Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH banyak buku dan artikel mengenai sejarah serta peran penting dokter-dokter alumnus sekolah tinggi kedokteran zaman kolonial di Batavia dan Surabaya. Namun jarang ada buku dan tulisan yang memiliki kekayaan data, rincian cerita, dan kedalaman analisis seperti diperlihatkan buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia karya Hans Pols, profesor sejarah kedokteran dari University of Sydney, Australia.
Dalam buku yang merupakan terjemahan dari Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies (Cambridge University Press, 2018) ini, Pols menggambarkan secara mendalam perjalanan sejarah bangsa yang diwarnai peran dokter di Hindia Belanda. Bukan hanya peran dalam mengembangkan pendidikan kesehatan dan kedokteran, tapi juga keterlibatan mereka dalam kegiatan politik yang turut menyemai dan menyuburkan benih sebuah bangsa baru.
Hans Pols. sydney.edu.au
Pols membuka bukunya untuk mengantar pembaca memasuki labirin dan kompleksitas masyarakat serta pemerintah kolonial di era senja kala. Dia juga memberi pembaca konteks sosial-ekonomi masa itu, yang memiliki tingkat kesakitan dan kematian akibat aneka penyakit infeksi sangat tinggi. Pemicu yang utama adalah buruknya kondisi dan akses terhadap sanitasi dasar serta kerawanan pangan atau kekurangan gizi.
Kondisi ini pada akhirnya mengancam keberlangsungan ekonomi kolonial karena tenaga kerja atau buruh perkebunan-perkebunan besar rentan terkena penyakit. Pada saat yang sama, sejumlah orang Belanda dan kulit putih lain dihinggapi rasa bersalah oleh praktik kolonialisme yang eksploitatif. Mereka gencar menyerukan perlunya politik balas budi. Kombinasi faktor-faktor tersebut melatari lahirnya sekolah tinggi kedokteran zaman kolonial di Batavia (School ter Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA) dan (Nederlandsch Indische Artsen School atau NIAS) di Surabaya.
Penemuan bakteri pada 1870-an dan parasit pada 1890-an telah menghasilkan wawasan baru tentang kuman serta penyebab dan penularan penyakit. Kuman dan penyakit infeksi tidak lagi dipandang sebagai hal gaib dan tak bisa dikalahkan. Optimisme bahwa kuman dapat dikalahkan, penyakit dapat disembuhkan, kehidupan bisa diselamatkan, dan penderitaan bisa diringankan makin besar di benak anak-anak muda para mahasiswa kedokteran kala itu.
Melalui pendidikan dan profesi kedokteran, anak-anak muda itu menjadi terhubung dengan profesi kedokteran kosmopolitan lintas bangsa. Sebagian terlibat dalam program kesehatan masyarakat yang didukung lembaga internasional semacam Yayasan Rockefeller, yang menjadikan mereka makin berwawasan kosmopolit. Dokter-dokter ini mampu membangun jaringan di luar batas-batas Hindia Belanda. Dengan membaca literatur kedokteran dan melakukan penelitian-penelitian kesehatan, mereka berpartisipasi dalam dunia sains internasional.
Pols juga menyoroti bahwa memiliki pengetahuan dan keterampilan medis serta jaringan internasional tak membuat para dokter pribumi terbebas dari diskriminasi. Contohnya, ketika mengambil berbagai posisi dalam pelayanan kesehatan kolonial, mereka dinilai dan digaji lebih rendah ketimbang sejawat kulit putih dan alumnus Eropa. Hal ini kian menguatkan sikap kritis terhadap administrasi kolonial dan mendorong mereka bergabung dalam gerakan nasionalis serta memperjuangkan kemerdekaan.
Pola perjuangan tersebut bermacam-macam menurut analisis Pols. Ada yang hanya mengkritik tajam pemerintah kolonial karena komitmennya yang rendah terhadap kesehatan. Ada pula yang bergerak jauh, seperti membangun klinik dan memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Beberapa mahasiswa memilih jalur politik formal dengan bergabung dalam Volksraad, yang menganjurkan penyediaan air bersih dan selokan. Sebagian lain terang-terangan menuntut kemerdekaan sebagai satu-satunya jalan memperbaiki kehidupan.
Buku ini memberikan sumbangan besar tidak hanya bagi akademikus dan peneliti di bidang kedokteran, tapi juga masyarakat yang memiliki minat terhadap sejarah, konteks, serta kompleksitas kelahiran bangsa. Buku ini lebih komprehensif dan membantu memahami lebih dalam kompleksitas profesi kedokteran dan kesehatan di era kolonial serta perannya dalam membangun nasionalisme Indonesia.
SUDIRMAN NASIR, PENGAJAR FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penulis : Hans Pols
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, 2019
Tebal : xix + 380 halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo