LEBIH 40 orang penari mendukung Burisrowo Rante. Tontonan
wayang orang ini dimainkan di Teater Arena TIM. 28 dan 29 Juli
yang lalu oleh Grup Tari-Yogya (berdomisili di Jakarta) pimpinan
S. Kardjono. Di antara para penari tampak orang-orang beken
seperti: Sardono, Sentot, Sal Murgiyanto, Edi Sedyawati,
Kardjono sendiri serta juga Siti Adiyati yang selama ini dikenal
sebagai salah seorang dari kalangan Senirupa Baru Indonesia.
Mengawali Burisrowo, ditampilkan 2 buah tari klasik gaya Yogya:
Srimpi dan Beksal Lawung Kedua nomor ini memiliki nilai tari
yang tinggi, karena mengenyam pembinaan Kraton yang mantap dan
teliti. Gerak telah menjadi bahasa yang puitis dan dalam. Ia
membersitkan aspek-aspek sprirituil sebagai pantulan dari
pengalaman emosi dan jasmani.
Tari Srimpi dibawakan oleh 4 penari dan 4 bocah. Komposisi ini
memberikan variasi pada level, menimbulkan kesegaran karena
anak-anak tersebut demikian wajar. Sesuatu yang lemah gemulai,
teliti, jelas terbayang sudah ditakar dengan cermat oleh
penciptanya. Sehingga beberapa penari yang bem1ain dengan
sedikit senyum terasa agak mengurangi suasana yang meditatif.
Berbeda dengan Beksan Lawung. Nomor ini memiliki garis-garis
tegas, langkah pijakan antab, sehingga para penari dituntut
untuk gagah. Kaki-kaki para penari terangkat lalu tertancap di
tempat yang sudah direncanakan. Tongkat panjang - lawung -
membuat garis-garis dalam ruang. Kardjono telah menyuguhkan
tontonan yang mantap.
Dengan kedua nonor ekstra tadi suasana sudah terbina. Kemudian
penonton dipersilakan menikmati lakon. Siti Adiyati, dipasang
sebagai Sembodro. Pelukis kontemporer ini telah mengucapkan
dialog dengan artikulasi yang bagus. Suaranya jelas terdengar
tinimbang penari-penari puteri yang lain. Sembodro yang sedang
bercengkerama di Taman Madugondo Alerta, tiba-tiba diculik
raksasa. Keraton geger. Untung saja Gatutkoco bertindak gesit.
Putera Bima ini, agak berbeda dan biasanya (tidak memakai busana
yang bergambar bintang) mulai mencari.
Pada saat yang bersamaan, di tempat lain Burisrowo sedang memuja
turunnya Betari Durga. Raksasa penculik itu lewat di dekatnya.
Burisrowo, yang memang nafsu pada Sumbodro, menghantam langsung
pencuri itu sampai pontang-panting. Tapi Sumbodro jatuh di
sebuah pantai (tidak mati, meskipun terjun begitu tinggi). Nah.
Penari Ramelan yang memainkan Burisrowo yang kasmaran, meskipun
kelahiran Solo, mencoba bergulat dengan gaya Yogya. Tari Yogya
sebagaimana diketahui selalu punya gaya ungkap yang lucu
(lihat misalnya lagen wanaran Yogya: Hanuman masih sempat
minta air di tengah perang hebat).
Kembali pada Sembodro, isteri Arjuna itu tertolong oleh Antareja
anak Bima di laut. Tapi lantaran Gatutkoco belum kenal
saudaranya, ia menyangka Antarejalah biang keladinya.
Keduanya baku hantam. Untung cepat dilerai oleh Sembodro yang
kemudian memperkenalkan saudara tunggal bapak itu. Tak lama
muncul Burisrowo. Tentu saja kedua Bima yunior itu kemudian
membuatnya jadi bola pingpong. Burisrowo dirantai dan ditawan.
Pertempuran masih harus berlangsung. Prabu Sabrang Jotoyekto,
biang keladi peristiwa, gusar melihat usahanya gagal. Ia
mengerahkan tentara. Tetapi Gatutkoco dan Antareja bukan anak
bawang. Hanya berdua mereka membetot mundur musuh-musuh itu.
Tinggal Burisrowo, yang meskipun sudah dibekuk masih saja tidak
bisa menyembunyikan nafsunya. Ia terus merayu-rayu dengan
lembut. Gatutkoco kemudian melinting kupingnya - untuk
mengakhiri lakon malam itu.
Adiluhung
Seluruh pertunjukan dijalari suasana yang utuh. Mulai dari
tetabuhan gending gaya Yogya, bau kemenyan di pedupaan, dan
busana batik dasar merah yang khas keraton Yogya. Meskipun kedua
lampu meja yang dipergunakan oleh pembawa antawacana tampak meng
ganggu. Sehingga memang perlu juga disarankan menutup alat
penerang dan pengeras suara yang agak menyinggung suasana yang
sudah sempat antik.
Dalam pergelaran ini terlihat juga terompet dan dramben.
Instrumen ini dikeluarkan untuk mengiringi tari Srimpi dan
beksan Lawung. Konon sudah direstui oleh seniman-seniman keraton
Yogya (malah kabarnya hal tersebut dilaksanakan mulai dari ayah
Sultan yang sekarang). Bagi mereka yang tidak biasa mungkin hal
ini sedikit bikin kaget. Apalagi pada malam penampilan itu
kurang terjadi gelut-menggelut antara kelompok terompet dan
kelompok gamelan. Masih menyebabkan kesan asing karena irama
belum menyatu.
Gerak tari gaya Yogya, yang mengakhiri tarian dengan duduk. Ialu
keluar arena dengan gaya tenang, menyebabkan lebih menonjolnya
prinsip "tontonan. Kita melihat dua hal: orang yang berbusana
dan menari, serta orang biasa yang berbusana dan berjalan. Hal
itu juga terdapat dulu-dulunya pada tontonan Topeng Pajengan.
Sangiang, Gambuh, dan Legong Keraton di Bali.
Niat Kardjono untuk menampilkan suasana keraton dengan tari
klasik yang adiluhung, boleh dihargai. Ia telah mencoba
mendekatkan kembali tari di ibukota ini kepada sumbernya. Tari
tidak hanya merupakan dunia yang memperalat tubuh sebagai
medium, tetapi lebih lagi. Di sini terasa tuntutan kepada penari
bukan hanya tuntutan fisik tapi juga spirituil. Karena mereka
diajak pula untuk mengembara dalam dunia imaji. Burisrowo
Rante yang besar nafsu, mengibaratkan niat besar untuk
berungkap dalam kekangan nilai-nilai yang kokoh dari pakem-pakem
Keraton.
Wayan Diya
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini