 5-26 Juni 2021, Nadiah Bamadhaj menampilkan instalasi-instalasi karyanya yang terutama menggunakan medium kertas dan arang untuk membawa narasi yang merefleksikan ketegangan dan pembelajaran atas makna menjadi perempuan dalam masyarakat Jawa. Refleksi ini telah dimulai bertahun-tahun lalu, ketika melihat tindakan orang Jawa yang “diam” dan “menerima” sebenarnya menunjukkan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan kehidupan. Amatan atas tindak “diam” ini kemudian dipindahkan Nadiah menjadi salah satu karya yang sentral untuk memahami narasi ini.
Sebuah gambar bibir yang tertusuk oleh gagang wayang (biasanya terbuat dari tanduk binatang) diletakkannya di posisi tengah dari dinding utama galeri. Dinding ini memajang rangkaian instalasi yang terdiri atas lima bentuk berukuran cukup besar. Di sekitar citra bibir tersebut, Nadiah meletakkan ragam obyek lain. Itu adalah sebuah keris pada potret diri perempuan dari sisi belakang dengan punggung yang tertutup oleh kain batik bermotif parang rusak, wajah perempuan dan sebuah sisir rambut, serta sebuah almari rotan dengan pintu tertutup.
“Saya sendiri sebenarnya sudah lama tertarik pada simbolisme dan ikonografi Jawa, selain juga punya minat pada bagaimana membangun relevansi simbol itu dengan kehidupan keseharian. Jadi bukan hal baru juga kalau saya menampilkan simbol budaya Jawa dalam karya saya,” demikian penjelasan Nadiah. Nadiah terasa cukup lama absen dalam kancah seni rupa Indonesia. Pameran tunggalnya di Indonesia terakhir berlangsung pada 2004 di Komunitas Utan Kayu, yang bertajuk “Sixtyfive Now”, dan merupakan hasil penelitian panjangnya atas isu kekerasan 1965 di Indonesia. Setelahnya, hanya sesekali Nadiah muncul dalam beberapa pameran kelompok. Sebagian besar karyanya justru banyak dipamerkan di kota lain di Asia atau Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Nadiah Bamadhaj dalam pamerannya bertajuk The Submissive Feminist di KINIKO Sarang Art Space, Yogyakarta. Dok. Nadiah Bamadhaj
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran kali ini tampaknya tidak hanya menjadi penanda bagi kembalinya Nadiah dalam medan seni di Indonesia, tapi juga refleksi atas apa yang terjadi pada masa ambang itu: antara “hadir” dan “tak tampak”, antara “ada” dan “tak ada”. Dengan pemahaman baru yang lahir dari pengalaman tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat lokal, Nadiah memunculkan pertanyaan kritis tentang feminisme dan berbagai konteks tempatan yang menyertainya. Pada saat yang sama, Nadiah pun menautkannya dengan posisinya sebagai seorang seniman yang berada dalam ketegangan ihwal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Simbol keris dimunculkan dalam dua bentuk: keris untuk laki-laki dan keris untuk perempuan. Menurut Nadiah, dalam konteks kebudayaan Malaysia, keris selalu lekat dengan lelaki dan maskulinitas. Dalam kebudayaan Jawa, Nadiah menemukan ada keris yang khusus digunakan oleh perempuan. “Saya menggarisbawahi ironi yang muncul dari sifat submisif perempuan; bahwa di balik yang diam, ada ketajaman,” ujarnya lagi. Sementara itu, keris laki-laki dimunculkan sebagai bagian dari instalasi besar, “Submissive Feminist”, yang dipajang vertikal mengarah ke pusat instalasi. Ini dapat dibaca sebagai metafora dari ancaman atau serangan terhadap subyek. Keris merupakan salah satu bentuk ikonografi Jawa yang penuh ironi antara estetika, filsafat, dan fungsinya sebagai sesuatu yang membunuh atau menyakiti.
Selain keris, batik menjadi simbol Jawa yang muncul cukup menonjol pada pameran ini. Tubuh perempuan ditampilkan tampak belakang dengan punggung tertutup kain batik motif parang rusak. Bagi Nadiah, motif parang rusak menjadi refleksinya atas beban konsep kebangsawanan atau kelas priayi. Karya lain yang menggunakan batik adalah Kain Adalah Doa, sebuah gambar motif batik yang dirancang sendiri oleh Nadiah dan diwujudkan dengan teknik potong menggunakan mesin laser. Nadiah sengaja mengunjungi sebuah museum batik di Yogyakarta untuk berdiskusi dan mencari tahu motif-motif batik dan berbagai sejarahnya, ketika kemudian si kurator mengatakan bahwa sebenarnya kain-kain batik adalah doa. Dari sini, Nadiah menciptakan sendiri motif batik bergambar rumah limasan Jawa. Dan memang itulah doanya: “Agar segera mempunyai rumah untuk keluarga saya”.
Kain adalah Doa karya Nadiah Bamadhaj dalam The Submissive Feminist di KINIKO Sarang Art Space, Yogyakarta. Dok. Nadiah Bamadhaj
Karya-karya instalasi ini dikerjakan selama empat bulan. Nadiah bekerja dengan mencacah kertas dan menempelkannya satu sama lain. Kertas itu kemudian membentuk tekstur yang mempengaruhi fasad yang tampil ketika Nadiah mulai membentuknya dengan goresan dan permainan gradasi dari arang yang menjadi medium utamanya. Beberapa bagian tampak hitam pekat, membentuk garis, sementara yang kelabu menjadi bayangan dan ruang ambang. Hasilnya memang sebuah karya yang memancarkan energi sangat kuat. Tidak hanya emosi seniman terasa di sana, tapi juga nilai subtil dari gagasan.
Di sisi lain, Nadia mampu menampilkan karyanya dengan kesadaran atas cahaya, bayangan, dan bagaimana satu obyek di dinding bercakap dengan obyek yang lain. Ada sisi puitik sangat kuat yang dimunculkan dari percakapan antar-elemen ini. “Bagi saya, bekerja dengan instalasi selalu berarti mengolah ruang,” tuturnya. Strategi mengelola ruang Nadiah memang jitu. Tidak saja dia mahir dalam menempatkan karya di ruang, tapi juga meresponsnya. Di salah satu sisi galeri, yang berdinding kaca, terlihat kebun hijau yang kemudian menjadi bagian dari cakrawala pandangan. Di sudut tersebut, sebuah karya berjudul The Unlearning yang merupakan potret diri seniman tertambat di dinding, dengan wajah Nadiah mengarah ke depan dan memandang tajam penonton, seperti undangan berdialog.
Hampir berhadapan dengan karya tersebut adalah instalasi lain berjudul Empathy and Narcissism. Karya ini menampilkan potret diri Nadiah dengan cerminan terbalik menggunakan bentuk topeng kayu tradisional sebagai metafora, seperti penggambaran atas dua dunia yang berbeda: Barat dan Timur, modern dan tradisional, serta diri dan liyan.
Mencermati karya-karya Nadiah, kita melihat gagasan submisif, yang menjadi stereotipe perempuan Jawa, diputarbalikkan maknanya; bukan sebagai keadaan yang menyerah dan membiarkan diri dalam kuasa yang liyan secara permanen. Sebaliknya, ini sebagai titik jeda ketika perempuan mempunyai kesempatan membaca ulang dirinya, mengumpulkan kekuatan, memberdayakan dirinya kembali, lalu merebut posisi tawar.
Judul pameran ini sendiri, “Submissive Feminist”, merupakan dua istilah kontras yang disejajarkan. Judul ini memprovokasi kita untuk berpikir tentang keduanya: apa makna menjadi submisif, apa makna menjadi feminis? Apalagi, di tengah situasi ketika kekerasan terhadap perempuan yang makin marak, dengan jaminan hukum yang tak pasti karena Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tak kunjung diketok wakil rakyat, bagaimana kita bisa menjadi submisif? Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk mengartikan sikap submisif sebagai sebuah jalan konsolidasi untuk melangkah bersama menjadi gerakan baru.
ALIA SWASTIKA, PENGAMAT SENI RUPA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo