Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDANGAN nasi kotak sudah tersaji di Ruang Lobi Gedung Nusantara II Dewan Perwakilan Rakyat. Jam makan siang sudah lewat. Tapi, Rabu pekan lalu itu, para anggota Dewan belum beranjak dari kursinya. Rapat paripurna belum juga berhasil mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Setelah interupsi muncul dari sana-sini, akhirnya pemimpin sidang Priyo Budhi Santoso mengetukkan palu. Ia memutuskan memberi waktu untuk lobi.
Rancangan ini mestinya sudah diketuk menjadi undang-undang pada rapat paripurna awal April lalu. Menurut anggota Komisi Pertahanan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Helmy Fauzi, semua fraksi saat itu sudah setuju dengan pasal-pasal di dalamnya, kecuali beberapa anggota Dewan dari Fraksi PDI Perjuangan, termasuk dirinya. "Kami keberatan selaku anggota, bukan atas nama fraksi."
Pasal yang ditentang itu berkaitan dengan perihal pengerahan pasukan Tentara Nasional Indonesia dalam konflik sosial di daerah. Dalam rancangan disebutkan kepala daerah memiliki wewenang meminta bantuan TNI dengan pertimbangan forum koordinasi pimpinan daerah. Forum itu terdiri atas kepala daerah, kepala kepolisian daerah, panglima komando daerah militer, dan pejabat daerah lainnya.
Perdebatan tajam berlangsung di dalam Ruang Lobi. Anggota Komisi Pertahanan dari Fraksi PDIP, Tubagus Hasanuddin, mengatakan ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ayat ini mengatur tentang operasi militer, selain perang, yang dilaksanakan oleh TNI berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. "Tentara itu memiliki tugas yang luhur. Janganlah dipakai untuk mengurusi mahasiswa atau tukang becak," kata Hasanuddin.
Bukan cuma soal pengerahan tentara yang membikin Helmy dan Hasanuddin galau. Proses pengesahan undang-undang juga dinilai keduanya terburu-buru. "Ada yang ingin kembali menggunakan pendekatan keamanan seperti zaman dulu," kata Helmy. Adapun Hasanuddin menengarai ada yang ingin menggunakan TNI untuk kepentingan lain.
Tak mengherankan jika lobi yang berlangsung tegang di tengah rapat paripurna itu tidak banyak membawa hasil. Akhirnya, setelah lobi sana-sini, menurut Helmy, disepakati kata "wewenang" diganti dengan "dapat meminta". Sedangkan "forum koordinasi pimpinan daerah" dihapuskan. Jika terjadi konflik, kepala daerah dapat meminta bantuan TNI. Permintaan ini diajukan kepada pemerintah, yang akan memutuskan sesuai dengan peraturan yang berlaku atau merujuk pada Undang-Undang TNI.
Perubahan ini sama sekali tak memuaskan. Lobi dua jam itu hanya berhasil mengubah satu pasal. Hasanuddin mengaku sampai saat ini ia tak tahu seperti apa bunyi draf akhir Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. "Ketua Panitia Khusus hanya bilang usulan ditampung, " ujarnya. Apalagi, kata dia, berubahnya pasal itu tak menjamin tentara tak akan ditarik-tarik lagi ke dalam konflik sosial. Menurut Hasanuddin, TNI tetap masih bisa dengan mudah dilibatkan dalam konflik di daerah jika presiden menghendaki dan pemimpin Dewan menyetujui.
Beberapa pasal lain dalam undang-undang itu juga masih menjadi persoalan. Misalnya tentang status daerah konflik. Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al Araf, mengatakan kepala daerah, dengan undang-undang ini, memiliki kewenangan menetapkan status daerah konflik. "Padahal konstitusi mengatur penetapan keadaan bahaya oleh presiden, bukan kepala daerah," katanya. Koalisi berencana segera menggugat undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar mendaftar beberapa pasal yang dinilai bermasalah. Definisi konflik sosial pada pasal 1, misalnya, masih terlalu luas dan memicu multitafsir. "Konflik sosial didefinisikan sebagai benturan dengan kekerasan fisik di antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa," kata Wahyudi.Â
Sedangkan pasal 5, yang menjelaskan sumber konflik, dikhawatirkan mudah diselewengkan. Yang termasuk sumber konflik di pasal ini, antara lain, sentimen berbau seks, agama, ras, dan antargolongan; sengketa tanah; serta batas wilayah. Hanya, tak diterangkan apa saja yang termasuk dalam sentimen berbau SARA, sengketa tanah, dan batas wilayah.
Kartika Candra, Syailendra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo