Jika dicermati lebih jauh, bagaimanapun, keberadaan koruptor di tengah masyarakat tak ubahnya bagai makhluk parasit yang senantiasa dapat melumpuhkan dan mematikan kelangsungan hidup perekonomian negara kita. Soalnya, uang rakyat yang dijarah koruptor tersebut adalah aset negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang (sandang, pangan, papan, dan sebagainya). Bayangkan, kasus korupsi di tubuh Bapindo saja, uang rakyat yang dijarah Rp 1,3 triliun. Sebelumnya selama Pelita V Kejaksaan menemukan 1.827 kasus korupsi senilai Rp 1,32 triliun. Begitu juga kasus kebocoran 30% APBN, yang diduga karena korupsi. Jumlahnya memang telah cukup memprihatinkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kasus penyelewengan uang rakyat tersebut terjadi justru pada saat Pemerintah sedang galak-galaknya melaksanakan program pengentasan rakyat dari kemiskinan. Dapat dibayangkan betapa sejahteranya rakyat kita jika 50 persen saja dari jumlah uang dikorupsi tersebut diperuntukkan -- sebagai modal -- bagi ribuan sarjana penganggur, dana inpres desa tertinggal, melengkapi berbagai fasilitas sekolah luar biasa, memberi santunan bagi rakyat miskin, dan proyek kemanusiaan lainnya. Sekiranya jumlahnya tak sebesar itu, tentu Indonesia, yang termasuk negara Dunia Ketiga, bisa tampil sejajar dengan negara-negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat, Kanada, yang terkenal sebagai negeri kaya sumber alam dan rakyatnya juga kaya. Dan bukan tak mungkin pula perekonomian kita akan bisa tumbuh dan berkembang secara sehat tanpa pinjaman (utang) luar negeri. Nah, mengingat betapa eratnya kaitan antara tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dan besar kecilnya jumlah uang rakyat yang dikorupsi, tak berlebihan bila disimpulkan: korupsi dapat mengakibatkan rakyat menjadi miskin. Maka, pendapat yang mengatakan, kemiskinan terjadi akibat dari kemiskinan itu sendiri -- menurut teori atau pendapat Antropolog Koentjaraningrat -- atau kemiskinan disebabkan kemalasan, tak kreatif, boros, dan lain-lain, adalah pendapat yang tak selamanya dapat dibenarkan. Pada saat Pemerintah sedang giatnya melaksanakan program pengentasan rakyat dari kemiskinan, seyogianyalah Pemerintah berpikir lebih serius lagi bagaimana caranya menjerakan para koruptor memainkan aksinya. Soalnya, selama ini, berbagai upaya tindakan preventif telah diujicobakan, misalnya UU No. 3 Tahun 1971 (Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), program hidup sederhana yang dianjurkan Presiden Soeharto (1974), pembentukan lembaga pengawasan melekat (waskat), penataran P-4, dan penayangan wajah koruptor di televisi, toh tak menciutkan nyali para koruptor. Satu-satunya alternatif tindakan preventif yang mungkin mampu menangkal agar para koruptor jera adalah memperberat hukumannya, yakni ditembak mati seperti yang dilakukan pemerintah Beijing terhadap tiga pejabat senior, termasuk bekas Direktur Urusan Perumahan di Shenzen, November lalu. Hukuman tembak mati ini sebenarnya tidaklah terlalu mengada- ada sepanjang kita menyadari bahwa sang koruptor adalah makhluk parasit yang senantiasa mengancam kehidupan kita. Hukuman tembak mati itu telah sesuai dengan asas keadilan hukum dan peri kemanusiaan. Sebab, bukankah selama ini hukuman tembak mati diterapkan mengingat kesalahan (dosa) si pelaku telah begitu besarnya terhadap negara dan masyarakat, sehingga hanya dengan hukuman tembak mati itulah kesalahannya bisa dimaafkan. Lagi pula, bukankah kita (secara diam-diam) pernah mengaktifkan (mengesahkan) hukuman tembak mati lewat "petrus" (penembak misterius) terhadap pelaku tindak kriminal yang diduga tak bisa diampuni lagi kesalahannya. Tak berlebihan jika pujangga Feurbach pernah mengatakan, "Hukuman seharusnya dapat membuat seseorang jera agar ia takut berbuat jahat."ERWIN, S.H.Pengasuh Biro Konsultasi Logika Kreatif Jalan W.R. Supratman 49 Lubukpakam, Deli Serdang Sumatera Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini