Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Jay Subyakto</font><br />Perang di Panggung Miring

Jay Subyakto memberi sumbangan berarti bagi dunia tata panggung kita. Dengan inspirasi pertempuran di perbukitan, ia membuat panggung miring.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggung miring itu membuat serbuan prajurit perempuan tersebut menjadi dramatis. Di tangan mereka tergenggam bilah panah yang siap dilesatkan. Di belakang mereka berdiri tegap Rubiyah, panglima perang dari Desa Matah. Ia adalah istri Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo. Berbaur dengan para prajurit laki-laki, perempuan-perempuan perkasa itu bergerak ke medan laga, bertempur dengan pasukan kompeni.

Inilah salah satu adegan tari kolosal bertajuk Matah Ati yang disutradarai dan diproduseri oleh Atilah Soeryadjaya di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13-16 Mei 2011. Sebelumnya, Matah Ati manggung di Esplanade Singapura pada 22-23 Oktober 2010.

Sesungguhnya dramaturgi pertunjukan itu biasa. Namun lantaran penata artistik Jay Subyakto tidak membuat panggung datar, tapi miring 15 derajat, perang itu menjadi lain daripada yang lain. Belum pernah ada panggung demikian di dunia tari Indonesia. Itulah yang menyebabkan Tempo melihat garapan Jay tersebut merupakan desain panggung terbaik di pentas kita pada 2011. ”Ini agar adegan perang terlihat seperti sesungguhnya,” ujar Jay.

Kemiringan sebesar itu cukup menguras energi penari. Mereka terlihat kepayahan. Di situlah, menurut Jay, ekspresi seolah-olah perang didapatkan. Apalagi lelaki kelahiran Ankara, Turki, 24 Oktober 1960, itu memilih panggung berbahan metal. Permukaan yang licin memaksa penari berhati-hati ketika memijak. Awalnya para penari harus jatuh-bangun. Jay pun kerap diprotes para penari yang kerepotan menjaga keseimbangan. Namun, setelah satu setengah tahun berlatih, mereka dapat menaklukkan panggung miring itu.

Desain panggung yang miring itu juga membantu penonton untuk melihat detail gerak penari dari segala sudut. Penari yang ada di deretan depan hingga belakang semuanya terlihat dengan gemulai dan jelas. Ditambah electronic trap door di tengah panggung yang tiba-tiba bisa terbuka dengan bias sinar memancar—tempat keluar-masuk penari dalam sebagian adegan. Dengan penampilan para penari, plus efek visual yang menawan, penonton seolah-olah disuguhi pertunjukan panggung tiga dimensi.

Inspirasi membuat panggung demikian itu bukan datang tiba-tiba. Tak cukup membaca sejumlah literatur Jawa dari perpustakaan Mangkunegaran dan berdiskusi dengan Atilah, Jay juga melakukan napak tilas ke tempat-tempat Raden Mas Said bergerilya di Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. ”Ternyata mereka berperang di perbukitan. Akhirnya muncul ide panggung miring itu,” Jay menjelaskan.

Memang imajinasi kita seolah-olah melihat para penari mendaki perbukitan. Asap mengepul. Di lereng yang curam, mereka tusuk-menusuk dengan pasukan Belanda.

Menurut Jay, ia memilih menggali ide dari negeri sendiri dengan rajin menyambangi daerah-daerah di Nusantara. ”Banyak ide yang muncul kalau kita rajin keliling Indonesia,” katanya. Dengan cara ini pula dia menggarap tata panggung musikal Laskar Pelangi karya Riri Riza dan Karna karya Goenawan Mohamad. Panggung Laskar Pelangi seperti menghasilkan jalanan di tengah saf-saf perbukitan. Akan halnya panggung Karna terdiri atas dua tingkat. Di bawah, ada pintu-pintu dengan susunan trap tempat Kunti, Karna, dan lain-lain muncul satu per satu. Jay sempat melakukan riset ke Tanimbar untuk pertunjukan ini.

Sarjana arsitektur lulusan Universitas Indonesia ini pertama kali menjajal kemampuan sebagai penata artistik dalam konser pop David Foster bersama Twilite Orchestra pada 1992. Dua tahun kemudian, bersama teman sekampusnya, Erwin Gutawa, ia membuat terobosan dengan membuat konser tunggal Chrisye bertajuk ”Sendiri” di Plenary Hall Jakarta Convention Center.

Kini Jay siap memperkaya tata panggung seni pertunjukan kontemporer Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus