WEST IRIAN AND JAKARTA IMPERIALISM
St Martin's Press, New York, 1971
171 halaman dengan indeks
BEKAS pejabat administrasi kolonial banyak yang menyumbangkan
pengalamannya, dengan menjadi dosen pada universitas di
negaranya. Yang terkenal antara lain J.S. Furnivall, bekas
pejabat kolonial Inggris, yang membandingkan pengalamannya di
Burma dengan perkembangan penjajahan Belanda di Indonesia. Dari
kalangan bekas pejabat Binnenlands Bestuur (BB), yang terkenal
misalnya Wertheim, yang telah mengulas penjajahan Belanda dan
pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat Indonesia dari
sudut yang tajam.
Walaupun pandangan politik dan pendapat pribadi mereka
berlainan, namun mereka cukup teliti sebagai ilmuwan. Tulisannya
cukup bermutu dan memperkaya perdebatan intelektuil tentang
sejarah Indonesia. Karena itu, buku yang dikarang oleh seorang
bekas Controleur Belanda di Irian Jaya, Kees Lagerberg, ini
agak menyimpang dari tradisi obyektif para ilmuwan bekas
administratur kolonial --baik dari sudut isi maupun arahnya.
Tetapi sebenarnya penyimpangan ini tidaklah terlalu mengejutkan.
Irian Jaya adalah benteng terakhir kolonialisme Belanda di
Indonesia. Para administratur yang bertugas di sana juga
melambangkan mereka yang merupakan golongan die-hard (kepala
batu) dari sistem kolonial itu sendiri.
Federasi Melanesia?
Jika sudah sejak awal abad ke-20 banyak di antara anggota BB di
Indonesia merupakan pendorong utama Politik Ethis -- yang
bermaksud membayar 'utang budi' Belanda kepada Indonesia -- maka
petugas kolonial di Irian Barat adalah yang terburuk yang dapat
direkrut pemerintah jajahan Belanda. Mirip jenis petugas
kolonial yang direkrut Inggris untuk wilayah Rhodesia dulu
(sekarang Zimbabwe, yang rata-rata bersifat rasialis, arogan
dan paternalistik. Sifat paling jelek yang dapat dimiliki
seorang petugas kolonial.
Yang cukup mengherankan, bahwa Lagerberg juga menjadi seorang
ilmuwan. Dan setelah memperoleh doktornya, sekarang menjabat
sebagai Lektor Kepala pada Universitas Katolik di Tilburg,
Negeri Belanda.
Nada tulisan Lagerberg hanyalah, dua macam membela politik
kolonial Belanda dan mengecam semua pihak yang membantu
Indonesia. Dalam pembelaannya, Lagerberg bahkan seperti
mengada-ada dan tidak mau mengakui kemajuan yang terjadi di
Irian Jaya sejak tahun 1963. Walaupun dikemukakannya angka
pertambahan anak usia sekolah yang masuk SD sejak Irian kembali
kepada Indonesia, ia mencoba mengecilkan arti kemajuan itu,
dengan menyatakan bahwa itu hanyalah kelanjutan kebijaksanaan
kolonial.
Satu masalah yang terpenting dalam soal pendidikan adalah
pendirian Universitas Cenderawasih. Hal ini sangat membedakan
zaman kolonial dan zaman kemerdekaan. Di zaman kolonial tidak
ada jabatan bagi putra asli yang lulusan universitas. Karena itu
Belanda membatasi sekali jumlah orang Irian yang bisa belajar di
universitas di Negeri Belanda. Anehnya, Lagerberg mencoba
mengaku-aku bahwa Universitas Cenderawasih adalah kelanjutan
sekolah antropologi Belanda dulu. Tidak juga disinggung
Lagerberg bahwa selain di Universitas Cenderawasih, banyak putra
Irian kini menuntut pelajaran di berbagai universitas di Jawa --
hal yang samasekali tidak terbayangkan di zaman kolonial.
Dalam usahanya membela politik kolonial, Lagerberg juga memuji
adanya Dewan Papua pada tahun 1961. Padahal, usaha itu hanyalah
dilakukan Belanda setelah opini dunia mendukung Indonesia. Hal
itu tidak berbeda dengan politik Federalnya Van Mook pada
tahun-tahun revolusi dulu.
Nada lain dari tulisan Lagerberg adalah mengecam pihak yang
membela Indonesia. Khususnya, tekanan dari pemerintahan Kennedy
terhadap Belanda, juga dari perusahaan-perusahaan besar.
Presiden Kennedy memang cukup berjasa dalam menekan Belanda --
sebagian usahanya untuk menarik hati Indonesia.
Perusahaan-perusahaan besar asing juga menuntut penyelesaian
yang cepat masalah Irian, supaya bisa memanfaatkan sumber alam
di wilayah tersebut.
Dalam hubungan ini, Lagerberg menyebutkan pendapatan sekitar US$
500 juta setahun oleh Pemerintah Indonesia dari kekayaan mineral
dan bumi Irian. Menurut dia, pemerintah pusat di Jakarta hanya
mengembalikan 30 juta dolar kepada Irian. Entah dari mana sumber
angkanya (yang tidak disebutnya), tapi hal inilah yang
menyebabkan Lagerberg memberi judul bukunya dengan Imperialisme
Jakarta.
Permainan angka yang tanpa sumber ini memang seakan-akan
membenarkan tuduhan Lagerberg, jika tidak dikaji dalam-dalam.
Apalagi Lagerberg tidak mencantumkannya dalam konteks Indonesia
sebagai suatu negara kesatuan dan belum adanya
perundang-undangan tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Bukankah daerah lain yang lebih kaya dari Irian, seperti
Kalimantan Timur dan Riau, juga begitu keadaannya? Jadi Irian
bukanlah suatu perkecualian khusus dan ini hanya bisa dijelaskan
oleh wewenang pusat dalam pengelolaan kekayaan daerah, yang
memang sengaja tidak disinggung oleh Lagerberg.
Walaupun tujuan tulisannya memang sudah tidak mau obyektif,
adanya buku seperti karangan Lagerberg membuat kita perlu mawas
diri dalam penanganan Irian Jaya yang sudah demikian susah payah
diperjuangkan pengembaliannya. Tanpa menyetujui nada
paternalistik yang dikemukakannya, Lagerberg katanya
menasihatkan seorang bupati di Irian Jaya bahwa kalau mau
disukai rakyat setempat janganlah korupsi.
Tentu saja kita tidak memerlukan nasihat dia untuk menekankan
perlunya pamong yan jujur dan tanpa pamrih tapi hal ini pun
kiranya masih perlu disadari. Senjata lain yang dipakai
Lagerberg adalah banyaknya petugas yang bukan putra daerah di
jabatan penting. Wakil Presiden Adam Malik sendiri dalam
peninjauannya ke Irian Jaya baru-baru ini mengemukakan bahwa
sudah saatnya putra-putra Irian sendiri ikut membangun
daerahnya.
Tipikal Kolonial
Salah satu makna dari kemerdekaan adalah mempertinggi kemampuan
putra daerah untuk memangku jabatan yang tadinya dilakukan
pegawai kolonial. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat sudah
mempercayai mereka sebagai nasionalis-nasionalis Indonesia yang
tidak akan berbuat yang macam-macam, apalagi memisahkan diri.
Lagipula, penempatan mereka di jabatan penting menunjukkan hasil
kemerdekaan itu sendiri. Kalau memang sudah banyak putra Irian
yang sarjana dan ahli, tentu mereka akan bisa bertanggungjawab
untuk jabatan jabatan bupati dan sekwilda provinsi. Kalau sudah
lama, ya wajar saja mereka juga bisa memangku jabatan gubernur,
apalagi mereka yang sudah magang sebagai wakil gubernur. Ini
akan dengan sendirinya lebih mampu menjawab ilusi orang-orang
seperti Lagerberg, yang mencita-citakan suatu Federasi
Melanesia antara Irian (?), Papua Nugini dan Melanesia.
Sampul buku itu sendiri merupakan pencerminan dari mimpi
Lagerberg. Sampul depannya adalah bendera "Negara Papua
Merdeka", sedang di sampul belakang, benar-benar tipikal
kolonial sifatnya: Lagerberg dalam pakaian lapangan seorang
Controleur, dengan pipa di mulut dan tembakau di tangan duduk di
atas sebuah batu di daerah terpencil Irian, dengan seorang putrz
Irian, tanpa baju, sedang menjerang kopi untuknya, duduk di
rerumputan di bawahnya.
Sangat disayangkan bahwa penerbit St. Martin yang biasanya cukup
bermutu dalam menerbitkan buku-buku bernada radikal, terkecoh
oleh balas dendam seorang bekas Controleur dengan judul yang
pura-pura radikal dan menarik.
Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini