NAMANYA Jorge Carrasco. Ia pematung Prancis keturunan Bolivia berusia 75 tahun. Pamerannya di World Trade Center Jakarta, 4- 25 Mei, segera memperlihatkan ia perupa yang produktif. Dalam waktu satu tahun (1993-1994), ia mampu membuat setidaknya 30 patung (jumlah yang dipamerkan) dan sejumlah lukisan cat air. Kegairahannya itu menunjukkan semangat seniman generasi tahun 1950-an, ketika Carrasco mengawali kariernya. Pada tahun 1950- an dan 1960-an, ia melakukan perjalanan keliling dunia, terlibat berbagai pergerakan seni rupa, mengikuti puluhan pameran, membuat sejumlah karya publik, dan memprakarsai pembangunan National Museum and Salon of Bolivian Art di negeri asalnya. Karya-karya generasi 1950-an ditandai dengan meluasnya kecenderungan "berdia-log dengan medium (material)". Proses berkarya yang diikuti keasyikan soliter ini membuat perupa seperti terus-menerus ingin mengulangi pengalaman estetik yang dirasakannya sewaktu mencipta. Lalu mereka pun menjadi sangat produktif. Kata Carrasco dalam katalogusnya, "Seni adalah cinta, cinta adalah hidup. Kita harus hidup, bukan menderita." Maka, ketika ia jatuh cinta pada batu-batuan Indonesia (pualam, granit, batu gamping, onyx, bahkan batu dari lahar yang membeku), bangkitlah keinginannya "berdialog", dan bangkitlah semangat produktivitasnya. Menimbang pentingnya dialog dalam proses berkarya, menurut saya, di lukisan yang dipamerkan tak ada dialog. Upaya mengintervensi permukaan kertas dengan membangun kerutan-kerutan urung menjadi cipta-rupa. Kualitas permukaan ini kehilangan daya begitu tertimpa cat air yang seperti bermain dalam nada lain dan membangun citra (gunung, pemandangan, pasar). Itu berbeda dengan patung-patung Carrasco yang memperlihatkan dialog yang menarik dengan batu-batuan Indonesia yang mempunyai sifat khas. Berbeda dengan batu pualam Eropa, batu-batuan Indonesia getas dan berlapis-lapis, maka permukaannya sangat kaya warna. Kondisi batu-batuan Indonesia itu mendorong Carrasco menyederhanakan struktur dasar beberapa patungnya (liukan tajam akan membuat batu yang diolahnya pecah). Misalnya pada Armila yang dibuat dari batu pualam Lampung, ia hanya mengekspos lekukan pinggang. Carrasco terlihat pula meminimalkan sentuhan dengan maksud menampilkan warna dan kualitas tekstur batu-batuan Indonesia. Satria, misalnya, memperlihatkan upayanya menampilkan kualitas bungkahan kristal gamping yang alami. Patung granit berjudul Nara malah nyaris tidak diolah: ia tampak terpesona pada lapisan-lapisan warna cokelat batu granit, yang biasanya berwarna hitam legam. Kecenderungan membiarkan bentuk alami itu sangat mungkin bukan kelaziman Carrasco. Keseluruhan karya memperlihatkan pengolahan kemulusan, hasil pemahatan dan penggosokan. Idiom inilah yang membuat ia menyarankan pengunjung mengandalkan pencerapan (sensasi) rabaan untuk menangkap ekspresi. Separuh bergurau ia mengungkapkan, "Saya paling benci melihat barang seni dengan catatan 'jangan disentuh' di bawahnya." Maka, seni patung Carrasco mengandung pula "seni raba". Idiom yang muncul pada awal abad ke-20 ini sampai kini merupakan idiom populer dalam perkembangan seni patung di seluruh dunia. Sejumlah pematung terkemuka kita (Edhi Sunarso, Rita Widagdo, almarhum But Muchtar, G. Sidharta Soegiyo, Untung Murdianto, dan Edith Ratna) pernah, bahkan masih akrab, dengan bahasa ekspresi ini -- tentu dengan pendekatan berbeda-beda. Pada Carrasco, kemulusan lahir dari penyederhanaan bentuk. Hampir semua karyanya memperlihatkan struktur dasar figur. Nyaris tak ada yang berangkat dari bentukan abstrak tanpa citra, misalnya bentuk biomorfis atau bentuk geometris. Keterikatan pada bentuk figur ini menunjukkan, kepekaan yang diekspresikannya senantiasa berangkat dari mengobservasi struktur dan bentuk tubuh manusia. Bahkan tema tentang kehidupan. Dengan kata lain, hanya dengan membayangkan manusia dengan latar belakangnya, ia bisa membangun rangsangan untuk berkarya. Ini membuat sejumlah karyanya masih dengan jelas memperlihatkan jejak sosok dalam situasi tertentu. Seperti yang terlihat, misalnya, pada patung berjudul Asmara, masih tampak jelas bentuk sosok berpelukan. Namun, keterikatan pada tema sering melemahkan pengolahan bentuk karena tema pada dasarnya sulit diterjemahkan ke bahasa bentuk. Maka, karya-karya Carrasco yang tampil lebih baik, menurut saya, karya-karya yang memperlihatkan pemiuhan (distorsi) lanjut. Ini memperlihatkan observasi dan kepekaan merasakan adanya denyut kehidupan pada tubuh manusia. Melalui kepekaan ini, Carrasco mampu mengolah material (yang sebenarnya benda mati) menjadi bentuk yang mencitrakan vitalitas (kekuatan hidup). Karya-karya Carrasco yang kuat memperlihatkan vitalitas, antara lain, Puspa and Bayu dan Samara. Kendati tidak menyerupai manusia, bentuk-bentuk menggembung pada Puspa and Bayu menyerupai bagian-bagian tubuh manusia. Keadaan yang tak lengkap ini justru membuat bentuk itu memperlihatkan vitalitas dan sensualitas. Sedangkan rongga dan gumpalan vital pada Samara, yang tidak lagi memperlihatkan jejak figur, menampilkan dengan kuat "seni raba" itu.Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini