"SUARA Anda menentukan masa depan bangsa." Begitu slogan yang kerap dikumandangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama masa kampanye pemilu anggota legislatif Maret lalu. Hanya, KPU pula yang kemudian mengungkapkan, dari 148,369 juta pemilih terdaftar, hanya 124.449.036 pemilih yang menggunakan hak pilihnya (83 persen). Sisanya tak boleh serta-merta dilabeli golongan putih (golput) alias sengaja tak mau memilih.
Menurut kajian Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), banyaknya warga yang akhirnya tak bisa menggunakan haknya itu karena mereka terdaftar di lebih dari satu tempat dalam provinsi berbeda, berpindah tempat dalam satu provinsi, dan belum cukup umur tapi memperoleh kartu pemilih. Banyak pula ditemukan pemilih yang meninggal setelah memperoleh kartu pemilih, yang tidak mendapat kartu pemilih, dan yang memang tidak mau menggunakan hak pilihnya.
"Dari survei kami, mereka yang betul-betul tak mau memilih alias golput cuma tiga-lima persen, kok," kata Wakil Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Navis Gumay. Berdasarkan paparan KPU pada Rabu pekan lalu, dari 124,4 juta pemilih, ternyata ada 10.957.925 pemilih yang tidak memilih secara benar. Akibatnya, surat suara yang mereka coblos dinilai tak sah. Penyebabnya adalah sosialisasi yang kurang tentang tata cara mencoblos yang benar.
Hadar mencontohkan, sebagian warga di DKI Jakarta mencoblos surat suara dua kali hanya karena surat suara dibuat bersambung menjadi dua lembar. Penyebab lain surat tidak sah adalah sengaja dibuat tidak sah, atau dikosongkan alias tak dicoblos. Ada juga akibat kekhilafan panitia di tingkat tempat pemungutan suara, yang sengaja memberikan tanda pada surat suara.
Secara moral, jika menyangkut kurangnya sosialisasi tata cara pencoblosan, yang seharusnya bertanggung jawab adalah KPU. Tapi hanya sebatas itu. Sebab, dalam Undang-Undang Pemilu, tak satu pasal pun yang bisa menjerat KPU secara pidana akibat kelalaian tersebut. "Ke depan tentu hal itu harus dibenahi," kata Hadar.
Kenyataan lain yang muncul dari pleno KPU tentang penetapan dan pengumuman hasil pemilu adalah membengkaknya jumlah suara sah yang tidak terkonversi (hangus) menjadi kursi di parlemen. Pada Pemilu 1999, yang menerapkan sistem proporsional, angkanya cuma 9,7 juta, tapi kali ini mencapai 26,5 juta. Kehilangan terbesar dialami Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Partai Bulan Bintang, masing-masing mencapai lebih dari dua juta suara.
Jumlah suara yang hangus itu, menurut Sekretaris Jenderal PKPB Ary Mardjono, merupakan akumulasi dari 69 daerah pemilihan. Hanya, partai yang sempat mengundang kontroversi karena mengklaim diri sebagai "Golkar Asli" dan "antek Soeharto" itu memilih tak ikut menolak hasil pemilu. Bahkan partai itu termasuk di antara 20 partai yang langsung menandatangani penetapan hasil pemilu.
Padahal, selain jumlah suara yang hangus cukup besar, Ary mengaku sebetulnya mencatat berbagai keganjilan. "Kalaupun mengadu ke Mahkamah Konstitusi, percuma, hanya buang energi," katanya pasrah. Sikap PKPB ini dipuji Hadar. Menurut dia, ribut-ribut partai politik yang mengadukan berbagai temuan pelanggaran ke Mahkamah Konstitusi memang sangat kecil kemungkinannya mengubah perolehan kursi partai bersangkutan.
Menurut dia, dengan adanya berbagai kelemahan pada pemilu kali ini, tidak harus langsung dilakukan penggantian sistem pemilu dari semidistrik ke distrik murni. Sebab, dengan sistem terakhir itu, justru kemungkinan suara hangus lebih besar. Jika sistem distrik didorong tergesa-gesa, dia khawatir itu justru akan memapankan kekuatan lama yang punya infrastruktur lebih kuat dan punya basis massa tradisional yang loyal. Ya, katakanlah ini risiko sebuah pilihan.
Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini