Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Baku Bacok Kerabat Tanah Kei

Konflik antara John Kei dan Nus Kei diduga berlatar belakang perebutan uang jasa pengamanan sengketa lahan rumah sakit di Ambon, Maluku. Pekerjaan menjaga lahan masih menjadi favorit generasi baru preman asal timur Indonesia.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
John Kei (tengah) dihadirkan saat rilis atas kasus premanisme yang dilakukan kepada kelompok Nus Keidi Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin 22 Juni 2020./TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Konflik John Kei dan Nus Kei dilatarbelakangi sengketa tanah RSUD Dr M. Haulussy di Ambon, Maluku.

  • Kelompok preman menggunakan perusahaan berbadan hukum untuk mencari uang.

  • Polisi memiliki peta generasi baru preman di Jakarta dan sekitarnya.

TANTANGAN duel itu bertepuk sebelah tangan. Agrapinus Rumatora alias Nus Kei, 54 tahun, mengajak baku pukul sang keponakan, John Refra alias John Kei, di satu tempat. Nus mengirimkan tantangan itu lewat sepuluh pesan pendek ke akun aplikasi WhatsApp milik John, Sabtu, 23 Mei lalu. Tak satu pun pesan berbalas. “Pengecut,” tulis Nus di salah satu pesan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari sebelumnya, John mengirimkan beberapa anak buahnya ke salah satu rumah Nus di kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka mengintimidasi anak buah Nus. “Ini urusan dia (John Kei) dan saya, kenapa harus membawa orang lain?” ujar Nus kepada Tempo, Sabtu, 30 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nus menghitung, anak buah John mendatangi rumahnya di Kosambi dan Green Lake City, Cipondoh, Tangerang, Banten, sebanyak tiga kali. Polanya, kata Nus, selalu sama. Para pemuda itu datang dengan mengendarai mobil, lalu mengancam anak buah Nus. Mereka baru angkat kaki setelah anak buah Nus yang lain mengejar.

Nus Kei (tengah) menyaksikan prarekonstruksi penyerangan di rumahnya oleh kelompok John Kei, Rabu, 24 Juni 2020. Tempo/Ayu Cipta

Bentrokan berdarah terjadi dalam pertemuan keempat. Tujuh anak buah John Kei, 53 tahun, diduga menyerang dua anggota kelompok Nus di Jalan Raya Kresek, Duri Kosambi, pukul 11.30, Ahad, 21 Juni lalu. Mereka membacok keduanya.

Seorang anak buah Nus bernama Yustus Dorwing Rakbau, 45 tahun, tewas. “Korban meninggal karena luka bacok,” tutur Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Nana Sujana, sehari seusai penyerangan.

Sekitar satu jam kemudian, kelompok lain dengan mengendarai tiga unit mobil menyerang rumah Nus Kei di Cipondoh, Tangerang. Mereka merusak rumah Nus serta melukai seorang anggota satuan pengamanan dan seorang pengendara ojek daring (online).

Mereka tak berhasil menemui Nus Kei, yang tengah bergegas menuju Duri Kosambi untuk menengok Yustus yang terkapar berlumuran darah di jalan. Pengacara John Kei, Anton Sudanto, dalam berbagai kesempatan membantah jika kliennya disebut sebagai otak penyerangan ini. “Tidak ada bukti John Kei memerintahkan penyerangan itu,” ucap Anton kepada wartawan, Selasa, 23 Juni lalu.

Beberapa jam seusai insiden itu, petugas gabungan dari Polda Metro Jaya, Kepolisian Resor Tangerang, dan Kepolisian Sektor Medansatria menggeruduk markas John Kei di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi, Jawa Barat, Ahad malam, 21 Juni lalu. John dan puluhan anak buahnya tak melawan saat ditangkap. Penyidik menjerat John dan 37 anak buahnya dengan pasal penganiayaan dan pembunuhan berencana.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menduga konflik yang terjadi antara John Kei dan Nus Kei adalah persoalan loyalitas di komunitas mereka. Meski berstatus paman, Nus pernah menjadi anak buah John Kei sejak 1990-an hingga 2016. “Dia (John) menganggap Nus Kei pengkhianat,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 29 Juli lalu.

Persoalan lain adalah perebutan uang jasa pengamanan dalam sengketa lahan Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Ambon, Maluku. John menuduh Nus mengingkari pembagian “uang preman” dalam sengketa itu. “Persoalan pribadi antara John dan Nus Kei terkait dengan ketidakpuasan hasil pembagian penjualan tanah,” ucap Inspektur Jenderal Nana Sujana.

Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku yang mengetahui persis kasus ini mengatakan sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy berlangsung sejak 2009. Johannes Tisera mengklaim 3,1 hektare lahan RSUD merupakan tanah warisan ayahnya. Pemerintah Provinsi Maluku mengubah lahan menjadi asrama mahasiswa keperawatan, kamar mayat, dan bangunan pendukung RSUD Dr M. Haulussy.

Gugatan Johannes Tisera ke Pemerintah Provinsi Maluku kandas di pengadilan daerah. Ia menggandeng Fransiskus Refra alias Tito Kei menjadi penasihat hukum saat mendaftarkan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada masa itu, kata anggota DPRD tersebut, Tito meminjam uang Rp 1,4 miliar kepada sang kakak, John Kei. Mereka menggunakan uang itu untuk berbagai keperluan selama proses kasasi.

John Kei saat itu berada di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia dihukum 16 tahun penjara karena terlibat pembunuhan mantan bos PT Sanex Steel, Tan Hary Tantono alias Ayung, pada 26 Januari 2012. John menerima pembebasan bersyarat pada 26 Desember 2019 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

John menyetujui peminjaman uang. Ia memberikan satu syarat: jika berhasil memenangkan gugatan, uang itu berbunga menjadi Rp 3 miliar. Bunga ini diduga sekaligus upah John yang menggunakan pengaruh dan anak buahnya menjaga dan mengawasi sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy. Johannes Tisera menuntut ganti rugi Rp 69 miliar atas penggunaan lahan seluas 3,1 hektare itu.

Proyek ini mengalami kendala saat Tito tewas pada 31 Mei 2013. Seorang pria tak dikenal menembak kepala Tito saat mengaso di kompleks perumahan mereka di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi. Setelah kematian Tito, Johannes Tisera, sang pemilik tanah, meminta bantuan Nus Kei. “Utusannya yang mendatangi saya,” ujar Nus.

Nus dan Johannes bertemu di Jakarta. Mereka menyepakati sejumlah perjanjian, di antaranya meminjam uang Rp 1 miliar untuk mengurus proses kasasi di MA. Uang Rp 1 miliar, kata Nus, bukan berasal dari kocek John Kei. “Itu patungan bersama teman-teman lain,” ucapnya.

Nus juga berencana memanfaatkan pejabat kenalannya di Pemerintah Provinsi Maluku. Ia mengaku sudah melaporkan kesepakatan ini kepada John Kei saat keponakannya itu masih berada di LP Nusakambangan. Nus mengaku tak mengetahui soal pinjaman Tito kepada John Kei.

Sidik Latuconsina menjadi penasihat hukum Johannes Tisera saat sengketa lahan RSUD Dr M. Haulussy memasuki tahap kasasi. Sidik membantah menggunakan sejumlah uang untuk mengurus proses kasasi. Ia mengawal sendiri proses ini hingga MA mengabulkan kasasi kliennya. Ia tak mengetahui peran Nus dan John Kei dalam sengketa ini. “Saya juga baru tahu ada John dan Nus Kei dalam sengketa RSUD Halaussy,” ujarnya.

Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Johannes Tisera pada 2017. Seusai putusan kasasi, Pemerintah Provinsi Maluku dan kubu Johannes Tisera menyepakati nilai ganti rugi menjadi Rp 49 miliar. Pemerintah Provinsi Maluku mencicil pembayaran Rp 13 miliar kepada Johannes pada pertengahan 2019 dan Maret lalu.

Mendengar kabar pembayaran itu, John Kei lalu mengutus empat orang kepercayaannya menemui sejumlah pihak di Kota Ambon, Maret lalu. Mereka di sana hampir dua pekan. Utusan John melapor bahwa Johannes Tisera sudah mengirimkan sejumlah uang kepada Nus Kei. Dari sana kesumat berkobar.

John kemudian menagih pembagian uang itu kepada Nus Kei. Nus mengelak karena merasa tak memiliki kewajiban memberikan uang kepada John. Ia menduga ada kesepakatan antara Tito Kei dan Johannes Tisera soal pembagian uang. Tapi ia menolak mencampuri perjanjian itu. Ia sudah melunasi pinjaman Rp 1 miliar kepada temannya. “Urusan saya di Ambon sudah selesai,” katanya.

Polisi menyusun barang bukti dalam konferensi pers kasus premanisme oleh kelompok John Kei di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin 22 Juni 2020. Tempo/Muhammad Hidayat

Nus mengaku sudah berupaya membantu John menerima “jatah” pembayaran ganti rugi lahan RSUD Dr M. Haulussy . Ia meminta John menunggu proses penganggaran di Pemerintah Provinsi Maluku. “Proses pencairan anggaran pemerintah kan ada tahapannya, tapi dia tak sabar,” ucap Nus.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan John Kei mengakui motif kekecewaan pembagian uang sengketa RSUD Dr M. Haulussy saat menjalani pemeriksaan. Namun hal itu diduga hanya menjadi salah satu pemicu penyerangan. John, kata Tubagus, masih menganggap Nus sebagai prajurit di kelompoknya.

Kepada penyidik, John mengaku kesal saat Nus keluar dari komunitas pada 2016. Nus juga dituduh memboyong sebagian anak buah John, yang masih kerabatnya. Loyalitas, menurut Tubagus, menjadi syarat utama keanggotaan di komunitas preman. “Apalagi John menuduh Nus menjelekkan namanya,” ujar Tubagus.

Pengacara John Kei, Anton Sudanto, belum memberikan jawaban soal sengketa tanah di RSUD Dr M. Haulussy dan tudingan premanisme hingga Jumat, 31 Juli lalu. Ia berjanji menerima wawancara Tempo, Rabu, 29 Juli lalu. Setelah itu, Anton tak merespons pesan pendek dan panggilan telepon. Putri John, Melan Refra, juga tak merespons permintaan wawancara.

• • •

NAMA John Refra alias John Kei sudah lama menjadi legenda di dunia bawah tanah di Jakarta. Dia makin disegani setelah keluar dari penjara Nusakambangan pada Desember 2019.

Salah satu anak buah John, Denny Ouw, menceritakan dengan bangga pengalamannya bersama sang bos. Sebelum John dipenjara pada 2012, Denny bisa menerima penghasilan sekitar Rp 30 juta per bulan. Ia menjadi centeng dan penguasa lahan parkir di sepanjang wilayah Kelurahan Ujung Menteng, Jakarta Timur, hingga Harapan Baru, Bekasi. “Itu jatah dari parkiran dan kafe-kafe di sana,” tuturnya, Selasa, 28 Juli lalu.

Denny mengenang, setiap beraktivitas, ia kerap menjual nama John Kei. Meski kini sudah mandiri dengan kelompok sendiri, Denny tetap membawa nama John Kei. “Hasilnya lebih besar jika kami membawa nama John Kei,” katanya.

Denny merekrut puluhan anggota baru setelah John Kei dipenjara karena dituduh terlibat pembunuhan Tan Hary Tantono alias Ayung pada Januari 2012. Saat ini, ia menjabat Panglima Pusat Maluku Satu Rasa Salam Sarane. Wilayah “kekuasaan”-nya mencakup berbagai wilayah di DKI Jakarta.

Bersama anggotanya, Denny melakoni berbagai pekerjaan. Di antaranya, juru penagihan utang, penarik unit kendaraan yang mengalami kredit macet, dan penagih utang. Ia menyebut profesinya adalah “penagih lepas”.

Pria paruh baya ini sesekali menjadi penjaga lahan dalam sengketa. Meski mengaku tak terlalu menyukai pekerjaan menjaga lahan, Denny mengatakan penghasilan dari sana memang menggiurkan. Upah menjaga lahan paling sedikit bernilai 10 persen dari harga tanah. “Kalau tanahnya Rp 100 miliar, kami setidaknya minta bayaran Rp 10 miliar,” ujarnya.

Mereka menganggap nilai ini setimpal dengan risiko yang akan dihadapi. Kelompok Umar Ohoitenan alias Umar Kei bahkan mematok tarif 15-20 persen dari nilai tanah. “Menjaga tanah butuh orang yang lebih banyak,” kata Raul Kalila, tangan kanan Umar Kei, Selasa, 28 Juli lalu.

Raul juga menjadi pengurus Dewan Perwakilan Pusat Front Pemuda Muslim Maluku pimpinan Umar Kei. Nama Umar berkibar sebagai salah satu tokoh pemuda Ambon setidaknya dalam satu dekade terakhir. Umar tak pernah bergabung dengan kelompok John Kei. John, Nus, dan Umar berasal dari Kepulauan Kei, Maluku.

Peta ikhtisar RSUD Haulussy ditunjukkan oleh Kepala Seksi Infrastruktur Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon Joseph Labery, 29 Juli 2020. Belseran Christ

Denny Ouw mengatakan mereka harus bersiap baku bacok jika tanah yang berstatus sengketa sedang diproses di pengadilan. Itu terjadi pada 2012, ketika kelompok John Kei berhadapan dengan kelompok Rozario Marshall alias Hercules di salah satu lahan sengketa di Jakarta Barat.

Pengadilan memenangkan pengusaha yang dibela John Kei. Sementara itu, anak buah Hercules masih menguasai lahan. “Kami masuk dengan parang,” ujarnya. Ia mengklaim peristiwa semacam ini masih kerap “meledak” di berbagai tempat. Makin banyak memenangi bentrok dengan kelompok lain, mereka akan makin disegani.

Senada dengan kelompok John, Umar Kei cs menggarap pekerjaan menagih utang dan menjadi penarik kendaraan bermotor dari perusahaan leasing. Raul Kalila mengatakan upah setiap menarik mobil yang mengalami kredit macet bisa mencapai Rp 15 juta per unit. “Ini pekerjaan halal karena menggunakan surat kuasa dari klien kami,” katanya.

Selain menggunakan surat kuasa, kelompok-kelompok pemuda ini memakai perusahaan berbadan hukum di tiap “pekerjaan”. Raul dan Denny Ouw menganggap surat kuasa dan perusahaan resmi akan mengamankan posisi mereka dari jeratan hukum jika berkonflik dengan pihak yang akan ditagih.

Mereka akan bersikap intimidatif jika mendapat perlawanan dari pihak yang menjadi target penagihan. “Katorang (kami) bisa mengancam dorang (dia/pemilik utang) dengan menggunakan nama-nama besar seperti John Kei,” ucap Denny.

Ada pula kelompok yang lebih memanfaatkan jaringan ketimbang nama besar. Nus Kei mengatakan tak bergantung lagi pada John Kei sejak 2016. Ia sudah memiliki perusahaan sendiri. Nus enggan menjelaskan bisnis perusahaannya. Selama beraktivitas, ia menggandeng berbagai kelompok dari Nusa Tenggara Timur. “Jika ada konflik, kami mengutamakan jalan perdamaian dengan pendekatan kedaerahan,” ujarnya.

• • •

KOMISARIS Besar Tubagus Ade Hidayat mengaku polisi sudah mengantongi peta para preman Ambon di Ibu Kota. Ia memperkirakan anak buah John Kei mencapai seratusan orang saat ini. Anak buah John umumnya bekerja sebagai petugas keamanan, pengacara, hingga pekerja serabutan.

Mereka bermukim di sekitar rumah John di Bekasi. Selain mempunyai rumah, John memiliki banyak kantor di sana. “Mereka terus bertumbuh karena masih ada pihak yang menggunakan jasa mereka,” ucapnya.

Pasca-bentrokan antara kelompok Nus Kei dan John Kei, Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis memerintahkan jajarannya serius memberantas premanisme. Keberadaan kelompok preman, kata dia, meresahkan publik yang merasa terteror oleh sepak terjang mereka.

Idham berjanji polisi tak akan menoleransi premanisme dengan dalih apa pun. Yang tertangkap melanggar hukum akan dihukum berat. “Negara tidak boleh kalah oleh preman,” ujarnya, Senin, 22 Juni lalu.

MUSTAFA SILALAHI, RIKY FERDIANTO, BELSERAN CHRIST, MUHAMMAD JAYA BARENDS (AMBON)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus