Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berdakwah di Pusar Kekuasaan

Partai Keadilan Sejahtera menggelar musyawarah nasional pertama. Mereka berambisi meraih posisi tiga besar Pemilu 2009.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna putih diperkirakan akan mendominasi kawasan Gelora Senayan, Jakarta, sepanjang pekan ini. Ribuan orang yang mengenakan warna kebesaran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini direncanakan akan hadir menyemarakkan sebuah acara politik di kawasan olahraga Jakarta itu.

Inilah musyawarah nasional PKS yang pertama. Partai yang didirikan tujuh tahun lalu dengan nama Partai Keadilan itu baru akan resmi bermusyawarah mulai Rabu pekan ini. Tetapi, sejak tiga hari sebelumnya, berbagai rentetan acara—dari bazar, ekspo, konser musik nasyid, lomba kasidah, dan tentu berbagai persidangan—telah mereka gelar.

Suasana bak pasar malam itu memang tak jamak. Biasanya musyawarah nasional sebuah partai politik lebih bernuansa tegang karena menjadi arena gontok-gontokan, tempat para elite partai berebut posisi. Saling menebar pengaruh serta uang kepada para calon pemberi suara. Bahkan, yang belakangan ini sedang menjadi tren, kelompok yang kalah akan membentuk partai sendiri dengan embel-embel ”pembaruan”.

Ketegangan seperti itu tampaknya tak akan muncul pada musyawarah nasional PKS. Bukan karena partai yang dikenal tertib saat berunjuk rasa dan santun dalam kampanye ini tak mengalami perubahan elite, tetapi memang tak ada masalah krusial yang akan dibahas. Seluruh posisi kepengurusan baru partai telah terisi. Bahkan draf perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai juga telah tersusun. Pendek kata, tinggal ketok palu untuk disahkan.

Partai berlambang bulan sabit dalam Ka’bah ini rupanya memang punya cara sendiri mengurus rumah tangganya. Mereka punya sebuah lembaga yang bernama Majelis Syuro. Majelis berisi 99 orang itu terdiri dari wakil wilayah dan anggota pakar. Dalam sidangnya yang berlangsung dua bulan lalu, mereka telah menentukan nama-nama yang akan duduk dalam kepengurusan partai.

Jabatan Ketua Majelis Syuro dipegang KH Hilmi Aminuddin. Posisi presiden partai berada di tangan Tifatul Sembiring, menggantikan Dr Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya setelah terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut seorang pengurus pusat partai, dalam sidang Majelis Syuro tak banyak terjadi pertentangan. Pergantian kepengurusan di partai ini sudah bisa ditebak layaknya urut kacang. ”Meski ada juga satu atau dua orang yang kariernya melejit bak roket,” katanya.

Kalaupun ada masalah penting yang dibahas dalam musyawarah nasional, hanya seputar strategi partai menghadapi Pemilihan Umum 2009. Dengan bendera PKS, pada Pemilu 2004 partai ini panen dengan mengumpulkan lebih dari 8 juta suara. Jumlah itu cukup untuk menempatkan 45 wakil di DPR dan menguasai kursi Dewan di beberapa daerah. Keputusan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono menjelang pemilihan presiden putaran kedua juga membuahkan hasil. PKS berhasil meraih posisi Ketua MPR dan mendapat jatah tiga kursi menteri.

Kini, di saat partai lain masih berkutat di konsolidasi kepengurusan baru, PKS sudah berbenah untuk pemilu mendatang. Susunan kepengurusan partai digembungkan. Sementara sebelumnya mereka membagi Indonesia dalam empat wilayah dakwah, musyawarah kali ini akan mengesahkan pemekaran menjadi sembilan wilayah dakwah. PKS juga memiliki pengurus wilayah di semua provinsi. Selain itu, bidang-bidang pembinaan juga diperbanyak. ”Wajarlah kalau kami pasang target (untuk Pemilu 2009) posisi ketiga,” kata sumber di pengurus pusat partai.

Sukses PKS dalam politik dan menduduki jabatan pemerintahan ini melahirkan kecemasan pada sebagian simpatisan partai. PKS dikhawatirkan mulai meninggalkan jatidiri sebagai partai dakwah karena sibuk memburu jabatan. Padahal sejarah kelahirannya bermula dari kegiatan dakwah di kampus-kampus pada era 80-an.

Mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid, membenarkan bahwa PKS kini makin dekat dengan kekuasaan. Tetapi mereka tak pernah berubah dari cita-cita pendiriannya sebagai partai dakwah. Menurut dia, keterlibatan mereka dalam kekuasaan lebih memudahkan cita-citanya dalam berdakwah. ”Konsistensi kami dalam melawan korupsi dan menjalankan pemerintahan yang bersih merupakan bentuk dakwah juga,” kata Hidayat.

Hal ini diamini anggota Dewan Syuro PKS dari Jawa Timur, Ustad Rofi Munawar. Baginya, tujuan utama menegakkan nilai-nilai Islam sulit terwujud jika PKS tidak masuk ke kekuasaan. Ketika PKS menjagokan calon menjadi kepala daerah, mereka meminta komitmen calon itu untuk menjalankan sejumlah program yang klop dengan program PKS. ”Saat kita mencalonkan atau mendukung orang menjadi kepala daerah, justru untuk berdakwah,” kata anggota DPRD Provinsi Jawa Timur ini. Tapi, apa yang akan dilakukan jika kepentingan dakwah dan kekuasaan bertentangan?

Agung Rulianto, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus