Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virdika Rizky Utama
Periset di Narasi.TV
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abad ke-21 merupakan abad yang tak pernah terkirakan akan terjadi. Paling tidak hingga tiga perempat abad ke-20 banyak sekali peperangan, wabah penyakit, dan kelaparan yang membuat matinya harapan sebagian besar penduduk bumi. Kala itu, bumi layaknya memasuki abad kegelapan yang sesungguhnya dibanding istilah abad kegelapan yang dipakai pada abad ke-5 hingga ke-15 di Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah keputusasaan dan kegelapan, ada satu bidang kehidupan yang dapat membuat manusia memiliki harapan dan pencerahan. Bidang itu adalah sains atau ilmu pengetahuan. Tak tanggung-tanggung, Steven Pinker dalam buku ini menyebutkan hanya pada sains dunia bisa berharap dan sekaligus berutang budi.
Bukan tanpa sebab Pinker memiliki argumentasi tersebut. Ia membuktikan argumentasinya dengan menyediakan data di setiap babnya, untuk membandingkan masalah yang dihadapi manusia seperti wabah penyakit, kemiskinan, dan angka kematian akibat kejahatan atau perang dari abad ke-18. Sebaliknya, tingkat kebahagiaan, jaminan sosial, pendidikan, dan keamanan justru sangat jauh meningkat dibanding pada abad sebelumnya. Sains menyediakan obat, teknologi, dan informasi untuk terus menaikkan taraf hidup umat manusia.
Membaiknya dunia karena majunya sains, menurut Pinker, sejalan dengan kemajuan demokrasi, liberalisasi, dan kapitalisme yang menjunjung tinggi hak individu. Bahkan, Pinker menyebutkan demokrasi liberal yang memuat kapitalisme di dalamnya merupakan capaian tertinggi umat manusia (hlm. 343).
Pinker mendasari argumennya dengan menggunakan teori rasionalitas milik Max Webber. Menurut Weber (1905), kapitalisme hanya salah satu aspek dari rasionalitas. Ia juga menganggap bahwa modernisasi merupakan perluasan rasionalitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Meletakkan dasar pemikirannya pada modernitas dan kapitalisme yang terdapat kompetisi di dalamnya tentu memiliki konsekuensi. Selalu ada pihak yang kalah pada setiap kemajuan yang dicapai dunia oleh sains. Pihak-pihak itulah kemudian yang berpotensi menjadi musuh sains.
Bila menggunakan teori analisis kelas sosial yang diungkapkan Karl Marx, pihak yang kalah jelas adalah kelas sosial rendah-Marx menyebutnya proletar. Namun Pinker tidak ingin mendeterminiskan masalah hanya pada satu bidang, yakni ekonomi.
Pinker berpendapat bahwa ketidaksetaraan ekonomi "bukan merupakan dimensi kesejahteraan manusia". Ia juga mengutip sebuah studi yang menemukan ketidaksetaraan tidak terkait dengan ketidakbahagiaan, setidaknya dalam masyarakat yang lebih miskin (hlm. 102). Dia juga menunjukkan bahwa dunia secara keseluruhan menjadi lebih setara dan menyatakan bahwa, bahkan dalam area yang semakin tidak setara, orang miskin masih mendapatkan kekayaan dan mendapat manfaat dari inovasi teknologi (hlm. 101).
Pinker berpendapat justru yang berpotensi menjadi musuh sains adalah intelektual dan politikus. Sejujurnya, tidak ada satu pun intelektual yang menyukai perubahan. Bukan pada intelektual yang tidak menyukai hasil dari perubahan, Pinker lebih tidak suka pada sikap intelektual dalam menghadapi perubahan.
Intelektual cenderung kerap berupaya mempertahankan argumen dan perspektifnya dengan cara merendahkan argumen lain. Lantas, peran intelektual di masyarakat hanya berkompetisi untuk meraih prestise dan berebut pengaruh, alih-alih bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan yang ada melalui pengetahuan yang dimilikinya (hlm. 49).
Dalam hal ini pula, Pinker mengkritik sikap pemikiran intelektual yang justru sangat jauh dari nilai-nilai sains yang sarat akan kritik. Alhasil, yang terjadi dalam diri intelektual adalah sikap dogmatis dan otoriter. Mereka de ngan sekuat tenaga akan selalu melakukan pembenaran untuk dirinya dengan berbagai argumen yang ia susun, seolah-olah dirinya yang paling benar.
Musuh berikutnya adalah politikus. Politikus acap kali menggunakan berbagai macam cara untuk menarik suara dengan beragam janji-janji politik yang tak sesuai dengan perkembangan sains. Contohnya adalah populisme, baik populisme kanan maupun populisme kiri. Politikus-politikus populis selalu membuat argumen untuk kembali melihat sejarah kejayaan suatu bangsa atau ras pada masa lalu dan juga menyampaikan kebenaran menurut versinya sendiri (hlm. 333). Tak peduli seberapa banyak fakta yang diungkap, mereka tak akan mengubah kebenaran yang diyakininya-biasa dikenal dengan post truth atau pasca-kebenaran.
Pinker mencontohkan bagaimana Trump melalui kampanyenya yang menekankan kejayaan warga kulit putih yang sebenarnya juga tidak jelas di periode mana kejayaan kulit putih di Amerika Serikat berlangsung. Begitu juga dengan politikus populis agama di berbagai negara di Eropa dan Asia. Di Eropa, para politikus populis menekankan kejayaan Kristen. Adapun populisme Islam akan membawa kembali klaim kejayaan kekhalifahan.
Hasilnya, meski hidup sudah di zaman kecerdasan buatan, pemikiran mereka berada di masa lalu yang penuh dengan mitos. Dengan demikian, pemikiran manusia justru akan tertutup, antikritik, dan seolah hanya memiliki satu dimensi. Melalui hal-hal itu, kata Pinker, otoritarianisme akan hidup kembali dan mengubur kemajuan sains yang membutuhkan prasayarat kebebasan berpikir.
Lalu, bagaimana melawan musuh-musuh sains? Pinker meyakini sains akan terus berkembang dan mengalahkan musuhnya melalui pendidikan dan pers. Di ranah pendidikan, bidang ini mesti mengembangkan kemampuan berpikir kritis (hlm. 378). Dengan cara ini, murid dan guru mesti memiliki banyak referensi dalam pembelajaran dan terbiasa terbuka dengan berbagai pendapat serta kritik.
Kenapa pers dapat menjadi salah satu lawan untuk menghadapi sains? Bukankah saat ini pers sering menjadi alat kepentingan politik kelompok tertentu dan menyebarkan wabah fenomena pasca-kebenaran di masyarakat?
Di luar anggapan itu, pers memiliki peran untuk menguji semua informasi yang beredar di masyarakat dan mendorong masyarakat untuk terbuka atas berbagai macam sudut pandang (hlm. 403).
Buku yang terdiri atas 23 bab ini layak untuk dijadikan referensi bagi yang tertarik akan perkembangan terbaru sains, meski kita juga perlu kritis terhadap sudut pandang dan keberpihakan Pinker yang sangat "Barat". Kendati demikian, dua hal tersebut dapat dijadikan tantangan bagi perkembangan sains di Indonesia untuk menyebarkan fungsi sains sesungguhnya, yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh manusia.
Judul Buku: Enlightenment Now The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress
Penulis:
Steven Pinker
Penerbit:
Penguin Books Limited
Terbit:
Cetakan I, Februari 2018
Tebal:
556 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo