Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penemu yang serba unggul

Karir dan kehidupan dari hans westenberg, penemu padi bibit unggul pb 5 dan pb 8, tahun 1972 mendapat hadiah magsaysay karena berbagai kepeloporannya dalam bidang pertanian. (tk)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMBUN pagi tak pernah dihiraukannya. Dengan topi lebar, orang tua berusia 83 tahun itu setiap pagi terbungkuk-bungkuk mengelilingi kebun singkongnya. Matanya tajam, seperti ingin memeriksa setiap batang tanaman. "Sejak kecil saya memang suka berkebun," katanya setiap kali orang bertanya tentang usianya yang lanjut dan kecintaannya yang tetap utuh pada pertanian. Dan memang, hanya jika matahari sudah tinggi benar, ia meninggalkan hamparan tanaman kesayangannya. Laki-laki itu betnama Hans Westenberg yang pada 1972 mendapat hadiah Magsaysay karena berbagai kepeloporannya dalam bidang pertanian. Dan ia memang lahir di tengah perkebunan, di Bangunpurba (Deli Serdang -- Sum-Ut dari seorang ayah yang waktu itu menjadi kontrolir perkebunan di sana. Westenberg yang kini berdiam di Desa Binjai, 9 km dari Tebingtinggi, berayah seorang Belanda dan beribu wanita Batak Karo. Anak bungsu dari 4 bersaudara ini sejak berusia 6 tahun bersekolah di Negeri Belanda dan tamat sebagai controlleur di sebuah fakultas di Leiden. Tapi rupanya ia lebih senang terjun langsung sebagai petani. PB 5 & PB 8 Di akhir tahun 1919 ia memang pernah bekerja untuk pamannya yang memiliki perkebunan karet dan kopi di Sumatera. Berpindah-pindah di berbagai perkebunan, sampai tahun 1970-an. Malahan pada 1960 ia sempat diangkat sebagai direktur PT Selayang, satu perusahaan pertanian milik Kodam II Bukit Barisan. Pada masa itu ia memang menjadi rebutan beberapa perusahaan perkebunan Belanda maupun pemerintah Indonesia. Dalam usia 30 tahun (pada 1928) ia mempersunting Carolina Westhoff, seorang putri Kolonel Angkatan Darat Belanda. Tapi wanita yang memberinya seorang anak ini kemudian diceraikannya tahun 1941. "Karena tidak ada kecocokannya," katanya mengenangkan. Sekarang istri dan anaknya itu (seorang ahli ekonomi yang mengajar di sebuah Universitas di Negeri Belanda) masih hidup di negeri bawah air itu. Anaknya sekali-sekali muncul. Tapi bekas istrinya, sejak perceraian tak sempat bersua lagi. Duda Westenberg, menemukan lagi cinta di wajah Phie Gweh Eng pada 1945. Putri seorang kontraktor singkek yang beribu Jawa. Pernikahan itu diakui Westenberg sendiri tidak sah, meskipun sempat menghadiahinya seorang anak pula. Ia tak mau bicara panjang soal itu, kecuali bahwa telah terjadi perpisahan di tahun 1975. "Sudahlah, kita bicara yang lain saja," katanya kepada Nian Poloan dari TEMPO. Karir Westenberg mulai mencatat sejarah yang berarti dalam dunia pertanian Indonesia pada 1950. Ketika itu ia membuka Kebun Jeruk. Sebagian dari areal perkebunan ini ia jadikan pilot proyek bibit padi. Letaknya 14 km dari Tebingtinggi. Saat itu pula ia menjadi warganegara RI. Ia memilih padi sebagai pilot proyek, "karena tanaman itulah sektor pangan yang terpenting pada masa itu dan di masa mendatang," katanya dengan aksen yang sedikit berbau Belanda. Usaha itu berhasil. Westenberg bekerja sama dengan seorang pastor bernama Kroll yang dikenalnya sejak dari Negeri Belanda. Berkat pastor itu ia berhasil menyelundupkan bibit padi sebanyak 2,5 kg -- waktu itu disebut jenis padi unggul PB 5 dan PB 8. Ia tak bersedia mengungkapkan cara penyelundupan itu. Bibit padi dikembangkannya di Kebun Jeruk yang luasnya 25 ha. Hanya dalam tempo 3 bulan, setiap hektar menghasilkan 8 ton padi. "Itu merupakan hasil panen yang sangat mengejutkan waktu itu," kenangnya dari balik kacamatanya yang tebal. Itu berarti padi unggul Westenberg dapat ditanam 3 kali setahun. Padahal petani di daerah itu rata-rata waktu itu hanya bertanam sekali setahun dengan bibit yang paling banter menghasilkan 2 ton tiap hektar. Ketika padi unggul itu dipanen, Westenberg mengundang Panglima Kopan (Komando Operasi Harapan) Letjen Kusno Utomo untuk menyaksikannya. Panglima terpesona. "Wah, ini perlu dikembangkan," kata Kusno Utomo melihat sukses itu. Westenberg kemudian dilimpahi Panglima Kopan kredit Rp 45 juta. Dengan itu ia membuka pilot proyek seluas 500 ha, bekerja sama dengan Kopan. Caranya hanya dengan membagi-bagikan bibit unggul itu secara gratis kepada penduduk di Dolok Masihul, Kabupaten Deli Serdang -- sembari memberikan bimbingan-bimbingan disertai syarat kalau panen hasilnya harus dijual ke Kebun Jeruk. Dalam proyek itu, Westenberg dibantu oleh tenaga-tenaga mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara. Hasilnya, lebih dari 2000 ton padi terkumpul setelah panen. Sebagian diserahkan kepada pihak Kopan sebagai pelunasan kredit. Sisanya dijual untuk bibit kepada Dinas Pertanian dan umum. Tapi kemudian pengembangan bibit unggul itu terhenti, karena ada teguran dari Jakarta. Alasan yang diberikan kepada Westenberg singkat, tapi tak bisa digugat: "ABRI kok ikut-ikutan dalam masalah tetek-bengek pertanian." Sejak itu Westenberg terpaksa melanjutkan perjuangannya tanpa bantuan siapa pun. Namun namanya sebagai penemu bibit unggul sudah tersebar luas. Musibah mulai datang. PB 5 dan PB 8 yang semula kebal wereng, mulai tak berdaya menghadapi serangan hama itu. Westenberg pun kebingungan. "Itu tak bisa didiamkan begitu saja," kisahnya. Ia kemudian menggapai pertolongan ke luar negeri, untuk mendapatkan bibit lain yang tak mempan digasak wereng. Setelah mencari-cari, berhasil ditemukan jenis PB 26, juga dari Filipina. Bibit ini pun diselundupkan diam-diam oleh seorang kenalannya. Sama dengan bibit sebelumnya, jenis ini pun waktu itu belum dimiliki pemerintah Indonesia. "Akibatnya sekali lagi Dinas Pertanian merasa kebobolan," kata lelaki tua itu sambil tertawa. PB 26 sempat dikembangkan. Sebagian sudah sampai ke tangan rakyat. Nama Westenberg pun kembali disebut oleh para petani sebagai juru selamat, karena jenis tersebut memang terbukti ampuh. Sayang ini tak berusia panjang. Tiba-tiba satu ketika pihak Dinas Pertanian menyetop dan memerintahkan Westenberg untuk tidak lagi memproduksi bibit itu. Semua stok bibit yang masih ada disita, sebagian dibayar dengan harga murah. "Itu merupakan tindakan sewenang-wenang. Padahal mereka tidak mempunyai hak memusnahkan bibit itu. Tindakan itu betul-betul menyakitkan hati," keluhnya. Westenberg bahkan hampir diseret ke pengadilan dengan tuduhan "menyelundupkan" bibit padi. Tapi untunglah persoalan ini berhasil diselesaikan, setelah beberapa rekannya seprofesi (seperti Almarhum Dr. Hadrian Siregar, penemu PB 3 PB 4) membelanya. "Ternyata pihak Dinas Pertanian merasa malu, karena didahului oleh orang swasta dalam mengatasi masalah padi tahan wereng itu," komentar Westenberg. Belakangan bibit itu beredar kembali di masyarakat. Namun sudah atas nama Diperta (Dinas Pertanian). "Ah, biarlah." kata Westenberg. Sejak itu, lelaki ini kemudian mengalihkan perhatiannya ke jenis tanaman kelapa, sorghum dan memelihara ikan. Kebun Jeruk pun dilepaskannya setelah kebun itu menjadi milik Yayasan Pengembangan Tani Indonesia yang mencantumkan Ibnu Sutowo (eks Dirut Pertamina) sebagai Presiden Direkturnya sejak 1972. Westenberg membeli 2 ha tanah di Binjai. Di situlah ia tinggal bersama putri angkatnya dalam sebuah rumah permanen yang mungil dengan 2 buah kamar tidur. Di Binjai Westenberg tetap meneruskan percobaan-percobaannya. Mula-mula ia berkebun pisang jenis warangan dan sedikit jagung. Ini gagal karena serangan penyakit. Seluruh pisangnya keok. "Padahal hasilnya lumayan hebat," kata orang tua yang telah banyak uban itu. Kemudian digantinya dengan singkong. Tampaknya usaha ini akan berumur panjang. "Karena tanaman itu tidak ada penyakitnya dan hasilnya tak kalah menguntungkan," ujarnya bangga. Masih Diperlukan Karena Westenberg selalu memburu yang unggul, dalam menanam singkong ia juga berusaha mencapai prestasi. Dengan berbagai cara, kini ia menanam singkong dengan hasil 70 sampai 100 ton setiap hektar. Petani biasa paling banter hanya mampu mencatat jumlah 20 ton. "Kalau dapat harga Rp 25 saja setiap kilo, sudah berapa uang yang saya peroleh ?" kata Westenberg dengan yakin. Di atas tanahnya sendiri, memang hampir tidak ada jengkal tanah yang tidak ia manfaatkan. Lepas sarapan roti di pagi hari, ia langsung terjun ke tengah kebun. Memeriksa, memandori para pekerjanya dan menyusun rencana-rencana. Siang, lepas kerja, ia membaca Newsweek dan Time serta buku-buku ilmiah yang sengaja dilangganinya. Kini kakek Westenberg sudah sering sakit-sakitan. "Sakit tua," kata anak angkatnya Imelda yang berusia 27 tahun. Namun ia tak jarang dipanggil ke Lampung oleh teman-temannya yang membuka kebun coklat, kelapa dan jambu monyet di sana. Buah pikirannya ternyata masih diperlukan. "Di atas tanah yang subur seperti ini, malu sebenarnya kalau kita impor beras terus menerus," kata Westenberg dengan prihatin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus