Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Drama Musikal Renungan Sidharta Gautama

Siddhartha The Musical menampilkan kisah hidup Sidharta Gautama dalam perjalanan mencari makna kehidupan hingga menjadi Buddha.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANYAAN-pertanyaan Sidharta Gautama tentang tubuh, kelahiran, dan kematian menjadi motor utama pertunjukan Siddhartha The Musical yang berlangsung selama tiga hari, 24-26 Mei 2024, di gedung teater Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Penyanyi sopran Malaysia, Jun Wen Wong, yang memerankan Sidharta, mampu menampilkan imaji sosok anak muda yang teguh dan kokoh keyakinannya, tidak tergoda apa pun—takhta atau wanita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyajikan adegan Sidharta bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Buddha mengenakan jubah yang mencolok dengan usnisa, tonjolan ubun-ubun yang dibalut gelung rambut, salah satu ciri fisik (lakshana) utama Buddha (perlambang kemampuan transendental Buddha yang tinggi). Panggung pun terlihat tenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikemas dengan pengadegan-pengadegan pop ala Broadway, pentas kolosal ini semarak dengan ilustrasi tari, tapi tidak kehilangan esensi persoalannya. Sutradara dan penulis skenario dari Malaysia, Ho Lin Huay, menampilkan riwayat Buddha secara kronologis.

Di awal ia menyajikan adegan yang menggambarkan pemerintahan Suddhodana (ayah Sidharta) di Kapilavastu yang adil di tengah situasi sosial India kuno yang terbagi dalam kasta-kasta. Pasangan Suddhodana dan Maya dikisahkan sudah lama tidak memiliki keturunan. Sampai kemudian Maya bermimpi didatangi gajah putih.
 
Layar digital di panggung memperlihatkan visual seekor gajah putih. Dalam literasi Buddhisme, gajah itu masuk ke perut sebelah kanan Maya. Sebagaimana Kristus, kelahiran Sidharta dalam literatur Buddhis dipercaya bukan hasil pembuahan seksual. Namun hal itu tidak ditekankan oleh Ho Lin Huay. Pertunjukan mulai masuk ke dimensi perenungan ketika Sidharta menginjak masa remaja.

Di dalam istana, Sidharta melakukan refleksi tentang tubuh. Mengapa tubuh berubah saat tua, lemah, sakit, serta kemudian mati dan hancur? Bagaimana cara bisa keluar dari siklus kelahiran-kematian? Dalam pementasan, adegan perenungan ini mendapat porsi yang cukup banyak. 

Pentas Siddharta The Musical di gedung teater Jakarta International, Kemayoran, Jakarta, 25 Mei 2024. Siddhartha The Musical

Pangeran Sidharta digambarkan sedang ditandu oleh penggawanya dan menyaksikan orang sekarat dan mati di luar istana. Dari situ Sidharta makin yakin tentang tidak adanya permanensi. Dari situ dia bertekad mengembara melakukan pembebasan tubuh dari siklus lahir-mati itu. Ia ingin mencari jalan yang mampu menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan. 

Pementasan ini berhasil karena pertanyaan-pertanyaan Sidharta di adegan awal terus dipertahankan suasananya sampai adegan akhir. Dramaturgi terjaga.

Bukanlah hal baru kisah tokoh spiritual diangkat ke pentas drama musikal atau opera. Kita ingat, pada 1970-an, Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice mengeluarkan album rock opera legendaris: Jesus Christ Superstar. Piringan hitam ataupun kasetnya juga beredar luas di Indonesia. Generasi rock saat itu cukup familier dengan lagu-lagu mereka. 

Vokal Yesus dalam album itu dilantunkan oleh Ian Gillan (yang kemudian dikenal sebagai vokalis grup musik rock Deep Purple). Rock opera ini kemudian dipentaskan di Broadway pada 1971 dengan Ted Neeley yang berperan sebagai Kristus. Pentas itu sukses besar.

Akan halnya Siddhartha The Musical, pementasan ini pertama kali dimainkan pada 1999 di Kuala Lumpur dan kemudian melanglang buana. Pada 2007, pertunjukan ini dibawa ke Jakarta International Exhibition Centre Mangga Dua Square. Tahun ini tepat 25 tahun usia Siddhartha The Musical. Musiknya ditata oleh komponis Ime Ooy, yang dikenal sebagai komposer Malaysia yang banyak mengaransemen mantra, dharani, dan puji-pujian Buddhis klasik berbahasa Pali, Sanskerta, Tibet, dan Mandarin dalam komposisi populer. 

Sebenarnya pementasan ini bisa menghasilkan lagu-lagu perenungan liris yang bahkan dapat menjadi single andalan tersendiri. Kita ingat bagaimana lagu “Gethsemane” dilantunkan oleh Ian Gillan dalam album Jesus Christ Superstar. Lirik lagu itu berisi pertanyaan-pertanyaan pribadi Kristus di Taman Getsemani sebelum disalibkan. Demikian membekas.

Hal itu juga dibuat Ime Ooy tatkala Sidharta menyepi di hutan dan merenungkan pergulatannya, menafikan tubuh dan pikirannya, dari cara keras sampai jalan tengah. Namun theme song-nya belum bisa dibilang kuat. 

Pentas Siddharta The Musical di gedung teater Jakarta International, Kemayoran, Jakarta, 25 Mei 2024. Siddhartha The Musical

Pertunjukan di Kemayoran ini menarik karena melibatkan cukup banyak pemeran dari Indonesia. Sebelas penari Eksotika Karmawibhangga Indonesia dilibatkan. Pilihan ini sangat tepat karena grup itu berbasis komunitas Buddhis dan tendensi artistik mereka mengarah pada balet populer. Pementasan juga melibatkan puluhan penganut Buddha yang tergabung dalam Sahabat Dhamma sebagai figuran. 

Tidaklah mudah menata kolaborasi ini karena memerlukan kerja keras. Dan ternyata cukup berhasil. Blocking dan gerak para figuran yang berperan menjadi penandu Sidharta, rakyat jelata, sampai rombongan biku tidak kaku atau membosankan.

Drama musikal ini terdiri atas dua babak dengan masa istirahat 15 menit. Babak pertama terdiri atas 9 adegan dan babak kedua 10 adegan. Transisi dan pergantian set dari adegan satu ke adegan lain berjalan mulus. Properti set istana dan hutan tidak begitu kompleks karena urusan artistik banyak mengandalkan ilustrasi digital. 

Skenario Ho Lin Huay menyajikan riwayat Sidharta dari masa lahir sampai wafat. Tapi di panggung terasa porsinya lebih padat pada bagian awal Buddha sampai ia mendapat pencerahan. Ho Lin Huay tidak berhasrat melukiskan perjuangan Buddha mengembara selama puluhan tahun. Selama itu Buddha berkhotbah dan berlatih bersama ratusan biku dari satu desa ke desa lain, dari satu hutan ke hutan lain.

Sebagaimana Kristus yang memiliki 12 rasul, Buddha memiliki murid-murid utama yang sudah mencapai tahap suciwan, seperti Bhante Kondadana, Sariputra, Mahamoggallana, Maha Kassapa, dan Bakulla. Mereka bersama-sama membangun sangha. Skenario Ho Lin Huay seperti melompat saat sangha sudah mulai mapan dan Buddha yang berumur 72 tahun menghadapi tantangan.

Dalam dramaturgi diperlukan konflik agar peristiwa hidup. Sebagaimana Jesus Christ Superstar yang menampilkan Yudas, sang pengkhianat, sebagai pemeran utama, Ho Lin Huay memasukkan peristiwa pembangkangan dan pengkhianatan Biku Devadatta terhadap Buddha. Devadatta adalah sepupu Sidharta. Ia adalah adik Yasodhara. Ia bersama adik kandungnya, Ananda, memilih meninggalkan istana dan mengikuti jalan Buddha. 

Ananda mencapai taraf suciwan. Ia memiliki ingatan yang tajam. Sebagian besar isi khotbah Buddha dalam Tripitaka merupakan ingatan Ananda. Sementara itu, Devadatta tak tumbuh menjadi murid yang baik. Ia cemburu kepada Buddha. Ia melawan Buddha dengan menghasut para biku untuk mendirikan sangha tandingan dan menjadikannya kepala ordo. Ia berusaha membunuh Buddha. Ananda memperingatkan Devadatta, tapi tak digubris. Penonton bertepuk tangan meriah saat di panggung diperlihatkan adegan Devadatta terkena karmanya, mati amblas ditelan bumi.

Di bagian akhir, Ho Lin Huay secara menarik menampilkan adegan Sidharta bertemu dengan Yasodhara, istrinya. Ini menjadi sebuah roman yang lain. Bumbu perpisahan-pertemuan kembali sepasang kekasih selalu mewarnai resep-resep cinta Hollywood. Setelah sekian tahun berkelana, Sidharta sebagai Buddha kembali ke istana menemui keluarganya.

Ho Lin Huay sedikit menampilkan adegan dalam perspektif Yasodhara. Ia selama ini sebagai istri merasa kesepian ditinggal pergi sang suami. Buddha mengatakan dia pergi untuk menemukan jalan yang dapat mengatasi penderitaan semua makhluk. Yasodhara pun akhirnya mengerti. Ia memahami suaminya.

Biasanya roman-roman asmara selalu bertolak dari prinsip bahwa cinta itu abadi, sementara hubungan Sidharta-Yasodhara lain. Di antara mereka terjalin pengertian: cinta adalah sesuatu yang fana, tak kekal. Ini menarik. 

Betapapun bumbu kisah cinta mendapat porsi di adegan-adegan akhir, secara keseluruhan pentas ini tidak kehilangan esensinya. Adegan pengujungnya, yaitu saat Buddha mengalami nibbana (menjelang wafat berbaring dikelilingi para murid dan pengikutnya), terasa sebagai klimaks yang logis. Adegan detik-detik kematian itu ditata apik dan mampu memberi suasana pergulatan Buddha sepanjang hidupnya mencari jalan mengakhiri penderitaan manusia. 

Pementasan menyambut Waisak ini berharga karena jarang umat Buddha dan kalangan teater kita disuguhi tontonan kisah Buddhis yang amat kaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Perenungan Sidharta dan Sebuah Drama Musikal"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus