Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pameran Akulturasi Tionghoa dan Nusantara: Ada Karya Kho Ping Hoo dan Marga T

Pameran akulturasi etnis Tionghoa dan Nusantara ini menampilkan aspek budaya kontemporer. Di antaranya karya Kho Ping Hoo dan Marga T.

12 Februari 2025 | 10.04 WIB

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri), Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo (tengah), dan putra Titiek Soeharto, Ragowo Hediprasetyo alias Didit, saat menyaksikan pameran lukisan Lee Man Fong di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat,, 10 Februari 2025. TEMPO/Ihsan Reliubun
Perbesar
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri), Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo (tengah), dan putra Titiek Soeharto, Ragowo Hediprasetyo alias Didit, saat menyaksikan pameran lukisan Lee Man Fong di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat,, 10 Februari 2025. TEMPO/Ihsan Reliubun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pameran karya seni dan budaya Tionghoa di Museum Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, menampilkan beragam ciri seni dan budaya Tionghoa dan Nusantara. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengatakan pameran ini menampilkan berbagai aspek akulturasi kedua bangsa. Di antaranya benda peninggalan terdahulu hingga ekspresi budaya kontemporer. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Kami merayakan ini sebagai peringatan Imlek dan Cap Go Meh," kata dia, kepada wartawan di Museum Nasional, Senin malam, 10 Februari 2025. Imlek adalah Tahun Baru Cina. Adapun Cap Go Meh adalah perayaan puncak Imlek—yang tahun ini jatuh pada 12 Februari.

Pameran Rayakan Imlek dan Cap Go Meh

Menurut Fadli, Imlek maupun Cap Go Meh merupakan warisan budaya yang telah berbaur dengan budaya lokal. Pencampuran budaya itu turut menambah dan memperkaya kebudayaan Nusantara. Kekayaan ini bisa dilihat dari bahasa, sastra, material budaya, dan furnitur.

Lukisan seniman kelahiran Cina, penerbitan surat kabar Sin Po, hingga piringan hitam buatan Yo Kim Chan. "Ini bagian dari perjalanan sejarah bangsa," kata Fadli, menjelaskan isi pameran bertajuk "Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara", itu.

Di sebuah ruangan—di sisi Taman Arca—terpajang delapan lukisan bergambar hewan. Lukisan tersebut adalah karya Lee Man Fong, pelukis Indonesia kelahiran Guangzhou, Cina, 14 November 1913. Presiden Soekarno pernah menunjuknya sebagai pelukis di Istana Negara. Peristiwa 1965 membuat dia tersingkir dan lari ke Singapura.

Pameran Dua alat musik asal etnis Tionghoa sukong dan tehyan. Dua alat musik ini telah berbaur dengan peralatan musik Nusantara, Gambang Kromong, di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, 10 Februari 2025. TEMPO/Ihsan Reliubun

Lukisan Lee Man Fong tampak didominasi warna cokelat dan kuning emas. Dibingkai dalam pigura berukuran  103 x 50 sentimeter. Ada gambar angsa, singa, kelinci, burung kakatua, hingga kelinci. 

Titiek Soeharto, Ketua Komisi IV DPR Fraksi Partai Gerindra tampak kagum menyaksikan pajangan lukisan itu. Ia datang bersama putranya, Ragowo Hediprasetyo alias Didit. Keduanya ditemani Fadli dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo. Giring adalah mantan vokalis grup musik Nidji.

Ada Karya Kho Ping Hoo

Di ruang terpisah, ada juga pameran karya sastra karangan Kho Ping Hoo. Pengarang ini dikenal banyak menulis cerita bertema bela diri. Salah satu yang tampak dalam pameran karya ini adalah seri Tiga Naga dari Angkasa hingga Sakit Hati Seorang Wanita. Novel Sakit Hati Seorang Wanita, Kho Ping Hoo menulisnya dengan nama pena Asmaraman Sukowati.

Di sampingnya ada karya Marga T. atau Marga Tjoa. Novel karangan perempuan bernama Intan Margaretha Harjamulia dan Tjoa Liang Tjoe, seperti Karmila, Badai Pasti Berlalu, pernah booming. Dua novel karya perempuan kelahiran Jakarta, 29 September 1943, itu pernah diadaptasi menjadi film.

Di sudut lain, tersedia alat musik gesek asal Tionghoa, seperti sukong dan tehyan. Kedua alat ini dipamerkan seragam dengan gambang, kromong, gong, ningnong, dan kromong atau umumnya dikenal dengan nama Gambang Kromong.

Menurut anggota tim kurator pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara, Karamina, mengatakan sukong dan tehyan pertama kali muncul di Tangerang, Banten, 1880. "Biasanya dipakai memadukan gamelan Jawa dengan alat musik gesek dari Tiongkok," katanya.

Akulturasi alat musik seperti sukong dan tehyan telah menyatu dan kerap dipakai masyarakat Betawi dalam acara pernikahan, khitan, dan lainnya. Penyatuan sejumlah peralatan musik ini dikenal sebagai Gambang Kromong.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus