Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Konser Tribut untuk Black Brothers: Iwan Fals pun Menyanyikan Hari Kiamat

Acara tribut untuk Black Brothers, band legendaris Papua, digelar di Taman Ismail Marzuki. Iwan Fals salah satu penampilnya.

12 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REFREIN terkenal lagu “Hari Kiamat” dinyanyikan Iwan Fals dengan penghayatan mendalam. Tenang dan artikulasinya jelas, juga berwibawa. Iwan terasa cocok menyanyikan lagu ini di klimaks acara Tribute to Black Brothers di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 4 Mei 2024. Lagu band Black Brothers yang dirilis pada era Orde Baru ini berbicara mengenai ketimpangan sosial. Orang-orang kaya dan cara hidupnya digambarkan senantiasa memakan korban. Seperti dalam spirit alkitabiah, lagu ini mengingatkan orang-orang lapis atas tentang akan adanya hari pembalasan dari Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang kaya tertawa berpesta pora
Hidup menumpang di kecurangan
Sadarlah kau cara hidupmu
Yang hanya menelan korban lain

Iwan mengaku sangat terinspirasi lagu ini. Sebelum menyanyikannya, ia meminta izin kepada para anggota Black Brothers yang sudah meninggal. “Saya rasa Hengky, David, Stevie juga ‘hadir’ di sini, malam ini,” kata Iwan. Ketiga anggota Black Brothers itu adalah Hengky Miratoneng Sumanti, David Rumagesan, dan Stevie Mambor yang telah meninggal di Belanda dan Australia. 

Iwan Fals tampil dalam konser Tribute to Black Brothers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 Mei 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Black Brothers, yang dibentuk pada 1976, merupakan legenda musik Papua. Hengky Miratoneng (vokal utama dan gitar), David Rumagesan (saksofon dan vokal), Stevie Mambor (drum), Benny Betay (bas), Jochie Pattipeiluhu (keyboard), dan Amry Kahar (trompet) mampu memunculkan funk rock. Mereka menyadarkan publik musik bahwa anak-anak muda Papua mampu mengolah situasi sosial, rohani, dan kebudayaan mereka menjadi lagu-lagu yang bernuansa pop hingga jazz, blues, dan rock n’ roll.

Lagu-lagu Black Brothers menyuarakan keindahan Papua, kesenjangan ekonomi, sampai kerinduan cinta dan kepedihan orang-orang marginal. Menggunakan nama Black Brothers dan acap tampil di panggung dengan kostum Papua, mereka memang mengemas diri sebagai bentuk pergerakan kulit hitam (black power movement). Mereka menjadi simbol resistansi masyarakat Papua.

Band ini masuk jajaran band top Indonesia 1970-an. Mereka setara dengan Panbers, D'Lloyd, Koes Plus, dan The Mercy's. Unsur-unsur brass, trompet dan saksofon, mewarnai musikalitas Black Brothers. Banyak pengamat pernah berharap Black Brothers menjadi Osibisa-nya Indonesia. Osibisa adalah grup Afro rock yang didirikan di London, Inggris. Para musikusnya berdarah Karibia dan Ghana. Mereka mengasimilasikan instrumen-instrumen Afrika dengan jazz dan rock

Personel Black Brother, Army Kahar (kiri) dan Yochi Pattipeiluhu, naik ke panggung konser Tribute to Black Brothers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jakarta, 4 Mei 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Tak kurang 12 lagu hit Black Brothers dinyanyikan malam itu. Di antaranya “Dalam Kerinduan”, “Terjalin Kembali”, “Am I Wrong”, “Terima Kasih”, “Hening”, “Keroncong Kenangan”, “Hilang”, “Boma Lalogu”, “You Are The Only One”, “Kisah Seorang Pramuria”, “Derita Tiada Akhir”, “Dapapopero”, “Black Brothers”, “Lonceng Kematian”, dan “Hari Kiamat”. Lagu-lagu itu dibalut aransemen soul, funky, reggae, hingga rap dan hiphop. Yang menyanyikannya adalah Edo Kondologit, Nowela, Joan Idol, Dave Solution Baransano, Frans Sisir Rumbino, Chea Rumagesan, Dorkas Waroy, Depo D’Phenomeno, dan Michael Jakarimilena.

Publik seni TIM telah mengenal sejumlah penari Papua yang mengajar tarian hiphop kepada anak-anak di pelataran TIM. Kini penonton dapat menyaksikan sederet penyanyi Papua mengemas ulang lagu-lagu Black Brothers dengan sentuhan kekinian.

Begitu tirai panggung dibuka, kita melihat perhelatan tribut ini tidak main-main. Sebuah orkestra dihadirkan untuk mengiringi lagu per lagu. Penampil yang satu dengan penampil lain memiliki benang merah utuh. Semua aransemen iringan orkestra ditata apik komponis Etho Ririmasse. Lihatlah bagaimana Chea Rumagesan, putri mendiang David Rumagesan, menyanyikan “Am I Wrong” dalam balutan orkestra. Terasa berkelas. Setelah Chea selesai menyanyi, Jochie Pattipeiluhu, mantan keyboardist Black Brothers yang datang dari Belanda, sampai naik ke panggung memberinya karangan bunga. 

Penonton menyanyi bersama tatkala Edo Kondologit melantunkan lagu syahdu terkenal yang sampai sekarang masih sering bergema di tempat karaoke atau pub: “Kisah Seorang Pramuria”. Banyak orang mengira lagu yang pernah diadaptasi dengan sentuhan rock oleh Boomerang ini adalah ciptaan Charles Hutagalung atau Rinto Harahap dari The Mercy’s. Memang lagu itu melejit tatkala dinyanyikan The Mercy’s, bahkan menjadi trademark The Mercy’s. Namun sesungguhnya lagu itu adalah ciptaan Hengky Miratoneng. Ia mengaku menciptakan lagu itu pada 1972 saat masih menjadi anggota band Galaxi 69 di Sorong, Papua. Dalam grup itu juga ada Eddy Sumlang, adik Albert Sumlang, saksofonis The Mercy’s. Oleh Eddy lagu itu dibawa ke Jakarta dan kemudian dinyanyikan The Mercy’s.

Penari dalam konser Tribute to Black Brothers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 Mei 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Menurut riset Hendra Tanu Atmadja dari Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta, kasus polemik hak cipta itu diselesaikan di luar pengadilan. Hengky tak mengajukan tuntutan hukum atau meminta ganti rugi. Ia hanya ingin namanya dicantumkan sebagai pencipta lagu tersebut. Remaco, produser yang merilis album The Mercy’s, menyetujuinya. 

Hengky sendiri menciptakan banyak lagu bertema pramuria untuk Black Brothers. Paling tidak ada enam lagu tentang karyawati klub malam yang bertugas menemani tamu tersebut. Namun dalam Tribute to Black Brothers malam itu hanya ada satu lagu bertema pramuria yang dinyanyikan. Selain “Kisah Seorang Pramuria”, ada lagu “Cinta dan Pramuria”, “Doa Pramuria”, “Untukmu Pramuria”, “Balada Pramuria”, dan “Pramuria tapi Biarawati” yang dimiliki Black Brothers. Semua lirik lagu tersebut merupakan “pembelaan” atas hak hidup pramuria sebagai manusia. Namun Black Brothers tidak menjustifikasi pekerjaan pramuria secara moral.

Sebelum Dorkas Waroy menyanyikan “Lonceng Kematian”, sebuah siluet beberapa orang mengusung keranda melintas di belakang panggung. Lagu yang dimulai dengan suara lonceng gereja itu sesungguhnya satu tema dengan lagu “Hari Kiamat”, yaitu ihwal ketimpangan ekonomi. Yang menarik, persoalan jurang kaya-miskin dalam lirik-lirik lagu Black Brothers tidak dilihat melalui perspektif perlawanan politik, melainkan sudut pandang hukuman Tuhan.

Engkau yang munafik, kapan mengakhiri sandiwaramu
Saling berlomba mengejar kekayaan, tak kau bawa mati nanti 
Dia yang memanggil manusia durhaka
Lonceng kematian

Black Brothers dikenal kerap membawakan lagu berbahasa Papua. Itulah yang menjadikan band ini dipandang menyuarakan kelokalan dalam rock. Pada 28 Desember 1976, di Istora Senayan, Jakarta, tatkala Black Brothers “diduelkan” dengan grup SAS (Sunatha Tanjung, Arthur Kaunang, dan Sjech Abidin) dari Surabaya, secara mengejutkan mereka membawakan lagu “Huembello” yang syairnya berasal dari mantra Papua dengan aransemen hard rock. Pada acara tribut tersebut, saat komunitas Suarek Studio menampilkan lagu “Bomalalogu”, ratusan penonton bersenandung bersama. 

Black Brothers hilang dari kancah musik Indonesia ketika para pemainnya mendapat suaka ke Belanda. Entah apa penyebab kepindahan itu. Sebab, tidak ada persoalan politik antara Black Brothers dan pemerintah Indonesia saat itu. Laporan majalah Tempo edisi 5 April 1980 menyebutkan mereka secara diam-diam meninggalkan rumah kontrakan di Jalan Taman Bendungan Jatiluhur VII, Jakarta Pusat. Hal itu membuat kaget banyak sahabat Black Brothers di Jakarta. Diduga saat itu para musikus Black Brothers pindah ke Belanda karena ingin menjajaki karier musik internasional.

Black Brothers tahun 1970'an. Dok. Pribadi/Frans Pigome

Manajer pertama Black Brothers, Andy Ayamiseba, memang seorang aktivis yang bersimpati terhadap Organisasi Papua Merdeka. Saat Black Brothers telah tinggal di Belanda, dia yang membawa grup itu mengadakan konser di Vanuatu untuk mengkampanyekan Partai Vanua’aku, Partai Sosialis Vanuatu, dalam tiga kali pemilihan umum pada 1980-an. Dia juga membawa Black Brothers mengadakan konser di Kepulauan Solomon. Namun informasi mengenai mereka saat tinggal dan berkarya di Vanuatu dan Kepulauan Solomon belum terang benar.

Syahdan, mereka membuat album berjudul Border Crosser (Pelintas Perbatasan) dan populer. Kedekatan Andy dengan pemimpin Partai Vanua’aku, rohaniwan Walter Lini (yang kemudian menjadi Perdana Menteri Vanuatu), menyebabkan dia bisa membuat kantor perwakilan Papua Merdeka di sana dan melakukan lobi-lobi politik. Beberapa artikel di Internet menginformasikan secuil sepak terjang Black Brothers di Vanuatu. Namun masih remang-remang bagaimana posisi mereka dalam pusaran partai politik Vanuatu yang mendukung Organisasi Papua Merdeka.

Menyusul “Lonceng Kematian”, Iwan Fals menyanyikan “Hari Kiamat”. Setelah itu, ia melantunkan “Putra Putri Pertiwi”. Lagu terakhir yang menutup acara yang diproduseri Frans Pigome itu adalah “Samandoye”. Sebuah lagu Black Brothers berbahasa Papua yang bernuansa komunal dan seperti pengucapan mantra, repetitif. Lagu ini dirilis pada 2011 oleh Now Again Records, label independen berpengaruh asal Amerika Serikat, dan dimasukkan ke album kompilasi Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978. Album tersebut dijual dalam bentuk piringan hitam.

Saman doye saman doye, etora papa so doye doye doye.” Semua naik ke panggung dan bernyanyi bersama. Termasuk anggota tersisa Black Brothers, Jochie Pattipeiluhu dan Amry Kahar, yang jauh-jauh datang dari Belanda. Mengharukan melihat mereka berpelukan dengan Iwan Fals. Suara Black Brothers adalah suara nurani Papua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Dan Iwan Fals pun Menyanyikan Hari Kiamat". 

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus