Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Nasib seorang bekas controleur

New york: st martin's press, 1971 resensi oleh: burhan magenda. (bk)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WEST IRIAN AND JAKARTA IMPERIALISM St Martin's Press, New York, 1971 171 halaman dengan indeks BEKAS pejabat administrasi kolonial banyak yang menyumbangkan pengalamannya, dengan menjadi dosen pada universitas di negaranya. Yang terkenal antara lain J.S. Furnivall, bekas pejabat kolonial Inggris, yang membandingkan pengalamannya di Burma dengan perkembangan penjajahan Belanda di Indonesia. Dari kalangan bekas pejabat Binnenlands Bestuur (BB), yang terkenal misalnya Wertheim, yang telah mengulas penjajahan Belanda dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat Indonesia dari sudut yang tajam. Walaupun pandangan politik dan pendapat pribadi mereka berlainan, namun mereka cukup teliti sebagai ilmuwan. Tulisannya cukup bermutu dan memperkaya perdebatan intelektuil tentang sejarah Indonesia. Karena itu, buku yang dikarang oleh seorang bekas Controleur Belanda di Irian Jaya, Kees Lagerberg, ini agak menyimpang dari tradisi obyektif para ilmuwan bekas administratur kolonial --baik dari sudut isi maupun arahnya. Tetapi sebenarnya penyimpangan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Irian Jaya adalah benteng terakhir kolonialisme Belanda di Indonesia. Para administratur yang bertugas di sana juga melambangkan mereka yang merupakan golongan die-hard (kepala batu) dari sistem kolonial itu sendiri. Federasi Melanesia? Jika sudah sejak awal abad ke-20 banyak di antara anggota BB di Indonesia merupakan pendorong utama Politik Ethis -- yang bermaksud membayar 'utang budi' Belanda kepada Indonesia -- maka petugas kolonial di Irian Barat adalah yang terburuk yang dapat direkrut pemerintah jajahan Belanda. Mirip jenis petugas kolonial yang direkrut Inggris untuk wilayah Rhodesia dulu (sekarang Zimbabwe, yang rata-rata bersifat rasialis, arogan dan paternalistik. Sifat paling jelek yang dapat dimiliki seorang petugas kolonial. Yang cukup mengherankan, bahwa Lagerberg juga menjadi seorang ilmuwan. Dan setelah memperoleh doktornya, sekarang menjabat sebagai Lektor Kepala pada Universitas Katolik di Tilburg, Negeri Belanda. Nada tulisan Lagerberg hanyalah, dua macam membela politik kolonial Belanda dan mengecam semua pihak yang membantu Indonesia. Dalam pembelaannya, Lagerberg bahkan seperti mengada-ada dan tidak mau mengakui kemajuan yang terjadi di Irian Jaya sejak tahun 1963. Walaupun dikemukakannya angka pertambahan anak usia sekolah yang masuk SD sejak Irian kembali kepada Indonesia, ia mencoba mengecilkan arti kemajuan itu, dengan menyatakan bahwa itu hanyalah kelanjutan kebijaksanaan kolonial. Satu masalah yang terpenting dalam soal pendidikan adalah pendirian Universitas Cenderawasih. Hal ini sangat membedakan zaman kolonial dan zaman kemerdekaan. Di zaman kolonial tidak ada jabatan bagi putra asli yang lulusan universitas. Karena itu Belanda membatasi sekali jumlah orang Irian yang bisa belajar di universitas di Negeri Belanda. Anehnya, Lagerberg mencoba mengaku-aku bahwa Universitas Cenderawasih adalah kelanjutan sekolah antropologi Belanda dulu. Tidak juga disinggung Lagerberg bahwa selain di Universitas Cenderawasih, banyak putra Irian kini menuntut pelajaran di berbagai universitas di Jawa -- hal yang samasekali tidak terbayangkan di zaman kolonial. Dalam usahanya membela politik kolonial, Lagerberg juga memuji adanya Dewan Papua pada tahun 1961. Padahal, usaha itu hanyalah dilakukan Belanda setelah opini dunia mendukung Indonesia. Hal itu tidak berbeda dengan politik Federalnya Van Mook pada tahun-tahun revolusi dulu. Nada lain dari tulisan Lagerberg adalah mengecam pihak yang membela Indonesia. Khususnya, tekanan dari pemerintahan Kennedy terhadap Belanda, juga dari perusahaan-perusahaan besar. Presiden Kennedy memang cukup berjasa dalam menekan Belanda -- sebagian usahanya untuk menarik hati Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar asing juga menuntut penyelesaian yang cepat masalah Irian, supaya bisa memanfaatkan sumber alam di wilayah tersebut. Dalam hubungan ini, Lagerberg menyebutkan pendapatan sekitar US$ 500 juta setahun oleh Pemerintah Indonesia dari kekayaan mineral dan bumi Irian. Menurut dia, pemerintah pusat di Jakarta hanya mengembalikan 30 juta dolar kepada Irian. Entah dari mana sumber angkanya (yang tidak disebutnya), tapi hal inilah yang menyebabkan Lagerberg memberi judul bukunya dengan Imperialisme Jakarta. Permainan angka yang tanpa sumber ini memang seakan-akan membenarkan tuduhan Lagerberg, jika tidak dikaji dalam-dalam. Apalagi Lagerberg tidak mencantumkannya dalam konteks Indonesia sebagai suatu negara kesatuan dan belum adanya perundang-undangan tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Bukankah daerah lain yang lebih kaya dari Irian, seperti Kalimantan Timur dan Riau, juga begitu keadaannya? Jadi Irian bukanlah suatu perkecualian khusus dan ini hanya bisa dijelaskan oleh wewenang pusat dalam pengelolaan kekayaan daerah, yang memang sengaja tidak disinggung oleh Lagerberg. Walaupun tujuan tulisannya memang sudah tidak mau obyektif, adanya buku seperti karangan Lagerberg membuat kita perlu mawas diri dalam penanganan Irian Jaya yang sudah demikian susah payah diperjuangkan pengembaliannya. Tanpa menyetujui nada paternalistik yang dikemukakannya, Lagerberg katanya menasihatkan seorang bupati di Irian Jaya bahwa kalau mau disukai rakyat setempat janganlah korupsi. Tentu saja kita tidak memerlukan nasihat dia untuk menekankan perlunya pamong yan jujur dan tanpa pamrih tapi hal ini pun kiranya masih perlu disadari. Senjata lain yang dipakai Lagerberg adalah banyaknya petugas yang bukan putra daerah di jabatan penting. Wakil Presiden Adam Malik sendiri dalam peninjauannya ke Irian Jaya baru-baru ini mengemukakan bahwa sudah saatnya putra-putra Irian sendiri ikut membangun daerahnya. Tipikal Kolonial Salah satu makna dari kemerdekaan adalah mempertinggi kemampuan putra daerah untuk memangku jabatan yang tadinya dilakukan pegawai kolonial. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat sudah mempercayai mereka sebagai nasionalis-nasionalis Indonesia yang tidak akan berbuat yang macam-macam, apalagi memisahkan diri. Lagipula, penempatan mereka di jabatan penting menunjukkan hasil kemerdekaan itu sendiri. Kalau memang sudah banyak putra Irian yang sarjana dan ahli, tentu mereka akan bisa bertanggungjawab untuk jabatan jabatan bupati dan sekwilda provinsi. Kalau sudah lama, ya wajar saja mereka juga bisa memangku jabatan gubernur, apalagi mereka yang sudah magang sebagai wakil gubernur. Ini akan dengan sendirinya lebih mampu menjawab ilusi orang-orang seperti Lagerberg, yang mencita-citakan suatu Federasi Melanesia antara Irian (?), Papua Nugini dan Melanesia. Sampul buku itu sendiri merupakan pencerminan dari mimpi Lagerberg. Sampul depannya adalah bendera "Negara Papua Merdeka", sedang di sampul belakang, benar-benar tipikal kolonial sifatnya: Lagerberg dalam pakaian lapangan seorang Controleur, dengan pipa di mulut dan tembakau di tangan duduk di atas sebuah batu di daerah terpencil Irian, dengan seorang putrz Irian, tanpa baju, sedang menjerang kopi untuknya, duduk di rerumputan di bawahnya. Sangat disayangkan bahwa penerbit St. Martin yang biasanya cukup bermutu dalam menerbitkan buku-buku bernada radikal, terkecoh oleh balas dendam seorang bekas Controleur dengan judul yang pura-pura radikal dan menarik. Burhan Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus