Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pembangkangan Sinta yang Kabur

Mengangkat tema pembakaran Sinta, koreografer Eko Supriyanto menggabungkan nuansa tari pop dan klasik Jawa. Unik. Tapi kurang menggigit.

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Supriyanto dikenal sebagai koreografer yang menjelajahi dunia tari pop dan klasik Jawa. Ia bisa menciptakan koreografi untuk penari latar dalam sebuah pertunjukan band. Ia juga bisa ikut terlibat menjadi raksasa dalam rombongan sendratari wayang wong Jawa. Semenjak balik dari kuliah tari di Los Angeles, Amerika, ia tampak gelisah. Ia terlihat ingin melakukan inovasi koreografi yang membaurkan vokabuler tari pop dan klasik Jawa.

Flame on You adalah karya terbaru Eko. Ide dasar adalah kisah Sinta Obong. Cerita pembakaran Sinta ini tak henti-hentinya dieksplorasi dalam dunia tari kita. Bagi Eko, agaknya ini tantangan menarik. Ia tampak ingin menyodorkan yang lain, baik dari segi tafsir maupun bentuk.

Adegan awal segera membuat kita merasakan bahwa Eko tengah bergulat dengan ide menjembatani yang pop dan tradisi tersebut. Dorothea Quin, Astri Kusuma Wardani, Wirastuti Susilaningtyas, dan Putri Pramesti—para penari asal Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta—tampil dengan kostum minim, serupa dengan pakaian senam trendi berwarna merah, hijau, ungu, dan hitam. Mereka melakukan gerakan adegan berjalan menungging mirip cara berjalan orangutan. Mereka menampilkan komposisi melingkar atau membentuk barisan. Mata mereka menatap tajam. Imajinasi kita dibawa ke gambaran bahwa mereka adalah metafor kawanan kera dalam kisah Ramayana. Gerak mereka tidak gemulai. Gerak mereka mirip gerak gimnastis yang menampilkan kekuatan otot. Jauh dari erotis.

Empat penari laki-laki, Danang Pamungkas, Muslimin Bagus, R. Danang Cahyo, dan Eko Wahyudi (juga dari STSI), bertelanjang dada. Antara penari perempuan dan laki-laki membentuk pasangan monyet yang saling adu. Lalu ada sebuah adegan dua penari lelaki berdiri mengapit seorang perempuan. Hanya kedua belah tangan perempuan itu yang terlihat. Perlahan-lahan kedua tangan perempuan itu bergerak menggerayangi tubuh. Tangan-tangan perempuan itu memegangi kepala lelaki, menutup matanya, hingga tubuh lelaki itu melorot jatuh ke lantai.

Di antara "kerumunan kera", dari awal muncul seorang yang berbeda sendiri mengenakan gaun hitam. Ia mungkin personifikasi Sinta. Sang gaun hitam diperankan oleh Jen Shyu, perempuan seniman berdarah Taiwan-Timor Leste. Jen Shyu membawa gatkim, gitar bulan khas Taiwan berbentuk lingkaran dengan dua dawai. Ia terus-menerus memetiknya sembari menyanyi. Ia mungkin Sinta yang tengah bercerita atau apa. Ia kadang terlibat ikut bergabung, kadang mengambil jarak dengan kawanan "kera modis" itu.

Seharusnya ditata sebuah koreografi yang menyegarkan antara Jen Shyu dan gerombolan kera itu. Eko dalam keterangannya ingin menyajikan tafsir bagaimana Sinta menolak mentah-mentah menuruti perintah Rama untuk membakar diri, karena tahu dirinya akan mati terbakar api. Yang menjadi masalah selama satu jam pertunjukan, tak mudah menangkap pesan atau energi cerita yang disuguhkan. Ratapan atau buaian Jen Shyu tak jelas. Kadang para penari tiba-tiba berhenti, membuat tablo-tablo, dalam keadaan statis, mulut mereka menganga seperti berteriak "aaaa…".

Eko terlihat kesulitan membangun dramaturgi. Ia kurang berhasil menciptakan suatu koreografi yang trengginas dan mengalir. Tentu saja koreografi tidak perlu naratif. Namun sekumpulan komposisi dengan titik-titik menggigit yang mampu menyuguhkan suatu abstraksi bagi kita rasanya perlu. Ketidakmampuan Eko menyajikan hal itu menyebabkan gerakan "kera modis" itu secara umum akhirnya sekadar seperti kenes-kenesan.

Tapi bukan Eko bila tak berani menyajikan kejutan. Pada sebuah adegan, setelah para penari yang membuka lebar-lebar mulutnya, tiba-tiba mereka lalu tersenyum-senyum sendiri. Mereka kemudian seolah-olah bubar menari dan kemudian berjalan berkeliling dengan langkah-langkah biasa. Para penonton bertepuk tangan mengira pertunjukan sudah usai.

Ruangan kemudian menjadi remang-remang. Dalam kegelapan, penonton bisa menyaksikan para penari itu berganti kostum. Eko agaknya ingin menyuguhkan sebuah kejutan struktur. Setelah cahaya terang, kita melihat penari laki-laki kini mengenakan setelan jas, sedangkan para perempuan memakai busana malam. Semuanya berwarna seragam, hitam-hitam. Musik yang terdengar kemudian musik elektronik dengan nada-nada underground. Setelah menjadi kera-keraan, mereka berubah menjadi manusia masa kini.

Meski terasa terpotong dan tak menyambung antara "babak pertama" dan "babak kedua", cukup menarik eksperimen yang dilakukan Eko ini. Sementara nada dasar adegan-adegan babak pertama merefleksikan persoalan nafsu hewani, nada dasar babak kedua mengkontemplasikan hal kasih sayang. Eko menyajikan adegan percintaan berbeda jenis dan sesama jenis. Bagian terbagus adalah tatkala di akhir pertunjukan bersama-sama mereka duduk bersimpuh sandar-menyandar. Dan Jen Shyu, yang berada di tengah, memetik gatkim itu sembari melantunkan lagu. Pembangkangan Sinta yang sejak semula kabur ini terselamatkan oleh adegan akhir yang hangat.

Nunuy Nurhayati, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus