Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Penabur Bibit Toleransi

Mukti Ali, 81 tahun, cendekiawan yang pernah menjadi Menteri Agama, meninggal dunia. Ia mewariskan semangat toleransi agama.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rabu pekan lalu, rumah sederhana di Jalan Sagan GK I/100, Yogyakarta, itu berselimut duka. Lantunan ayat suci terdengar lamat-lamat. Sang pemilik, Abdul Mukti Ali, 81 tahun, kini terbujur berkain kafan.

Mukti Ali telah pergi, tapi semua tahu: pikirannya yang istimewa tak ikut pergi. Profesor Amin Abdullah, bekas mahasiswa Mukti Ali di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menyebutnya "tokoh yang memupuk toleransi agama." Kita tahu, Mukti Ali adalah sosok penting yang rajin menunjukkan sisi "liberal" agama: ide agree in disagreement (sepakat dalam perbedaan), toleransi antar-agama dan antar-umat. Pendek kata, "Sejak awal, Pak Mukti Ali telah mengusung ide pluralisme," ujar Amin.

Mukti memang sosok yang telah berjalan jauh. Saat ia memasuki usia akil balig, orang memanggilnya Soedjono, nama yang ditinggalkannya setelah ia memasuki Pesantren Tremas, Pacitan, tempat ia memperoleh nama baru: Ahmad Mukti Ali. Dari suasana lokal Pacitan, Mukti melakukan lompatan-lompatan yang jauh: belajar ilmu perbandingan agama (sampai tingkat doktoral) di Universitas Karachi, Pakistan, kemudian melanjutkan pendidikan di Faculty of Divinity & Islamic Studies di McGill University, Kanada. Ia banyak belajar, banyak menyerap, banyak menularkan ilmunya. Mukti kerap menganjurkan oksidentalisme—gerakan untuk mempelajari Islam dari sudut pandang Barat.

Mukti telah menjalani evolusi pikiran, perjalanan yang membuatnya jadi orang "terbuka". Di rumahnya, di Kompleks UAI Sunan Kalijaga, pada 1967-1971 ia menggelar "Lingkaran Diskusi Limited Group". Beberapa pemikir muda Islam—seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawan Rahardjo, dan Syu'bah Asa—terlibat dalam pertemuan yang membahas aneka persoalan intens: dari persoalan realitas sosial umat, seni Islam, hingga soal eksistensi Tuhan. Soal diskusi tersebut, Mukti Ali punya alasan bagus. "Saya merasa sangat rugi bila kalangan muda itu dibiarkan memendam pertanyaan," kata Mukti Ali dalam pengantar buku Pergolakan Pemikiran Islam karya Ahmad Wahib.

Syu'bah Asa, salah seorang pemakalah Diskusi Limited Group tiap-tiap Jumat sore itu, mengenang, "Banyak pejabat Departemen Agama yang diundang dalam diskusi menjadi jengah." Ia asyik mengikuti perkembangan wacana, dan produktif. Hingga akhir hayatnya, guru besar ilmu perbandingan agama di UAI Sunan Kalijaga itu menghasilkan puluhan buku. Karyanya yang monumental antara lain Al Qur'an dan Terjemahannya (anggota dewan penerjemah), Al Qur'an dan Tafsirnya (anggota dewan penafsir), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, dan Persoalan Agama Dewasa Ini.

Mukti akademisi sejati, tapi juga pernah menjadi birokrat. Dalam biografinya, ia bercerita tentang komandan resor militer yang menjemputnya ketika ia memberikan ceramah. Mukti dipanggil ke Jakarta. Setiba dia di Stasiun Gambir, beberapa orang tentara dipimpin Soejono Humardani membawanya ke Presiden Soeharto. Ia ditawari jadi Menteri Agama. Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik sebagai Menteri Agama. Sejak itulah kiprah Mukti Ali makin membesar.

Mukti berhasil mengubah citra Departemen Agama menjadi lembaga yang lebih "bersahabat". Sebelumnya, saat dipimpin K.H. Dachlan, Departemen Agama laksana orang tua yang gemar menghukum anak-anaknya. Di era K.H. Dachlanlah pelbagai kasus "penghinaan agama"—dari buku sejarah Islam Indonesia versi Profesor Slamet Mulyana, film The Bible, hingga cerpen Langit Makin Mendung—mengguncang republik. Karya-karya intelektual tersebut dianggap Departemen Agama sebagai produk melenceng yang menistakan kesucian agama. Namun, "Pak Mukti Ali berhasil melakukan depolitisasi agama," ujar Syu'bah Asa.

Setiyardi, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus