Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gubuk derita klompencapir

Beban ekonomi indonesia yang paling parah sekarang ini, disamping pengangguran, adalah merosotnya pendapatan riil penduduk pedesaan. padahal harga kebutuhan sehari-hari naik.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAN Indonesia menjadi negara industri baru? Indonesia tak akan menjadi negeri industri baru, untuk jangka lama. Dia masih akan merupakan negeri pertanian, untuk jangka lama. Indonesia masih akan merupakan negeri orang desa dan orang tani. Tiga perempat penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Sektor pertanian selama 10 tahun terakhir ini masih menghasilkan seperempat Pendapatan Domestik Bruto Indonesia, penghasil terbesar PDB dibanding 10 sektor lainnya. Selama dasawarsa terakhir, sektor pertanian Indonesia tumbuh rata-rata 4% setahun, lebih tinggi dari pertumbuhan pertanian negara Asia Timur lainnya. Dia mempekerjakan lebih dari separuh jumlah tenaga kerja, dan telah menyumbang lebih dari separuh devisa dari ekspor nonmigas Indonesia. Dan ke sinilah tujuan akhir sebagian besar tambahan tenaga kerja yang memasuki pasaran tenaga kerja selama ini. Antara 1980 dan 1985, dari tambahan 10 juta tenaga kerja yang memasuki pasaran, 6 juta sendiri disedot oleh sektor pertanian di pedesaan. Sebagian besar mereka terlibat dalam produksi beras, yang menyumbang 30% PDB dari pertanian, dan yang menggunakan 40% tanah pertanian. Sampai awal 1980-an kesejahteraan mereka meningkat lumayan, seiring dengan meningkatnya produksi beras. Merekalah yang berjasa ketika pada 1984 Indonesia bisa memproklamasikan dirinya sebagai negeri yang sudah mencapai swasembada beras. Mereka juga telah berhasil melakukan diversifikasi ke arah nonberas. Produksi palawija seperti jagung, kacang, kacang kedelai, dan ubi juga meningkat pesat. Hasilnya adalah rakyat Indonesia sekarang bisa mengenyam 2.500 kalori per hari rata-rata setiap orang. Jauh di atas kebutuhan kalori mininum, dan di atas calorie intake negara-negara tetangga. Sampai awal 1980-an mereka meningkatkan produksi berasnya dengan rata-rata 6% setahun, lebih dari cukup untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sampai Repelita II, sektor pertanian dan pengairan memperoleh anggaran belanja pemerintah paling besar. Sekitar 20% investasi pemerintah dialirkan ke sektor ini. Dua Repelita berikutnya, pemerintah mulai sibuk dengan perbangunan listrik dan perhubungan. Akibatnya, anggaran untuk sektor pertanian dan irigasi mulai tergeser oleh kedua sektor tersebut. Tapi akhir-akhir ini peningkatan produksi beras mulai mengendur. Antara 1985 dan 1987, produksi beras cuma naik 1,2%. Ini jelas tak cukup mengimbangi kenaikan penduduk. Bulog mengalami kesulitan meningkatkan stok berasnya. Stok yang dipegang Bulog kini tak sampai 1 juta ton, bahkan beberapa waktu lalu cuma 700.000 ton. Padahal, sebelumnya, stok ini pernah dengan mudah mencapai 2 juta ton. Untuk mengimbangi kegagalan ini, berarti Indonesia harus bisa meningkatkan produksi berasnya 3-4% sekarang ini. Kalau ini tak bisa dicapai, bukan tak mungkin Indonesia akan harus mengimpor beras lagi. Ini akan berarti kemunduran. Di samping sulit, juga mahal. Beranikah pemerintah menabrak sebuah ironi, bahwa swasembada beras yang dicapai dengan biaya mahal itu ternyata tak bisa dipertahankan? Situasi neraca pembayaran sekarang ini juga belum memungkinkan untuk dibebani lagi dengan impor semacam itu. Sebab merosotnya peningkatan produksi beras ada beberapa macam. Ada wereng. Ada kemarau yang cukup panjang. Dan juga karena "hujan yang telat datang". Tapi yang jelas, luas sawah -- setelah mencapai puncaknya pada 1986, ketika luas areal mencapai 8,9 juta hektar -- kini mulai menciut. Dua tahun belakangan ini luas sawah berkurang 2%. Maka, produksi pangan, setelah tumbuh 2,8% tiap tahun antara 1981 dan 1985, sekarang cuma tumbuh 1,9%. Prospek peningkatan produksi beras sudah tidak secerah dulu. Sekarang tak mudah lagi menambah areal sawah, terutama di Jawa. Makin banyak pabrik dan perumahan yang mendesakkan hak mereka dan merebut tanah. Intensifikasi tanaman areal tak bisa berlanjut terus tanpa batas, karena di mana-mana tanah pada satu saat akan memberi hasil yang menurun (diminishing return). Teknologi baru juga tak akan muncul tiap kali. Sektor pertanian, seperti sektor yang lain, mungkin butuh rangsangan, dan kurang butuh campur tangan pemerintah yang besar. Barangkali para petani tidak perlu lagi dipaksa untuk tanam ini, tanam itu. Biarkan pasar lebih banyak mengatur mereka. Mereka juga butuh deregulasi. Produksi beras Indonesia mungkin akan melonjak sekali-sekali. Tahun ini atau tahun depan produksi beras mungkin bisa naik 3 atau 4%. Tapi untuk seterusnya, tingkat pertumbuhan produksi beras yang tinggi, seperti yang dicapai dasawarsa lalu, akan merupakan sesuatu yang lampau. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi, ketika jutaan penduduk makin numplek di sektor yang menciut itu. Ketika mulut yang harus diberi makan membanjir, memperebutkan kue yang lamban mengembang. Ketika jumlah sanak famili yang harus diberi makan bertambah. Dan ketika sejumlah pekerjaan diperebutkan oleh makin banyak orang. Dulu, ketika pemerintah masih punya banyak uang, proyek-proyek di pedesaan banyak membantu mereka dalam menutup kekurangan nafkah. Tapi sekarang, ketika makin banyak proyek pemerintah dihentikan, mereka mau kerja di mana? Celakanya, harga beras yang mereka hasilkan, selama 1988 untuk Jawa dan Madura, menurut Biro Pusat Statistik, hampir tidak bergerak. Cuma beringsut 0,7%. Ini berarti tak ada perbaikan dalam penghasilan mereka. Padahal, harga barang kebutuhan sehari-hari yang mereka perlukan naik berkali lipat dari kenaikan harga berasnya. Harga minyak goreng, misalnya, naik 24%, gula pasir (7%), tekstil (13%), dan sabun cuci (10%). Dengan begini, apa yang sanggup mereka beli sekarang? Maka, beban ekonomi Indonesia yang paling parah sekarang ini, di samping meluasnya pengangguran, adalah merosotnya pendapatan riil penduduk pedesaan. Kemerosotan pendapatan riil ini terutama melanda pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan bahkan sudah berlangsung sejak 1983. Beberapa faktor secara bersama telah mengikis tingkat kesejahteraan mereka: pertumbuhan ekonomi yang rendah, APBN yang ketat, dan devaluasi. Runtuhnya pendapatan riil ini memang belum menjadikan pedalaman Jawa sebuah permukiman gubuk derita. Tapi itu yang bakal terjadi bila erosi pendapatan riil mereka tidak bisa disetop. Akan muncul gubuk di mana mungkin bermukim kemurungan dan kekecewaan. Yang dengan pahit tak bisa menerima apa yang terjadi. Tapi yang masih menyimpan sebuah harapan. Besok toh akan datang lepas landas? Barangkali karena itulah mereka masih bisa memberi senyum seperti yang mereka tunjukkan setiap kali mereka ikut "Klompencapir" di layar TVRI, setiap kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus