Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para perupa Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta memamerkan karya-karya mereka setelah mempelajari bahasa Jawa Kuno.
Mereka juga mempelajari sejumlah situs sejarah dan purbakala di Jawa Timur sebagai upaya memperdalam pengetahuan.
Menajamkan pembacaan inskripsi dan memperkuat inspirasi dari karya mereka.
PENDARAN cahaya lampu light-emitting diode atau LED berwarna merah muda, hijau pupus, dan kuning itu menampakkan bentuk mahkota raksasa. Suasana gelap gulita ruangan berukuran 2 x 2,5 meter, ditambah balutan tirai serba hitam di sekujur dinding dan lantai, memperjelas bentuk mahkota yang ujung atasnya tergantung di langit-langit kamar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentuk mahkota bagian atas menyerupai lingga dan di bagian bawahnya seperti yoni. Aspek utama lingga melambangkan api atau cahaya sebagai manifestasi kekuatan dan kekuasaan. Adapun di bagian atap (di atas mahkota yang menggantung) terdapat Suryapala, yaitu lambang Kerajaan Majapahit (Wilwatikta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah Stri Makuthadara, seni instalasi karya Syska Liana atau Syska La Veggie yang dipajang di Rumah Budaya Malik Ibrahim, Sidoarjo, Jawa Timur. Mengangkat tema “Pameran Aksara Jawa Kuna Nawasena”, kegiatan yang diikuti oleh 15 seniman muda tersebut berlangsung pada 4-26 Mei 2024.
Stri makuthadara sendiri mengandung arti mahkota yang dikenakan raja perempuan. Syska memang sedang mengulik ulang tiga perempuan hebat Majapahit, Sri Rajapatni (pendamping dan pembimbing raja), Sri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani (raja ketiga), dan Dewi Suhita (raja keenam).
Nama-nama mereka ditulis Syska pada material LED yang menyala terang di dinding ruangan sempit itu. “Mereka sebagian perempuan hebat yang mempunyai peran penting dalam kejayaan Majapahit. Mereka membuktikan diri mampu memimpin Nusantara yang seluas ini,” ucap Syska, yang juga ketua panitia pameran, pada acara pembukaan, Sabtu sore, 4 Mei 2024.
Dia mengungkapkan, para raja dan kerabat istana biasanya digambarkan mengenakan hiasan badan lengkap serta mahkota dengan rambut yang dipilin bersusun tinggi dan dihiasi batu permata. Mahkota tak hanya hiasan kepala para ratu, tapi juga simbol lambang kekuasaan, kejayaan, dan kemakmuran.
“Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa perempuan mempunyai kedigdayaan dengan peran dan kedudukan penting dalam masa keemasan era Jawa Kuno,” ujarnya.
Untuk menjelaskan sosok mereka, Syska melengkapi kamar pamerannya itu dengan audio narasi tentang Rajapatni, Tribhuwanottunggadewi, dan Suhita. Suara berdurasi sekitar dua menit itu diperdengarkan kepada pengunjung yang memasuki bilik.
Syska menjelaskan, materi narasi itu ia ambil dari Kakawin Negarakertagama, Kakawin Pararaton, Prasasti Geneng II, dan Prasasti Canggu yang merupakan catatan tertulis mengenai ketiganya. Narasinya bertutur tentang riwayat dan peran mereka.
“Sengaja saya buat demikian agar menarik perhatian generasi muda untuk mengenali sosok tiga perempuan tersebut, serta agar pamerannya sendiri Instagramable,” tutur Syska.
Syska menuturkan, yang terlibat dalam pameran kebanyakan adalah generasi muda, baik seniman maupun panitia. Mereka adalah A. Khafidz Fadli, Abqoriyin Hizan, Al Satrio, Bagus Abimanyu, Dewi R. Maulidah, Filda Miftahul Jannah, Fakhita Madury, Ika Arista, Mukhamad Aji Prasetyo, Sultan Putra, Shafi Rahman, Theresia Alit Kurniawati, Yosep Arizal, dan Zumma A.K.
Mereka berasal dari Sidoarjo, Jombang, dan Malang, Jawa Timur; Sukoharjo, Jawa Tengah; serta Yogyakarta. Sebelas di antaranya diundang secara terbuka dan empat lainnya diajak secara pribadi. Syska mengaku mementingkan kesetaraan gender dalam seleksi peserta. Hal ini jarang terjadi dalam pameran bersama lantaran umumnya pameran didominasi seniman laki-laki. “Saya pikir komposisi delapan seniman perempuan dan tujuh laki-laki ini hampir mustahil terjadi di Jawa Timur selama ini,” ucapnya.
Lawang Aksara Jawa Kuna karya Shafi Rahman. Tempo/Kukuh S Wibowo
Pameran itu sendiri merupakan rangkaian akhir kegiatan belajar aksara Jawa Kuno dan aksara Kawi yang berlangsung sejak Februari 2024. Bentuknya berupa program kelas satu bulan pelajaran menulis aksara Jawa Kuno dan Kawi di atas daun lontar seminggu sekali. Kegiatan dilanjutkan dengan kunjungan ke situs-situs purbakala pada Maret 2024.
Situs-situs yang dikunjungi adalah pusat informasi Majapahit di situs Trowulan, Candi Tikus, dan Petirtaan Jolotundo, Mojokerto, Jawa Timur. Kunjungan selanjutnya ke Museum Mpu Tantular, Prasasti Kamalagyan era Mpu Sindok, dan Candi Dermo, Sidoarjo. Syska mengungkapkan, situs-situs yang dipilih memiliki inskripsi karena mereka hendak membaca langsung di tempat. Setelah itu, peserta memutakhirkan progres kekaryaannya dan dituangkan dalam bentuk pameran instalasi tersebut.
Syska menerangkan, rangkaian kegiatan itu didukung oleh Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kategori pemberdayaan ruang publik untuk perorangan atas nama dia sendiri. Sebelumnya, Syska mengimbuhkan, Rumah Budaya Malik Ibrahim pernah menyelenggarakan kegiatan kelas serupa dan Syska salah satu pesertanya.
“Setelah mendapatkan pembiayaan Dana Indonesiana, saya berpikir alangkah lebih bagus bila seniman yang diajak mempelajari aksara Jawa Kuno dan Kawi mengekspresikannya dalam karya yang bisa dinikmati publik. Jadi ada output-nya,” kata Syska.
Ide Syska ternyata bersambut. Sebanyak 15 seniman yang mengikuti program tersebut menerima tantangan Syska. Syska pun mengaku bangga dan terharu melihat usaha gila-gilaan peserta. Mereka mengkreasi aksara Jawa Kuno dan Kawi tersebut ke dalam seni instalasi. Sebelas karya dipamerkan di dalam ruangan dan sisanya di luar ruangan, tepatnya di halaman belakang Rumah Budaya.
Salah satunya Lawang Aksara Jawa Kuna karya Shafi Rahman. Pelajar madrasah aliyah negeri di Surabaya itu menutupi pintu dengan tirai lontar, yakni daun lontar yang dijahit dengan senar pancing. Jalinan daun lontar bertulisan aksara Jawa Kuno itu mampu menutupi pintu dengan rapat. Butuh sibakan kuat agar pintu terbuka.
Penerima Anugerah Kebudayaan 2023 kategori remaja itu semula kurang puas saat mempelajari aksara Jawa Kuno dan Kawi hanya melalui tabel yang diberikan panitia. Shafi pun punya ide agar aksara tersebut lebih menyenangkan saat dipelajari, seperti cara anak muda zaman sekarang mempelajari bahasa asing. Maka timbul gagasannya membuat flashcard Jawa Kuno.
“Bagi saya, mempelajari aksara Jawa Kuno sama asyiknya dengan belajar bahasa asing lain. Agar generasi muda mau ikut mempelajari secara asyik, saya berusaha membuat flashcard,” ujarnya.
Sementara itu, Ika Arista menyajikan Bherras Dumpa. Ia memajang sebilah keris berwarna hitam legam dalam posisi berdiri di tengah gundukan beras. Selarik aksara Jawa perada emas menghiasi bilah keris tersebut. Ika mengatakan ia hendak menggambarkan keris Omyang Jimbe khas Blitar, Jawa Timur.
Keunikan pusaka tersebut adalah masih kuatnya mitos bahwa keris Omyang Jimbe bisa menambah beras hanya dengan disimpan atau didekatkan dengan beras. Dengan begitu, pemilik pusaka tidak akan kekurangan beras.
Dalam dunia tosan aji, khususnya keris, aksara kuno tidak berdiri sendiri hanya sebagai aksara atau alat komunikasi. Aksara kuno juga dianggap sebagai nilai yang menentukan relevansi dengan spiritualitas serta fakta-fakta kultural. Aksara kuno juga digunakan sebagai bagian dari rajah yang tidak dapat digantikan oleh aksara baru karena akan memberikan nilai sakral yang berbeda.
Tidak semua peserta pameran mengkreasi aksara Jawa Kuno dan Kawi. Ada pula yang tidak memperlihatkan sedikit pun kandungan aksara tersebut dalam karya. Mereka memilih menonjolkan mistisisme ataupun sakralitas dalam bentuk lain.
Filda Miftahul Jannah misalnya. Ia merendam lukisan kepala Batara Kala di atas kain putih ke dalam kolam beralaskan terpal. Kolam yang terletak di kamar gelap dan disinari cahaya merah menyala itu memperlihatkan kepala Batara Kala dengan jelas. Filda mengatakan sengaja mengangkat visualisasi cerita Batara Kala ke dalam wayang beber.
Adapun Sultan Putra menyajikan karya berupa potongan kepala arca kuno di dalam kotak. Abu dupa memendam sebagian potongan kepala itu. Dalam karya seni berjudul Ratapan di Antara Tanah: Elegi Atas Kehancuran itu, Sultan mengimajinasikan bagaimana bila situs-situs bersejarah tersebut hancur, hilang, dan terlupakan.
Padahal situs-situs itu tak hanya memiliki nilai sejarah tinggi, tapi juga nilai budaya spiritual masyarakat. Mereka sering kali menjadi pusat peribadatan, penghormatan, dan refleksi atas masa lalu dan tradisi.
Kurator pameran, Satriagama Rankataseta, menuturkan, bahasa Jawa Kuno merupakan rumpun bahasa Jawa fase tertua yang dituturkan oleh masyarakat bagian tengah dan timur Pulau Jawa, termasuk beberapa daerah di Pulau Madura dan Bali. Salah satu bukti tertulis aksara Jawa Kuno adalah Prasasti Plumpungan bertarikh 750 Masehi di Salatiga, Jawa Tengah.
Sementara itu, contoh prasasti tertua yang ditulis seluruhnya dalam aksara Jawa Kuno adalah Prasasti Sri Ranapati bertarikh 787 Masehi di Temanggung, Jawa Tengah, dan Prasasti Sukabumi di Kediri, Jawa Timur. Menurut Satriagama, kekayaan sumber daya arkeologis yang belum terungkap masih banyak jumlahnya.
Selama ini, Satriagama menerangkan, Rumah Budaya Malik Ibrahim rutin mendiskusikan aksara Jawa Kuno. “Kesimpulan diskusi itu, ada gap perkembangan budaya antara Jawa Kuno dan Jawa hari ini,” tuturnya.
Gap itu juga tecermin pada reaksi peserta program yang belum familier dengan aksara tersebut. Mereka terkaget-kaget ketika ditantang membuat karya seni berunsur aksara Jawa Kuno dan Kawi. “Pameran ini sebenarnya representasi umum gap itu. Kita tak sadar telah kehilangan jati diri,” kata Satriagama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo