Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Parade Nestapa Penghasil Devisa

Ratusan TKI dilaporkan hilang dan disiksa. Sebagian besar korban bekerja di Arab Saudi dan Malaysia.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat lusuh itu tintanya mulai memudar. Deretan kalimat yang ditulis dengan tangan sema-kin sulit dibaca. Enam tahun sudah Sutirah, pemilik nawala itu, menyimpan gulungan kertas tersebut. Se-tiap kali kerinduan kepada Eri Supri-yani, anaknya, mendera, surat itu di-ba-canya kembali. Berulang-ulang. Ba-gi warga Desa Kutisari, Baturraden, Ba-nyu-mas, Jawa Tengah, surat terakhir itu men-jadi satu-satunya obat kangen kepada sang putri.

Sejak 2 Oktober 1999, Eri Supriyani me-ninggalkan kampung halaman meng-adu nasib menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Tidak jelas negara mana yang di-tuju anaknya. Sutirah hanya meng-ingat surat terakhir itu dikirim Eri Su-pri-yani dari sebuah tempat penampung-an TKI di Jalan Bandar Laguna F-10, Ta-ngerang, Banten. “Selama tiga bulan (di penampungan), dia menulis surat li-ma kali kepada saya,” kata Sutirah kepada Tempo. Eri dikabarkan merantau ke Malaysia. Setelah itu tidak ada kabar lagi.

Menurut Sutirah, usia Eri baru 14 tahun ketika memutuskan berangkat menjadi TKI. Sekolah di SMP PGRI Baturraden pun tidak diselesaikannya. Agar bisa ikut “proyek” kerja di luar negeri itu, tahun kelahiran Eri dimundurkan su-paya dapat memperoleh KTP. “Agar bisa berangkat (menjadi TKI). Saya merasa bersalah,” katanya.

Upaya mencari buah terkasih bukannya tidak dilakukan Sutirah dan Ahmad Rakum, suaminya. Pasangan ini ber-kali-kali mendatangi Kantor Dinas Te-naga Kerja Banyumas dan PT Amira Prima, penampung TKI. Mereka juga su-dah melaporkan raibnya Eri ke polisi. Bah-kan jalan supernatural pun dijalani ke-luarga tukang becak itu. Hasilnya: nihil.

Kemalangan yang sama dialami pa-sang-an keluarga Sukamto-Warsem. War-ga Dusun Gembar, Sokaraja, Banyumas, itu sejak September 2004 lalu tidak lagi men-dengar nasib Wahyuningsih. Anak ke-li-manya itu berangkat ke Arab Saudi pa-da 2002 melalui sebuah per-usahaan pe-nyalur tenaga kerja. Padahal saat itu Wah-yuningsih baru mendaf-tar sekolah ke madrasah aliyah negeri di Purwo-kerto. Kabar terakhir yang di-ki-rim Wahyuningsih adalah surat yang me-ngabarkan dirinya akan pulang pada Oktober 2004. Surat itu juga berisi uang 200 rial (sekitar Rp 520 ribu). Namun hing-ga kini putri yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba.

Pada Maret 2005 Sukamto menghu-bungi kediaman majikan anaknya di Madinah Al-Munawarroh, Arab Saudi. Orang di ujung telepon mengatakan bahwa Wah-yuningsih sudah tidak bekerja di keluarga itu la-gi. Kontrak kerja berakhir pada Oktober 2004. “Kami sudah pasrah, tidak tahu harus berbuat apa,” kata Sukamto.

Lalu ke mana Wahyuningsih? Menurut pelaksana fungsi penerangan KBRI di Riyadh, Arab Saudi, Arif Suyoko, pihaknya menerima banyak laporan se-per-ti kasus keluarga Sukamto itu. Namun, menurut dia, tenaga kerja yang di-nyatakan hilang itu belum tentu hilang. Sebab, putusnya hubungan TKI de-ngan keluarganya tidak bisa selalu diartikan bahwa TKI itu hilang. “Bisa saja dia pindah majikan tetapi tidak mengabari keluarganya,” katanya.

Kesulitan tadi diperpa-rah dengan banyaknya TKI yang pindah majikan tanpa memberitahu-kan alamat majikan yang baru. “Ketika kami la-cak lewat agen, ternyata dia sudah tidak bekerja lagi di majikan pertama,” kata Arif. Sis-tem alamat di Arab Saudi yang keba-nyakan menggunakan kotak pos juga me-nambah kesulitan itu. Belum lagi nama TKI yang tidak sesuai dengan nama da-lam dokumen perjalanan maupun kete-na-ga-kerjaan.

M. Sugiarto, Atase Perburuhan KBRI Ri-yadh, mengibaratkan KBRI di Riyadh seperti petugas pemadam kebakaran. “Ka-mi tidak tahu TKI yang masuk ke sini. Kami baru tahu setelah TKI datang me-laporkan masalah,” kata dia.

Eri dan Wahyuningsih hanya sebagi-an dari kisah ratusan TKI yang tidak je-las keberadaannya. Menurut catatan Kon-sorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi), sejak September 2004 sampai Juni 2005 pihaknya menerima 78 la-poran tentang TKI yang hilang. Sedang-kan dari pantauan LSM itu sendiri di li-ma wilayah—Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat—dalam kurun yang sama ada 792 kasus keluarga yang mengaku kehilang-an kontak selama 8 bulan sampai 10 tahun.

Pelikson Silitonga, pelaksana hari-an Kopbumi, melihat ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus yang menimpa TKI. Hal itu bisa dilihat dari minimnya data TKI yang bekerja di negara tu-juan. Apalagi mekanisme penempatan TKI yang ada selama ini tidak jelas. “Kalau data dan penempatan jelas, tentu tidak sulit mencari TKI yang dilaporkan hilang,” katanya.

Menurut Pelikson, hilangnya ratusan TKI itu tidak bisa dilepaskan dari sistem perlindungan buruh migran. Undang-undang perlindungan buruh migran yang ada saat ini belum bisa memberikan aspek perlindungan yang memadai. Dalam beberapa kasus, hilangnya TKI sering diakibatkan adanya tekanan fisik dan psikologis yang diterima di tempat kerja. Pekerja tidak tahan de-ngan tekanan-tekanan itu dan melarikan diri. “Dia tidak membawa dokumen apa pun. Jadi, selama berbulan-bulan dia pindah tempat dan bersembunyi,” kata Pelikson.

Kasus TKI hilang hanya sebagian kecil dari penderitaan para penghasil devisa negara itu. Siksaan fisik dan jiwa sering kali menimpa TKI yang bekerja di luar negeri. Bukannya rial yang me-reka bawa pulang ke keluarga melain-kan derita berkepanjangan.

Ismawati, misalnya. TKI asal Nusa Tenggara Barat ini kini kondisinya sa-ngat mengenaskan. Lehernya dipasangi alat penyangga. Di beberapa bagian tubuhnya, kulitnya memutih bekas luka. “Sekarang masih tetap berobat jalan,” kata Bayu Sitiwi, anggota Divisi Buruh Migran Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan NTB yang ikut merawat Ismawati.

Menurut Bayu, Ismawati berangkat ke Arab Saudi pada 19 Desember 2004. Selama beberapa bulan bekerja di Arab Saudi, Ismawati kerap diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya. Sebuah kesalahan kecil sudah bisa dijadikan alasan untuk menyiksa wanita lugu itu. Sundutan rokok, siraman air panas, atau tusukan pisau seolah akrab dengan tubuhnya.

Didera siksa, perempuan berusia 23 tahun itu menjadi lemah dan sakit. Bukan membawa ke rumah sakit, majikannya malah mengantar Irma ke Bandar Udara Jeddah pada 1 April 2005. Irma tak sanggup melawan. Dia hanya bisa menuruti keinginan sang majikan. Tubuhnya yang ringkih terjatuh dan pingsan hanya beberapa menit setelah ditinggal majikannya di bandar udara.

Kisah penyiksaan tadi baru terbongkar tujuh hari kemudian, se-telah Ismawati--yang dilarikan ke Ru-mah Sakit King Abdul Aziz oleh satpam bandara--siuman. Pihak Kedutaan Besar Indonesia segera turun tangan dan meneruskan kasus ini lewat jalur hukum.

Bekas majikannya, Mansyur Mustafa, belakangan menawarkan perdamaian kepada Ismawati. Dia menjanjikan 25 ribu rial sebagai kompensasi. Namun tawaran itu tampaknya hanya akal-akalan sang majikan. Sampai Isma-wati kembali ke Tanah Air, uang itu belum juga diberikan.

Ismawati bukan TKI pertama yang mengalami kejadian buruk itu. Ratusan, bahkan mungkin ribuan pekerja pernah mengalaminya. Sepanjang tahun 2005 ini, Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh, Arab Saudi, menerima 2.377 peng-aduan kasus TKI. Laporan itu meliputi penganiayaan, gaji yang tidak dibayar, beban kerja terlalu berat, selesai kontrak tidak dipulangkan, pelecehan sek-sual, diusir majikan, dan lain-lain. Menurut Atase Perburuhan KBRI di Riyadh, M. Sugiarto, kasus penganiayaan sebenarnya tidak terlalu menonjol. Jumlah-nya kurang dari 25 per-sen. “Yang pa-ling menonjol justru gaji yang tidak dibayar,“ kata dia.

Suseno, Sujatmiko (NTB), Ari Aji (Purwokerto), Deden Abdul Aziz (Sukabumi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus