Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENANG William Soeryadjaya seperti mengingat prahara penutupan Bank Summa, hampir delapan belas tahun silam. Demi menutup kewajiban kepada nasabah bank miliknya itu, Om William, begitu ia akrab disapa, rela menjual Grup Astra, perusahaan otomotif urat nadi kerajaan bisnis keluarganya.
Bank Summa yang dikelola anak sulung William, Edward, sebenarnya terpisah dengan Astra. ”Tapi yang saya pikirkan nasabah kecil di bank itu,” katanya dalam wawancara dengan Tempo, Agustus 2002. Pria bernama asli Tjia Kian Liong ini ingat betul, tak lama setelah Bank Summa ditutup, rumah jembarnya di Menteng, Jakarta Pusat, setiap hari didatangi nasabah yang marah. Mereka melempar kotoran dan mengeluarkan sumpah serapah.
Sejak prahara Summa, pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, ini mundur dari gelanggang bisnis. Tapi, bukan berarti kerajaan bisnisnya habis runtuh. Kolapsnya Summa tak menjungkalkan imperium bisnis keluarga Soeryadjaya. Kepada empat anaknya—Edward, Edwin, Joyce, dan Judith—William menyerahkan puluhan perusahaan tersisa, dari bisnis hotel, properti, penerbangan, jasa investasi, hingga pabrik plastik.
William pun dikenang dengan positif. Keputusannya menjual Astra demi menyelamatkan nasabah Bank Summa mendapat acungan jempol dari kalangan bisnis. ”Belum ada sepanjang sejarah seorang pebisnis yang melakukan hal itu,” kata Sandiaga Uno, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri.
Di kalangan koleganya, William dikenal sebagai orang yang mau berbagi ilmu dan rendah hati. Pemilik Gramedia Group, Jakob Oetama, mengaku banyak menimba ilmu dari pria kelahiran 20 Desember 1923 ini. ”Saya banyak belajar bisnis dari beliau,” kata Jakob setelah melayat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Sabtu pekan lalu. Malam sebelumnya, sang taipan meninggal di Rumah Sakit Medistra. Rencananya, jenazah akan diabukan di Rumah Kremasi Oasis Lestari, Tangerang, Senin pekan ini.
Lahir dari keluarga pas-pasan, William mulai menekuni bisnis di usia dua puluh tahun. Ketika itu, ia baru keluar dari MULO—sekarang sekolah menengah pertama—di Cirebon. Sejak berusia enam tahun, William sudah yatim piatu. Sekolahnya putus di tengah jalan karena kerabat orang tuanya tak mau membiayainya. Sejak saat itu, ia mulai berjualan koran dan kertas bekas.
Naluri bisnis William berkembang. Tak puas berjualan kertas, William mencoba berdagang tenun dan hasil bumi di daerah Cirebon dan Majalaya. ”Dengan berdagang, saya bisa membantu saudara,” katanya. Dari hasil jerih payahnya itu, William, pada usia 24 tahun, bisa meneruskan sekolahnya ke Belanda. Ia memboyong istrinya, Lily Anwar, yang baru saja ia nikahi di Bandung. Di negeri itu, William belajar menyamak kulit sambil sesekali berjualan kertas.
Bersama adik dan seorang temannya, William mendirikan PT Astra International. Awalnya, perusahaan ini hanya memasarkan minuman ringan Perm Club. Perusahaan ini maju pesat hingga bisa melebarkan sayap ke otomotif. Hanya dalam tiga belas tahun, Astra sudah memiliki 72 anak perusahaan. Pada Akhir 1992, jumlahnya menjadi 300 perusahaan. Tak hanya bergerak di otomotif, Astra merambah bisnis jasa, pertambangan, dan hotel. Sampai akhirnya, trompet sangkakala menjemput Bank Summa. William melepas kepemilikannya di Astra.
Tentu, nama William tak pernah hilang dari Astra. Ia tercatat sebagai pendiri perusahaan penguasa bisnis otomotif negeri ini. Para bekas nasabah Bank Summa yang dananya selamat dengan keputusan Om William pun akan terus mengingatnya.
Anton Aprianto, Arie Firdaus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo