Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pesona Kota Favorit Penguasa Eropa

Penguasa Eropa yang silih berganti menduduki Praha membuat kota klasik di Eropa Tengah ini memiliki banyak wajah. Mulai dari gaya romantik, gotik, renaisans, barok, hingga art nouveau.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesona Kota Favorit Penguasa Eropa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sabra Sathilla
Traveler

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayup-sayup terdengar alunan merdu nyanyian asing. Buyar sudah mimpi lelap itu. Saya membuka mata hanya untuk mendapati bahwa saya terkapar di salah satu tempat tidur susun bergaya minimalis. Suara-suara merdu terdengar bagai nyanyian peri menjelma jadi potongan percakapan teman-teman sekamar dalam berbagai bahasa. Perlahan ingatan saya kembali. Saat ini saya tengah berada di Praha, sebuah kota menawan di Eropa Tengah yang juga menjadi ibu kota Republik Cek. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hati seketika melonjak saat melihat jarum jam dinding menunjuk angka sepuluh. Waduh, saya cuma punya waktu beberapa jam sebelum matahari tenggelam. Di awal musim dingin di Eropa, tengah malam tiba lebih awal, sekitar pukul setengah 5 sore. Mengingat perjuangan panjang yang telah saya tempuh agar bisa mengunjungi Praha, tentu tak boleh saya sia-siakan barang sedetik pun waktu di sini. 

Beberapa jam sebelumnya, Flix Bus berhasil mengantar saya sampai ke terminal bus Praha, setelah menempuh perjalanan selama 7,5 jam dari Budapest, Hungaria. Dari terminal bus, sambil melawan udara dingin yang membuat tubuh menggigil, saya mendorong koper ke arah stasiun kereta bawah tanah. Perjalanan diteruskan hingga tiba di tengah kota Praha, tempat hostel Ananas berada. 

Meski pagi telah tiba dan mentari mulai muncul, ternyata sinarnya tak mampu mengusir hawa dingin yang mencekam kulit. Bersama beberapa traveler lain, kami mencari-cari kehangatan sang surya yang bersinar tipis di sela langit musim dingin yang seputih salju. Untungnya, selang beberapa menit kemudian pemandu mengumumkan telah tiba saatnya kami bergerak menyusuri Kota Praha. 

Keluar dari gedung, kami menyusuri Wenceslas Square, sebuah alun-alun bersejarah yang dipenuhi deretan gedung kuno cantik. Di tengah alun-alun di kawasan Nove Mesto atau kota baru Praha, saya melihat beberapa pedagang mulai sibuk menyiapkan barang dagangan di sekitar pondok-pondok kayu yang dihias dengan bermacam ornamen. Inilah salah satu Christmas market Praha yang terkenal itu. Sebuah festival akhir tahun yang menarik ribuan turis untuk mengunjungi Praha.

Melawan arus turis yang membanjiri Praha pagi ini, kami melintasi Wenceslas Square menuju ke kawasan Stare Mesto atau kota tua. Segera jalanan lebar berganti dengan gang-gang sempit. Jalanan berbatu di depan diapit oleh toko-toko suvenir, restoran, serta kedai es krim. Di tengah arus deras turis pagi itu saya memandangi rumah-rumah kuno di sekitar. Tak sekadar kuno, tapi memiliki beragam gaya arsitektur Eropa yang menarik, mulai dari romantik, gotik, barok, hingga renaisans. 

Praha memang salah satu kota yang paling kaya sejarah di Eropa. Di sinilah pusat kekuasaan, ekonomi, dan budaya dari kerajaan adidaya Eropa pada masa abad pertengahan. Tak mengherankan bila Praha kaya akan peninggalan arsitektur, seni, dan budaya dari masa kegemilangannya. Penguasa silih berganti membangun Praha demi membuktikan kedigdayaan dan kemakmurannya. Sejarah mencatat bahwa Praha pernah menjadi ibu kota kerajaan Bohemia. Pesonanya juga membuat kota ini dijadikan tempat kediaman beberapa raja dari kerajaan Romawi Suci, termasuk Charles IV yang tersohor. 

Pergantian takhta kekuasaan Eropa tak membuat Praha kehilangan pamor. Kota yang dilintasi Sungai Vltava ini tetap menyandang status sebagai kota penting selama masa kekuasaan monarki Habsburg dan kekaisaran Austro-Hungaria. Memasuki abad ke-20, Praha menyaksikan keruntuhan kekaisaran Austro-Hungaria, lalu menjelma menjadi ibu kota Cekoslovakia hingga 1993. Setelah berpisah dengan Slovakia, Praha masih tampil agung sebagai ibu kota Republik Cek hingga saat ini. 

Penguasa Eropa yang silih berganti menduduki Praha membuat kota klasik di Eropa Tengah ini memiliki banyak wajah. Gedung-gedung, kastil, rumah, pertokoan, teater, serta gereja di Praha menampilkan karya arsitektur yang beragam. Mulai dari gaya romantik, gotik, renaisans, barok, hingga art nouveau. Saat menyusuri jalanan berbatu yang diapit gedung-gedung klasik, saya seakan terbawa kembali ke Wina, ibu kota Austria yang telah saya kunjungi sebelum menginjakkan kaki di Praha. Di beberapa titik, wajah Praha mirip dengan Wina, suatu hal yang wajar karena Praha lama menjadi bagian dari kekaisaran Austro-Hungaria. Romantisme Wina lalu memudar saat saya melangkahkan kaki menuju ke arah Sungai Vltava. Saya tertegun akan kemegahan arsitektur gotik Charles Bridge, jembatan gotik yang menjadi ikon dari Praha. 

Ternganga akan kemegahan jembatan batu berwarna hitam ini, saya menyusuri struktur bangunan dan ukiran yang membentuk Jembatan Charles satu demi satu. Dua buah menara gotik mengawal mulut jembatan bagaikan kesatria dari masa lampau yang mengenakan topi hitam tinggi. Melewati gerbang lengkung di tengah kedua menara, saya seperti melewati lorong waktu, bergabung dengan ribuan turis yang berjubel melintasi abad pertengahan di Jembatan Charles. 

Menjulang di atas Sungai Vltava, Jembatan Charles dibangun untuk menghubungkan kawasan kastil Praha dengan kota tua, serta menggantikan Jembatan Judith yang hancur karena banjir. Konon raja Romawi Suci sendiri, Charles IV, yang meletakkan batu pertama pembangunan jembatan. Charles IV yang percaya akan numerologi memilih 9 Juli 1357 pukul 05.31 sebagai waktu yang tepat untuk memulai pembangunan. Ia percaya pemilihan waktu tersebut akan mengilhami datangnya kekuatan tambahan terhadap jembatan. 

Keyakinannya bukan tak terbukti. Jembatan Charles masih kokoh terbentang di atas Sungai Vltava hingga saat ini. Ia menjadi magnet penarik jutaan turis yang berkunjung ke Praha demi merasakan pengalaman melintasi jembatan gotik memukau ini. Meski begitu, Jembatan Charles telah direnovasi beberapa kali akibat banjir yang menghantam Praha.

Bagian jembatan yang paling mempesona adalah hiasan 30 patung bergaya barok. Patung yang terbuat dari batu pasir hitam ini terdiri atas 30 patung orang suci dan santo pelindung. Mereka bertengger di sisi kanan dan kiri jembatan, seakan melindungi para pejalan kaki dan siap mengancam para iblis yang suka mengganggu manusia. Saat melintasi patung-patung itu, khayalan saya terbawa ke suasana kuburan-kuburan kuno di Eropa.

Akhirnya saya sampai ke ujung Jembatan Charles yang mengarah ke kastil Praha, sebuah kompleks istana yang dulu menjadi kediaman penguasa-penguasa Kota Praha, dari raja Bohemia, raja kerajaan Romawi Suci Charles IV, presiden Cekoslovakia, hingga kini menjadi kantor presiden Republik Cek. Saya juga melintasi gerbang istana yang juga pernah didiami Adolf Hitler meski hanya semalam, dan juga orang kepercayaannya, Reinhard Heydrich, semasa Praha diduduki oleh Jerman pada masa Perang Dunia II. 

Bagaikan kota mini di dalam Kota Praha, kastil Praha merupakan kompleks bangunan menawan. Terdiri atas racikan bermacam gaya arsitektur, dari gotik, romantik, barok, hingga mannerisme yang ditambahkan ke dalam kompleks kastil setiap kali Praha jatuh ke tangan penguasa baru. Dari katedral St.Vitus yang bergaya gotik, saya mendaki ke basilika St.George yang bergaya romantik. Di puncak gunung, kastil dikelilingi oleh istana-istana barok yang mengingatkan akan istana-istana di Wina, Austria. Sambil menyusuri aula-aulanya yang megah, memandangi keperkasaan menara-menaranya, saya kembali ke arah kota tua Praha. 

Derau angin kencang menerpa. Rombongan menuruni bukit menuju ke arah kota lama. Meski cuaca mendekati 0 derajat Celsius, canda gurau teman-teman perjalanan membuat kami betah berlama-lama di udara terbuka. Bepergian sendirian memang selalu lebih menantang. Tapi terkadang saya merasa bosan berjalan-jalan sendiri, kangen dengan ramainya suasana saat traveling bersama teman atau keluarga. Bergabung dengan rombongan free walking tour lumayan mengurangi rasa jenuh, sekaligus mendapat banyak cerita dan sejarah mengenai Praha dari pemandu. Tak perlu banyak riset dari Internet... 

Setengah jam kemudian, kami sampai di Mala Strana atau kota bawah. Sesuai dengan janji di awal tur, pemandu membawa kami menuju ke sebuah tempat yang teramat terkenal, terutama bagi pencinta sejarah dan fan The Beatles. Membentang di seberang jejeran bar dan kafe, inilah Lennon Wall yang sangat bersejarah itu. Dinding panjang multiwarna di hadapan kami penuh dengan petikan lirik lagu The Beatles dan grafiti yang terinspirasi oleh John Lennon. Warna asli dinding tak kentara lagi, digantikan oleh coretan berwarna-warni para pelajar dan pendukung Lennonisme. 

Konon pada saat Praha menjadi ibu kota Cekoslovakia, para pelajar menuliskan keluhan mereka terhadap pemerintah komunis di tembok ini. Penguasa yang murka menyebut aksi mereka sebagai tindakan agen Barat yang kapitalis. Tembok pun dicat putih bersih kembali. Namun para pelajar tak patah semangat. Esoknya, tembok kembali diwarnai dengan grafiti dan petikan lagu The Beatles. Di antara grafiti yang tumpang-tindih di tembok, saya melihat sebuah kalimat yang melegenda di sini: War is Over.

Ya... kini setelah kekuasaan komunis berakhir dan Praha menjadi ibu kota Republik Cek, Lennon Wall menjadi simbol cinta dan perdamaian. Sebuah akhir yang bahagia dan mengharukan bagi perjuangan anak muda yang merindukan kedamaian di negerinya. 

Setelah memuaskan diri mengabadikan momen di depan tembok historis, kami kembali ke arah kota tua Praha. Mendekati alun-alun kota tua jalanan menyempit, jalan berbatu pun makin disesaki pelancong. Rupanya mereka memiliki niat yang sama, ingin melihat jam astronomi Praha yang tersohor itu. 

Jam astronomi Praha tak cuma indah dipandang, tapi juga menyandang status sebagai jam astronomi tertua di dunia yang masih berfungsi. Jam klasik yang dibuat pada abad ke-15 ini berada di sisi selatan aula kota. Sayangnya, setelah perjuangan berdesak-desakan dengan ratusan pelancong, saya hanya bisa tertegun mendapati jam astronomi sedang direnovasi sampai musim panas 2018. Kami memang masih bisa mengagumi keindahan desain jam astronomi, tapi jam itu tak sedang berfungsi.

Tak mau larut dalam kekecewaan, saya menyusul rombongan dan ratusan pelancong yang mengarah ke tengah alun-alun. Meski cukup luas, alun-alun kini disesaki berbagai kios kayu mungil yang penuh hiasan berwarna merah dan hijau. Yup, inilah Christmas market Praha yang terkenal meriah itu. Di tengah pendaran lampu yang digantung di antara kios, saya memesan trdelnik. Kue gulung berhias gula, bubuk kayu manis, serta es krim khas Praha ini lumayan ampuh menghilangkan penat setelah wara-wiri berjam-jam di kota klasik ini.

Well… Praha, sejarahmu telah mengajarkan akan arti perjuangan demi meraih cita-cita perdamaian sebuah negeri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus