Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Budi Tek dan Bayi Kuning

Sepuluh tahun lalu namanya belum dikenal di dunia seni rupa. Tapi kini disebut-sebut sebagai salah seorang dari sepuluh besar kolektor seni rupa dunia. Ia memiliki museum kecil di Dharmawangsa Square.

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Balai lelang Sotheby Hong Kong, 2010. Lukisan karya perupa kontemporer Cina, Zhang Xiaogang, itu berjudul Chapter of New Century—Birth of the People’s Republic of China II (1992). Gambarnya adalah seorang bayi polos dengan kulit kuning tergeletak di atas meja kayu. Di belakangnya tampak foto-foto keluarga Cina. Di meja itu terdapat sebuah buku terbuka dengan tulisan tangan. Sebuah sarung tangan merah menunjuk lembar halaman buku.

Lukisan itu adalah seri kedua People’s Republic of China karya Zhang Xiaogang. Sebelumnya, di seri pertama Zhang menampilkan lukisan bayi merah. Bayi merah melambangkan Cina di era komunisme, dan bayi kuning ini memetaforkan Cina yang menyongsong masa depan. Karya bayi kuning itu laku HK$ 52,18 juta atau sekitar Rp 56 miliar. Angka ini cukup mengejutkan banyak orang di kalangan pencinta seni.

Pembelinya seorang pengusaha asal Indonesia bernama Budi Rahardjo (Yu Deyao) alias Budi Tek. Pengusaha agrobisnis dan peternakan ini kini disebut-sebut sebagai kolektor kelas dunia. New York ­Times menulis profilnya. Adapun majalah Art&Auction menempatkan Budi Tek dalam sepuluh besar orang yang berpengaruh di dunia seni rupa kontemporer.

Namanya disejajarkan dengan Eli Broad, miliuner, pengusaha, dan filantropis asal Amerika Serikat yang memiliki The Broad Foundations, yang banyak mendirikan museum; Dasha Zhukova (partner jutawan Roman Abramovich), pemilik Garage Centre for Contemporary Culture di Moskow—sebuah lembaga yang mendanai banyak proyek pameran kontemporer prestisius, termasuk di Biennale Venice; dan Francois-Henri Pinault, pemilik balai lelang Christie.

Budi Tek dikenal baru delapan tahun ini terjun ke dunia seni rupa. Namun dalam waktu singkat itu ia menghimpun koleksi luar biasa. Ia secara agresif melakukan pembelian di banyak pasar seni rupa, mulai Basel Art Fair sampai India Art Fair. Ia disebut-sebut sebagai kolektor yang memberi pengaruh bagi terciptanya boom kedua seni kontemporer Cina pada 2009. Sebagian besar koleksinya memang karya seniman kontemporer kelas atas Cina, seperti Zhang Xiaogang, Wang Guangyi, Xu Bing, Zeng Fanzhi, dan Fang Lijun. Koleksi Budi Tek dikatakan dapat dipakai untuk membaca perkembangan seni kontemporer Cina selama 18 tahun terakhir.

Tapi koleksinya juga meliputi karya seniman India papan atas, seperti Subodh Gupta dan Anish Kapoor. Juga karya perupa termahal Jepang, seperti Yoshitomo Nara. Ada pula karya seniman Eropa, seperti Maurizio Cattelan, Anselm Kiefer, dan Antony Gormley.

Pada 2013, direncanakan Budi Tek akan membuka museum yang sangat besar di Shanghai. Media massa dan publik seni rupa menanti seberapa banyak dan seberapa lengkap koleksinya yang bakal dipajang di museum tersebut. Museum itu direncanakan memiliki ruangan koleksi permanen dan ruangan untuk pameran rotasi. Museum didesain arsitek Jepang, Sou Fujimoto. Museum itu dikabarkan bakal memiliki paviliun-paviliun khusus untuk memamerkan karya instalasi seniman video terkenal Bill Viola dan Anselm Kiefer.

Sementara museum megahnya di Shanghai belum dibuka, sesungguhnya Budi Tek memiliki museum "kecil-kecilan" di Dharmawangsa Square, Jakarta. Museum itu berada di lantai satu, tepat berada di depan Kafe Tator. Museum ini diberi nama Yuz Museum. Apa artinya? "Yu adalah nama marga. Kalau dalam bahasa Inggris museum milik Yu ditulis Yu’s, tapi biar lebih mudah dipakai Yuz saja," kata Diana Wibawa, kurator Yuz Museum.

Yuz Museum mempunyai lima lantai untuk memajang karya seni. Mengapa Budi Tek memilih memiliki museum di mal? "Di Jakarta kan ke mana-mana macet, butuh waktu khusus untuk pergi ke museum. Mengapa tidak sekalian di mal, banyak orang yang jalan-jalan atau berbelanja. Begitu konsepnya," ujar Diana. Beberapa kali karya kontemporer seniman dari Cina yang menjadi koleksi dia, seperti Li Hui dan lukisan Ye Yongqing, dipamerkan di situ. Saat pameran Ye Yongqing, kita bisa melihat karyanya mulai dia lulus sekolah hingga menjadi terkenal. Diana menandaskan karya yang dipamerkan di Yuz Museum bukan untuk dijual. "Tidak untuk transaksi, tapi murni untuk mendukung seniman dan memberi wawasan kepada masyarakat," ujarnya.

Tapi Diana mengakui, begitu selesai dipamerkan, karya perupa Cina itu kebanyakan dikembalikan ke Cina untuk disimpan di sana. "Tapi kami bulan depan akan memamerkan karya seniman Indonesia, Dadang Christianto," kata Diana. Ini menandakan Budi Tek juga mulai mengoleksi karya seniman Indonesia. Memang dulu ia berkonsentrasi mengoleksi karya perupa avant garde Cina. Tapi kini ia juga membeli karya seniman lokal, seperti Agus Suwage, Eko Nugroho, Putu Sutawijaya, dan Yunizar.

Berikut ini wawancara Tempo dengan Budi Tek.

Sejak kapan Anda mulai menyukai karya seni dan mengoleksinya? Anda belajar secara khusus tentang seni?

Sejak delapan tahun lalu. Saya tidak belajar secara khusus. Selain membaca buku, saya lebih banyak belajar dari para seniman dan kurator.

Apa yang Anda koleksi?

Saya memang lebih suka seni rupa kontemporer, kebanyakan seni rupa kontemporer Cina. Saya tidak pernah membeli karya seni maestro lama.

Dari mana Anda biasanya mendapatkan karya seni?

Dalam pameran, lelang, atau langsung ke senimannya. Tidak ada target seniman khusus. Biasanya melihat lukisan dari institusi dan nilai di belakang lukisan itu. Seperti lukisan bayi kuning (Chapter of New Century­—Birth of the People’s Republic of China II), saya melihat ini seri keluarga yang menunjukkan kebangkitan Cina. Saya tak ingin karya seniman itu keluar dari Cina.

Pernah tertipu atau punya pengalaman buruk saat membeli?

Pada awalnya iya. Harga terlalu mahal, misalnya. Tapi lama-kelamaan jadi berpengalaman.

Baru-baru ini ada berita santer bahwa Anda memborong lukisan di balai lelang Sotheby?

Tidak benar kalau memborong....

Nanti, di museum Anda di Shanghai, apakah karya-karya dari Indonesia bakal dipamerkan?

Yang di Shanghai baru tahun depan rencananya dibuka. Ya, museum itu untuk memamerkan karya seniman Cina, Indonesia, dan sebagainya.

Kalangan seni rupa kita tentu mengharap Budi Tek juga bisa menghadirkan pameran besar di Jakarta. Misalnya menggelar pameran perupa kontroversial Cina, Ai Wei Wei. Sebab, Budi Tek juga dikenal memiliki koleksi Ai Wei Wei. "Sehari sebelum Ai Wei Wei ditangkap pemerintah Cina, sebetulnya ia mau bertemu dengan Pak Budi," kata Diana.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus