Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam iringan denting piano yang ngejazz dari Lea Petra, penari Marc Iglesias dan Gilles Fumba terus menggerakkan tangan membentuk sudut dan segitiga simetris. Gerakannya tegas dan bertenaga. Mereka tak beranjak selangkah pun dari tempat mereka berdiri. Hanya tangan yang menyamping, ke atas, dan kembali ke tengah atau samping membentuk bidang diagonal atau bidang yang geometris. Mereka mengayunkan tangan dengan putaran pinggang secara berulang dan napas yang diatur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam 10 menit terakhir, Petra menyuguhkan komposisi piano yang lebih ritmik dan tempo cepat, sejalan dengan gerakan kedua penari yang mulai menuju puncak. Para penari masih menggerakkan tangan secara abstrak, geometrik, dan berulang-ulang. Hanya, mereka tak lagi selalu bergerak bersama. Jika satu penari menjulurkan kedua tangan ke atas membentuk segitiga, penari lain melakukan gerak menyamping. Itu menjadi semacam penyegar dari gerak repetitif keduanya sejak awal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka juga menguatkan putaran pinggang dan menambah gerakan dengan menarik satu kaki mundur atau maju dari tempat semula. Jika diperhatikan, gerak-gerak itu seperti orang menepis, menangkis, menyampingkan, dan menghindari serangan dalam jurus-jurus bela diri silat. Ada saat mereka seperti sedang memotong atau merajang sesuatu. Masing-masing gerakan dimainkan dalam hitungan hingga sepuluh kali dan kemudian berganti lagi.
Para penari itu menyuguhkan karya Ayelen Parolin, koreografer asal Argentina yang tinggal di Belgia. Karya berjudul Heretics ini dipentaskan di Teater Salihara pada 5-6 September lalu. Koreografi ini didasarkan pada gerakan yang berulang-ulang dan mengandalkan daya tahan di sekitar motif utama, yakni segitiga dan variasi tak terbatas. Koreografi ini menghadirkan kolaborasi tiga seniman yang menyajikan musik yang obsesif dan gerak yang efektif.
Parolin menantang para penarinya tak hanya dalam konstruksi gerak matematika, tapi juga dalam gerakan geometris dan ketepatan yang rumit di antara goyangan atau ayunan berkala atau bolak balik, seperti kiri-kanan, depan-belakang, serta atas-bawah, secara serempak dan cepat. Juga tangan ke depan dan ke samping yang membentuk sudut.
Karya ini terinspirasi dari tradisi ritual sebuah suku pedalaman dengan struktur gerakan khusus. Parolin lalu mengkombinasikan gerakan tersebut dengan koreografi modern. Sang koreografer menghitung setidaknya 310 angka yang masing-masing sesuai dengan gerakan yang sangat tepat. "Pada mulanya Parolin membuatnya sangat statis, dimulai dari segitiga dan variasi segitiga," ujar Marc Iglesias, salah satu penari, kepada Tempo seusai geladi resik, Selasa lalu.
Koreografi ini kemudian terus dikembangkan. Iglesias dan Fumba, kedua penari yang mempelajari seni bela diri Jepang, rupanya memberi sedikit banyak pengaruh pada gerakan koreografi ini. "Sedikit mempengaruhi, struktur yang ada dikembangkan dengan gerakan yang terus diulang-ulang."
Gerakan yang cepat dan serempak ini dibumbui dengan musik yang menyodorkan suara dan ‘kebisingan’ dentingan piano dan efek suara dari piano yang menyerupai suara perkusi. Petra menciptakan musik dengan melihat struktur gerakan sang penari. Menurut Petra, setiap ritual memiliki gerakan yang terstruktur dan tidak ada improvisasi. Kemudian dia mencoba mengikuti struktur gerakan dari ritual itu dan menciptakan komposisi yang berkaitan dengan hal itu. "Saya mencoba suara dan kebisingan, mengikuti gerakan tersebut," ujar Petra.
Pada bagian awal, ia seperti bermain-main atau mencoba-coba bunyi yang ia ciptakan dari senar di piano, berhenti dan sesekali terdengar seperti ketukan. Namun setelahnya jari-jarinya menekan tuts memainkan sebuah komposisi. Hingga di bagian tengah, ketika gerakan menjadi makin kompleks, ia melanjutkan pada komposisi yang terdengar sangat ngejazz. Namun pada bagian akhir, seperti mengantar ke puncak, bunyi dan ‘efek suara’ perkusi makin intensif dan tempo makin cepat. Seolah memberikan semangat dan kekuatan kepada para penari. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo