Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Panggung Teater Politik Indonesia

Radhar Panca Dahana membuat analisis hubungan panggung teater dengan situasi politik Indonesia. Masih perlukah dikotomi Barat dan Timur untuk wacana ini?

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


IDEOLOGI POLITIK DAN TEATER MODERN INDONESIA
Penulis :Radhar Panca Dahana
Penerbit :Yayasan Indonesia Terra, 2001
DI ATAS panggung keraton, wayang orang adalah jalinan antara seni dan kekuasaan politik. Demikian tutur R.M. SOEDARSONO dengan indahnya dalam disertasinya berjudul Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta (Gadjah Mada University Press, 1990). Ia menunjukkan bahwa jalinan ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Pada wilayah teater modern, orang bisa ingat lakon Bung Besar karya Misbach Yussa Biran, yang populer pada 1950-an dan 1960-an, yang merupakan parodi terhadap Bung Karno, yang sedang menjadi raksasa menakutkan. Lakon Sepatu Nomor Satu, yang menghadapi larangan polisi, adalah parodi Orde Baru. Begitu kekuasaan politik mulai merajalela, di samping muncul karya seni yang oleh Rendra disebut "klangenan", selalu muncul pula seni yang melawan. Perlawanannya bisa dengan bermacam-macam gaya. Ada yang menohok langsung, dan ada pula yang bergaya mengejek, yang oleh budayawan Umar Kayam disebut "ngiwi-iwi".

Itulah sebabnya, terbitnya buku Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia (Yayasan Indonesia Terra, 2001) karya Radhar Panca Dahana terasa tidak mengagetkan. Jika ada yang menarik dari buku ini adalah cara menjelaskannya: rinci, analitis, dan berangkat dari konsep-konsep keilmuan. Maklumlah, buku ini pada mulanya sebuah skripsi untuk merampungkan studi S1 di FISIP UI.

Dengan menggunakan semiotika, buku ini mencoba menjelaskan seberapa jauh kekuasaan politik itu tecermin pada pentas drama. Empat produksi Teater Koma, Mandiri, dan Sae digunakan sebagai obyek material analisisnya. Sebagai seorang penyusun skripsi, Radhar sadar sekali bahwa yang dimaksud dengan fakta sebenarnya adalah "a construct of facts", yang tak mudah disusun. Karena itulah bisa dimaklumi bahwa pergulatannya yang seru justru terjadi pada saat proses menyusun konsep-konsepnya. Buku-buku yang diacunya cukup memadai, dari yang bersifat pengantar, Handbook of Semiotics, hingga buku petunjuk operasional semiotika teater seperti karya Keir Elam, Elaine Aston, dan George Savona. Di samping itu, ia juga memainkan konsep-konsep Roland Barthes dan Art van Zoest. Pada wilayah konseptualisasi ini, buku ini tampak meyakinkan. Akan tetapi, tatkala ia mencoba mencari definisi teater modern Indonesia, masalah mulai muncul.

Bagi Radhar, teater modern Indonesia adalah "sebuah kerja seni pertunjukan perkotaan yang dilandasi pemikiran (mise en scène) Barat, menggunakan bahasa Indonesia sebagai medium bahasa utama, serta memiliki kebebasan fakultatif ataupun idiom-idiom panggungnya". Bagi saya, yang merepotkan adalah istilah "Barat" itu. Sebab, teater-teater avant garde dari Brecht, Artaud, Brook, dan lain-lain justru tak lagi bisa sepenuhnya kita sebut Barat. Teater Mandiri, yang menyajikan kecenderungan antiplot dan menekankan pesona alias taksu, serta pentas-pentas Teater Sae, yang lebih banyak menyajikan pesona-pesona, lebih dekat dengan teater rakyat di Nusantara, seperti tampak pada berbagai permainan, pertunjukan kuda lumping, dan fragmen upacara adat setempat. Barangkali, ini bisa kita abaikan.

Yang jelas, definisi malah bisa merepotkan jika tidak didahului penelitian menyeluruh untuk menyusun rumusannya. Di samping itu, akhirnya analisisnya toh tidak lagi sibuk dengan Barat atau Timur. Buku ini berhasil menunjukkan pengaruh kekuasaan terhadap pentas. Dengan rinci dan teliti, Radhar menunjukkan pada bagian-bagian mana dari ikon-ikon di pentas itu yang kena dampak dahsyatnya kekuasaan. Hanya, tampaknya, justru bagian analisis itu akhirnya hanya mampu menunjukkan kesejajaran antara peristiwa yang terjadi di panggung dan peristiwa faktual di masyarakat.

Analisis ini juga tidak sempat mengungkap mengapa pentas Sampek Engtay boleh main di Jakarta tetapi dilarang di Sumatra Utara, atau mengapa lakon Suksesi dilarang setelah berpentas 11 hari, yang pada hari pertamanya sempat dihadiri Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara yang legendaris itu. Walaupun ia mengutip Janet Wolff bahwa seni dipengaruhi keyakinan ideologis serta struktur masyarakat, uraiannya belum tampak nyata. Mungkin, ini karena Radhar tidak sempat melukiskan kondisi masyakaratnya lebih dahulu, suatu wilayah sosiologis tempat sebuah pentas berkiprah.

Buku ini, bagaimanapun, pantas dimiliki oleh setiap pemerhati teater. Sayangnya, pemusatan perhatian pada pentas tidak disertai gambar-gambar pentas. Di samping itu, ada yang pantas amat disayangkan: banyaknya salah cetak yang cukup mengganggu.

Bakdi Soemanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus