Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAMBAR sampul album grup musik baru, Sore, yang mengambil gaya ilustrasi sebagaimana advertensi 1960-an, menggoda pikiran untuk menebak warna musik yang ditawarkan.
Memang, sebagaimana tersirat da-lam citra gambar sampul itu, album kelompok yang diproduksi Aksara Record ini memanfaatkan vintage sounds yang lazim dipakai pemusik era silam, serta menyusupkan orkestra dalam format chamber. Grup ini berusaha me-nebar gaya bermusik eklektik atau campur aduk. Musiknya penuh dengan suara instrumen-instrumen seperti pia-no elektrik Wulitzer, mellotron atau cla-vinet yang sekarang ini nyaris tak pernah digunakan para pemusik pop.
Simak introduksi lagu Mata Berdebu, menampilkan tiupan french horn yang menggelitik. Sangat classy. Lagu yang ditulis Ade Paloh ini memang sedikit mengambil inspirasi dari Gymnopedie I, komposisi klasik karya kom-poser Prancis Eric Satie.
Grup musik yang terbentuk pada 2002 tadi tampak memuja karya-kar-ya pemusik pop masa silam yang sering disebut the golden pop era. Te-pat---nya, mereka sangat dipengaruhi psy-chedelia pop, genre musik pop pada pertengahan 1960-an, di Inggris dan Amerika Serikat. Psychedelia me---rupakan eksperimen musik yang meng-gabungkan banyak anasir musik seperti musik etnik Timur, jazz, soul, folk, klasik, dan rock. Aliran ini diper-tegas dengan lirik-lirik bernuansa mim-pi, surealis, dan sangat personal. Si-mak salah satu lirik Sore dalam Ada Musik di Dalam.
Seperti halnya The Beatles dalam album Sgt Pepper’s Lonely Heart’s Club Band (1967) yang banyak bereksperimen dengan glosari bunyi-bunyian, Sore pun menempatkan bunyi sebagai ornamen dalam aransemen musiknya. Bunyi vi-bra-pho-ne hanya ditempat-kan pada saat bridging da-lam birama sangat rapat. Sama halnya dengan bunyi mellotron yang hanya muncul- sesekali. Ak-sentuasi bu-nyi-bunyian ini, alhasil, men-jadikan total aransemen Sore menjadi ”mahal”. Bahkan banyak penempat-an bunyi-bunyian yang tak ter-tebak, misalnya harmoni vokal nyeleneh ala The Byrds atau Beach Boys yang bisa muncul di interlude atau terkadang menempel rapat pada vokal utama.
Pendengar yang hidup dan berkembang di era 1960-an atau 1970-an tentu bakal kerap menemukan karakteristik grup ter-tentu jika menyimak garapan Sore, misalnya nu-ansa grup Procol Harum pada lagu Ambang dan Ada Musik di Dalam. Di kedua lagu ini, pemain ki-bor Ramondo Gascaro seolah terbius pengaruh gerayang piano akustik Gary Brooker, pianis Procol Harum.
Ingatan kita sekonyong-konyong me-nuju ke Philadelphia Sound ketika menyimak No Fruits For Today. Kesan yang mencuat seolah persilangan antara Marvin Gaye dan Harold Melvin & The Bluetones. Bahkan kita jadi ingat album Sell Out (1967) The Who tatkala menyimak lagu She’s So Beautiful yang menampilkan kolaborasi antara Sore dan The Miskins.
Ada satu catatan dalam album Cen-tralismo ini, yaitu kurang fokus. Mungkin karena Sore terlalu banyak men-jejalkan genre musik yang pernah jadi tren di akhir era 1960-an hingga awal 1970-an. Ini bisa fatal bagi sebu-ah grup yang tengah mencari jati diri. Se-andainya lagu No Fruits For Today menjadi hit single, maka orang me-nyang-ka Sore adalah grup dengan konotasi jazz. Sedangkan jika men-dengar Ambang, maka Sore bisa disangka mengusung rock progresif -seperti Procol Harum.
Pertanyaan yang sangat mengusik adalah sampai kapan Sore bertahan dengan vintage sound-nya. Jangan-ja-ngan, mereka memang pemuja masa silam sejati.
Denny Sakrie, pengamat musik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo