Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ada Risak di Antara Ibu

Mom-shaming meningkat setelah Internet dan media sosial berkembang. Dampaknya lebih parah bagi pelaku.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sehari setelah menjalani operasi caesar, Ade Nurani sudah mendapat risakan. Orang-orang dekatnya yang datang menengok mengkritiknya gara-gara air susunya tak kunjung keluar. “Dokter bilang dua-tiga hari belum keluar tak apa-apa, tapi mereka tetap menyalahkan saya,” kata karyawan swasta yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, itu, mengenang peristiwa empat tahun lalu, Rabu, 13 Maret lalu.

Beres perkara air susu ibu, Ade mendapat kesulitan baru. Payudaranya sakit setiap kali menyusui anak pertamanya itu. Menurut dia, rasanya seperti digigit taring harimau. Teteknya lecet dan berdarah. Namun, ketika ia merintih dan mengatakan ada yang salah pada mulut bayinya itu, seorang anggota keluarganya berkomentar, “Gitu saja ngeluh, cemen banget, sih. Namanya menyusui ya begitu,” tutur Ade, 32 tahun, menirukan ucapan keluarganya tersebut. Ade, yang membutuhkan dukungan, hanya bisa menangis mendengar komentar itu.

Ia kemudian memeriksakan bayinya ke klinik laktasi. Dokter mengatakan sang bayi memiliki kelainan tali lidah pendek, yang membuatnya kesulitan menyusu dan melukai payudara ibu. Dokter memotong sebagian tali lidah tersebut. Tak ada lagi masalah menyusui setelah itu, tapi anggota keluarganya tersebut lagi-lagi berkomentar. “Ih, kamu kok jahat banget, lidah kok digunting?”

Celaan semacam ini juga pernah dialami Amanda Adriana Nurdin. Saat air susunya tak mengucur deras, Amanda disuruh ibunya menyambung dengan susu formula. Sang ibu, melihat payudara Amanda, tak yakin putrinya itu bakal berhasil menyusui cucunya. “Ini mah enggak ada isinya, lembek gini. Pakai susu formula saja,” ujar Amanda, 31 tahun, menirukan ucapan ibunya.

Pengajar fashion design yang tinggal di Jatiwaringin, Jakarta Timur, yang saat itu sedang cemas akan produksi ASI-nya, tersebut makin merasa stres mendengar omongan ibunya. Ia tetap berjuang memberikan ASI eksklusif, tapi berkali-kali pula sang ibu menjatuhkan tekadnya.

Kritik dan tekanan semacam ini kerap dialami para ibu. Mom-shaming tak hanya dilakukan orang terdekat, tapi juga mereka yang bahkan tak dikenal di media sosial, seperti yang dialami penyanyi Andien Aisyah. Andien dirisak di salah satu forum di Internet karena pilihan pola asuh untuk anaknya. Di antaranya ia membiarkan anaknya makan sendiri—Andien menerapkan metode baby-led weaning—dan bertelanjang kaki.

Menurut psikolog klinis Efnie Indrianie, perilaku mom-shaming meningkat tajam beberapa tahun belakangan, setelah Internet dan media sosial makin berkembang. “Dulu ibu-ibu biasanya datang ke saya untuk menanyakan pola asuh yang baik untuk anaknya. Kalau sekarang, empat dari sepuluh klien perempuan saya datang karena menderita kecemasan lantaran pola asuhnya dikritik ibu lain,” ucapnya.

Mom-shaming adalah perilaku menyalahkan pengasuhan ibu yang biasanya dilakukan ibu lain. Misalnya, saat mendengar seorang ibu melahirkan lewat operasi caesar, pelaku akan menyalahkan ibu itu lantaran menurut dia persalinan terbaik adalah dengan cara normal atau menganggap perempuan belum menjadi ibu kalau tak melahirkan dengan cara normal.

Padahal, kata Efnie, bisa jadi ada kondisi tertentu yang membahayakan ibu dan janin sehingga dokter menyarankan operasi caesar. “Ibu yang melakukan mom-shaming itu memiliki standar kesempurnaan sendiri. Ketika melihat orang lain tak melakukan seperti standarnya, ia akan menyalahkan,” ucap dosen psikologi di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, tersebut.

Ada banyak alasan ibu melakukan mom-shaming. Menurut psikiater Sylvia Detri Elvira, ibu bisa mencela ibu lain karena bosan dengan kehidupannya, marah terhadap diri sendiri, cemburu melihat kehidupan ibu lain, atau lelah mengurus keluarga. “Pelaku mom-shaming adalah mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri,” tuturnya.

Sylvia mengatakan mereka bisa jadi tak cukup menyadari perannya sebagai ibu. Tugas ibu adalah mempersiapkan anak tumbuh besar, menjadi dewasa, dan nantinya mandiri, baik, serta bertanggung jawab. Ibu antara lain berperan menemani, menjadi teladan, dan mengayomi anaknya.

Dalam proses ini, Sylvia melanjutkan, setiap ibu memiliki pilihan pola asuh dengan pertimbangan masing-masing. Ketika ibu sadar akan tugasnya, ia bakal belajar, kemudian memilih dengan yakin. “Ketika ada orang lain yang memilih cara berbeda, ia akan menghormatinya,” ujar psikiater dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.

Namun banyak ibu yang tak cukup menyadari perannya tersebut dan hanya mengikuti pola asuh orang lain karena tuntutan sosial. Karena itu, ketika mereka lelah mengurus anak, rentan muncul perasaan marah atau cemburu melihat kehidupan orang lain yang terlihat baik-baik saja atau lebih baik daripada dia. Ia bisa jadi melampiaskan ketidakpuasannya dengan mengomentari orang lain dan cenderung melecehkan.

Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, mengatakan hal serupa. Menurut dia, salah satu alasan orang melakukan mom-shaming adalah mencela orang lain. Kalau dilihat lebih dalam, perilaku menjatuhkan orang lain ini bisa muncul karena pelaku sebenarnya merasa rendah diri. Ia mencoba meninggikan dirinya dengan jalan menjatuhkan orang lain. “Ada juga yang melakukan itu karena kurang kerjaan, hanya ikut-ikutan, atau ingin eksis,” ujar Nina—sapaan Anna—yang berpraktik di Klinik Terpadu Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Perilaku mom-shaming berefek buruk, baik pada korban maupun pelaku. Bagi korban, celaan mengurangi rasa percaya diri dan bisa berujung pada depresi. Makin dekat lingkaran pelaku dengan korban, makin berat efek tersebut. “Atau ketika celaannya datang di waktu yang tak tepat, saat ia merasa down, efeknya makin signifikan,” ucap Nina. Sedangkan buat pelaku, selain akan menambah musuh, perilaku mencela orang lain membuat hidupnya makin tak bahagia.

Menurut Efnie Indrianie, celaan juga akan membuat hormon endorfin, yang ber-efek menimbulkan perasaan senang, sulit muncul. Sebaliknya, hormon stres, yang jika berlebihan berdampak buruk pada tubuh, justru naik. “Karena stres, berat badannya bisa naik, penuaan dini, kulit jadi kusam,” katanya.

Kebiasaan mencela juga akan merusak otak. Efnie menjelaskan, ada lima bagian otak perisak yang bisa rusak, yaitu nukleus di ventromedial hipotalamus, extended amigdala, sistem limbik, bagian otak depan basal, dan lateral habenula circuit. Sedangkan bagi korban perisakan, bagian yang rusak adalah hippocampus dan carpus callosum.

Amigdala adalah bagian otak yang antara lain berfungsi mempersepsikan emosi dan menyimpan memori. Karena itu, jika bagian ini rusak, salah satu akibatnya adalah kemampuan mengingat bisa menurun. “Pelaku lebih sulit disembuhkan daripada korban,” ujar Efnie, yang mendalami neuropsikologi. Maka ia mewanti-wanti agar tak melakukan mom-shaming.

Pada tahap awal, pelaku mom-shaming bisa disadarkan oleh orang di sekitarnya. Tapi, kalau kebiasaan ini sudah bercokol, kata Sylvia Detri, pelaku mesti diterapi.

Kepada korban, Nina berpesan agar tutup telinga. Tanyakan kepada diri sendiri dulu apakah pilihannya sudah tepat. Jika iya, yakinkan diri dengan pilihan tersebut. “Juga menyeleksi apa yang perlu didengarkan dan enggak perlu didengarkan,” tuturnya. Kalau kritik mengganggu, lebih baik pelaku dijauhi. Jika membutuhkan bantuan untuk menghadapi mom-shaming, mintalah kepada orang terdekat seperti suami, orang tua, dan pengasuh bayi.

Ade Nurani memilih menjauhi orang yang berkali-kali melakukan mom-shaming kepadanya. Suaminya pun pasang badan tiap kali ada komentar miring tentang pola asuh anak mereka. Belajar dari pengalaman itu, ia menyiapkan mental saat melahirkan anak keduanya, awal tahun ini. “Sekarang jauh lebih kuat,” ucapnya.

NUR ALFIYAH

 


 

Enam dari sepuluh ibu (61 persen) pernah mendapat kritik

Pengkritik paling banyak

- Ibu dan ayah kandung37 persen

- Keluarga atau pasangan36 persen

- Mertua 31 persen

- Teman 14 persen

- Ibu lain yang bertemu dengan mereka

  di tempat umum 12 persen

- Media sosial  7 persen

 

Satu dari empat ibu (23 persen) dikritik oleh lebih dari tiga pihak

- Enam dari sepuluh ibu (62 persen) merasa mendapat nasihat yang tak membantu

- Lima dari sepuluh ibu (56 persen) merasa disalahkan dan tak cukup mendapat otoritas dalam pengasuhan anak mereka

 

Setelah mendapat kritik:

- Enam dari sepuluh ibu (60 persen) mencari informasi tambahan sendiri atau bertanya kepada petugaskesehatan (53 persen)

- 37 persen mengubah pola asuh

- 67 persen makin yakin akan pola asuh

- 42 persen tak yakin akan pola asuh

- Setengah dari total jumlah ibu menghindari pengkritik

- 56 persen berhenti mengkritik ibu lain

 

SUMBER: Penelitian C.S. Mott Children’s Hospital, Michigan, Amerika Serikat, 2017

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus