EMBUN pagi tak pernah dihiraukannya. Dengan topi lebar, orang
tua berusia 83 tahun itu setiap pagi terbungkuk-bungkuk
mengelilingi kebun singkongnya. Matanya tajam, seperti ingin
memeriksa setiap batang tanaman. "Sejak kecil saya memang suka
berkebun," katanya setiap kali orang bertanya tentang usianya
yang lanjut dan kecintaannya yang tetap utuh pada pertanian. Dan
memang, hanya jika matahari sudah tinggi benar, ia meninggalkan
hamparan tanaman kesayangannya.
Laki-laki itu betnama Hans Westenberg yang pada 1972 mendapat
hadiah Magsaysay karena berbagai kepeloporannya dalam bidang
pertanian. Dan ia memang lahir di tengah perkebunan, di
Bangunpurba (Deli Serdang -- Sum-Ut dari seorang ayah yang
waktu itu menjadi kontrolir perkebunan di sana.
Westenberg yang kini berdiam di Desa Binjai, 9 km dari
Tebingtinggi, berayah seorang Belanda dan beribu wanita Batak
Karo. Anak bungsu dari 4 bersaudara ini sejak berusia 6 tahun
bersekolah di Negeri Belanda dan tamat sebagai controlleur di
sebuah fakultas di Leiden. Tapi rupanya ia lebih senang terjun
langsung sebagai petani.
PB 5 & PB 8
Di akhir tahun 1919 ia memang pernah bekerja untuk pamannya yang
memiliki perkebunan karet dan kopi di Sumatera. Berpindah-pindah
di berbagai perkebunan, sampai tahun 1970-an. Malahan pada 1960
ia sempat diangkat sebagai direktur PT Selayang, satu perusahaan
pertanian milik Kodam II Bukit Barisan.
Pada masa itu ia memang menjadi rebutan beberapa perusahaan
perkebunan Belanda maupun pemerintah Indonesia.
Dalam usia 30 tahun (pada 1928) ia mempersunting Carolina
Westhoff, seorang putri Kolonel Angkatan Darat Belanda. Tapi
wanita yang memberinya seorang anak ini kemudian diceraikannya
tahun 1941. "Karena tidak ada kecocokannya," katanya
mengenangkan. Sekarang istri dan anaknya itu (seorang ahli
ekonomi yang mengajar di sebuah Universitas di Negeri Belanda)
masih hidup di negeri bawah air itu. Anaknya sekali-sekali
muncul. Tapi bekas istrinya, sejak perceraian tak sempat bersua
lagi.
Duda Westenberg, menemukan lagi cinta di wajah Phie Gweh Eng
pada 1945. Putri seorang kontraktor singkek yang beribu Jawa.
Pernikahan itu diakui Westenberg sendiri tidak sah, meskipun
sempat menghadiahinya seorang anak pula. Ia tak mau bicara
panjang soal itu, kecuali bahwa telah terjadi perpisahan di
tahun 1975. "Sudahlah, kita bicara yang lain saja," katanya
kepada Nian Poloan dari TEMPO.
Karir Westenberg mulai mencatat sejarah yang berarti dalam dunia
pertanian Indonesia pada 1950. Ketika itu ia membuka Kebun
Jeruk. Sebagian dari areal perkebunan ini ia jadikan pilot
proyek bibit padi. Letaknya 14 km dari Tebingtinggi. Saat itu
pula ia menjadi warganegara RI. Ia memilih padi sebagai pilot
proyek, "karena tanaman itulah sektor pangan yang terpenting
pada masa itu dan di masa mendatang," katanya dengan aksen yang
sedikit berbau Belanda. Usaha itu berhasil.
Westenberg bekerja sama dengan seorang pastor bernama Kroll yang
dikenalnya sejak dari Negeri Belanda. Berkat pastor itu ia
berhasil menyelundupkan bibit padi sebanyak 2,5 kg -- waktu itu
disebut jenis padi unggul PB 5 dan PB 8. Ia tak bersedia
mengungkapkan cara penyelundupan itu. Bibit padi
dikembangkannya di Kebun Jeruk yang luasnya 25 ha. Hanya dalam
tempo 3 bulan, setiap hektar menghasilkan 8 ton padi. "Itu
merupakan hasil panen yang sangat mengejutkan waktu itu,"
kenangnya dari balik kacamatanya yang tebal.
Itu berarti padi unggul Westenberg dapat ditanam 3 kali setahun.
Padahal petani di daerah itu rata-rata waktu itu hanya bertanam
sekali setahun dengan bibit yang paling banter menghasilkan 2
ton tiap hektar.
Ketika padi unggul itu dipanen, Westenberg mengundang Panglima
Kopan (Komando Operasi Harapan) Letjen Kusno Utomo untuk
menyaksikannya. Panglima terpesona. "Wah, ini perlu
dikembangkan," kata Kusno Utomo melihat sukses itu.
Westenberg kemudian dilimpahi Panglima Kopan kredit Rp 45 juta.
Dengan itu ia membuka pilot proyek seluas 500 ha, bekerja sama
dengan Kopan. Caranya hanya dengan membagi-bagikan bibit unggul
itu secara gratis kepada penduduk di Dolok Masihul, Kabupaten
Deli Serdang -- sembari memberikan bimbingan-bimbingan disertai
syarat kalau panen hasilnya harus dijual ke Kebun Jeruk.
Dalam proyek itu, Westenberg dibantu oleh tenaga-tenaga
mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara. Hasilnya, lebih dari
2000 ton padi terkumpul setelah panen. Sebagian diserahkan
kepada pihak Kopan sebagai pelunasan kredit. Sisanya dijual
untuk bibit kepada Dinas Pertanian dan umum.
Tapi kemudian pengembangan bibit unggul itu terhenti, karena ada
teguran dari Jakarta. Alasan yang diberikan kepada Westenberg
singkat, tapi tak bisa digugat: "ABRI kok ikut-ikutan dalam
masalah tetek-bengek pertanian." Sejak itu Westenberg terpaksa
melanjutkan perjuangannya tanpa bantuan siapa pun. Namun namanya
sebagai penemu bibit unggul sudah tersebar luas.
Musibah mulai datang. PB 5 dan PB 8 yang semula kebal wereng,
mulai tak berdaya menghadapi serangan hama itu. Westenberg pun
kebingungan. "Itu tak bisa didiamkan begitu saja," kisahnya. Ia
kemudian menggapai pertolongan ke luar negeri, untuk mendapatkan
bibit lain yang tak mempan digasak wereng. Setelah mencari-cari,
berhasil ditemukan jenis PB 26, juga dari Filipina. Bibit ini
pun diselundupkan diam-diam oleh seorang kenalannya. Sama dengan
bibit sebelumnya, jenis ini pun waktu itu belum dimiliki
pemerintah Indonesia. "Akibatnya sekali lagi Dinas Pertanian
merasa kebobolan," kata lelaki tua itu sambil tertawa.
PB 26 sempat dikembangkan. Sebagian sudah sampai ke tangan
rakyat. Nama Westenberg pun kembali disebut oleh para petani
sebagai juru selamat, karena jenis tersebut memang terbukti
ampuh. Sayang ini tak berusia panjang. Tiba-tiba satu ketika
pihak Dinas Pertanian menyetop dan memerintahkan Westenberg
untuk tidak lagi memproduksi bibit itu. Semua stok bibit yang
masih ada disita, sebagian dibayar dengan harga murah. "Itu
merupakan tindakan sewenang-wenang. Padahal mereka tidak
mempunyai hak memusnahkan bibit itu. Tindakan itu betul-betul
menyakitkan hati," keluhnya.
Westenberg bahkan hampir diseret ke pengadilan dengan tuduhan
"menyelundupkan" bibit padi. Tapi untunglah persoalan ini
berhasil diselesaikan, setelah beberapa rekannya seprofesi
(seperti Almarhum Dr. Hadrian Siregar, penemu PB 3 PB 4)
membelanya. "Ternyata pihak Dinas Pertanian merasa malu, karena
didahului oleh orang swasta dalam mengatasi masalah padi tahan
wereng itu," komentar Westenberg. Belakangan bibit itu beredar
kembali di masyarakat. Namun sudah atas nama Diperta (Dinas
Pertanian). "Ah, biarlah." kata Westenberg.
Sejak itu, lelaki ini kemudian mengalihkan perhatiannya ke jenis
tanaman kelapa, sorghum dan memelihara ikan. Kebun Jeruk pun
dilepaskannya setelah kebun itu menjadi milik Yayasan
Pengembangan Tani Indonesia yang mencantumkan Ibnu Sutowo (eks
Dirut Pertamina) sebagai Presiden Direkturnya sejak 1972.
Westenberg membeli 2 ha tanah di Binjai. Di situlah ia tinggal
bersama putri angkatnya dalam sebuah rumah permanen yang mungil
dengan 2 buah kamar tidur.
Di Binjai Westenberg tetap meneruskan percobaan-percobaannya.
Mula-mula ia berkebun pisang jenis warangan dan sedikit jagung.
Ini gagal karena serangan penyakit. Seluruh pisangnya keok.
"Padahal hasilnya lumayan hebat," kata orang tua yang telah
banyak uban itu. Kemudian digantinya dengan singkong. Tampaknya
usaha ini akan berumur panjang. "Karena tanaman itu tidak ada
penyakitnya dan hasilnya tak kalah menguntungkan," ujarnya
bangga.
Masih Diperlukan
Karena Westenberg selalu memburu yang unggul, dalam menanam
singkong ia juga berusaha mencapai prestasi. Dengan berbagai
cara, kini ia menanam singkong dengan hasil 70 sampai 100 ton
setiap hektar. Petani biasa paling banter hanya mampu mencatat
jumlah 20 ton. "Kalau dapat harga Rp 25 saja setiap kilo, sudah
berapa uang yang saya peroleh ?" kata Westenberg dengan yakin.
Di atas tanahnya sendiri, memang hampir tidak ada jengkal tanah
yang tidak ia manfaatkan. Lepas sarapan roti di pagi hari, ia
langsung terjun ke tengah kebun. Memeriksa, memandori para
pekerjanya dan menyusun rencana-rencana. Siang, lepas kerja, ia
membaca Newsweek dan Time serta buku-buku ilmiah yang sengaja
dilangganinya.
Kini kakek Westenberg sudah sering sakit-sakitan. "Sakit tua,"
kata anak angkatnya Imelda yang berusia 27 tahun. Namun ia tak
jarang dipanggil ke Lampung oleh teman-temannya yang membuka
kebun coklat, kelapa dan jambu monyet di sana. Buah pikirannya
ternyata masih diperlukan. "Di atas tanah yang subur seperti
ini, malu sebenarnya kalau kita impor beras terus menerus," kata
Westenberg dengan prihatin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini