Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa kita butuh polisi? Menurut definisi universal, institusi ini dibentuk di negara beradab untuk memastikan bahwa setiap warga menjaga perdamaian dan taat hukum. Di Indonesia, peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada orang ramai. Setidaknya itulah tugas pokok yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertajuk Kepolisian Negara.
Lantas, apakah demi menjalankan perintah undang-undang itu sepasukan polisi mengejar, memukul, dan menganiaya mahasiswa Universitas Muslim Indonesia di Makassar dua pekan lalu? Jawaban resminya sedang dicari oleh tim investigasi yang dikirim Markas Besar Kepolisian RI ke ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu, tapi jawaban akal sehatnya sudah ditemukan. Pemecatan kepala polisi provinsi dan kota adalah pertanda bahwa para polisi penyerang itu diduga kuat telah melakukan pelanggaran hukum. Adapun usul beberapa anggota DPR agar Kepala Kepolisian RI mengundurkan diri adalah upaya mencari jawaban politik atas persoalan yang sama.
Usul politik itu secara resmi kurang tepat. Sebab, jika para wakil rakyat lebih mencermati UU Kepolisian Negara, yang sepatutnya dipanggil ke Senayan untuk didengar keterangannya adalah Komisi Kepolisian Nasional. Ini adalah lembaga yang oleh UU No. 2/2002 ditugasi membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan polisi dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan serta pemberhentian Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, lembaga ini berwenang menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada presiden.
Agar Komisi Kepolisian Nasional bersikap independen dan profesional, undang-undang menyatakan para anggotanya berasal dari luar kepolisian, yaitu dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat. Pembentukan komisi, juga ketentuan mengenai organisasi serta tata kerja pengangkatan dan pemberhentian kesembilan anggotanya, dinyatakan akan diatur dengan sebuah keputusan presiden.
Persoalannya sekarang adalah—entah karena apa—keputusan presiden yang diamanatkan undang-undang sejak 1 Juli 2002 ini tak juga dibuat. Akibatnya, komisi yang bertugas membantu presiden mengawasi polisi dan menampung keluhan serta masukan masyarakat tentang kinerja polisi ini belum juga terbentuk. Walhasil, sampai sekarang, tugas berat tersebut mau tak mau menjadi tanggung jawab langsung presiden.
Ini keadaan yang sungguh memprihatinkan. Sebab, kesibukan presiden sehari-hari tentu membuat tugas mengawasi polisi ini telantar, apalagi di saat-saat menghadapi pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen serta presiden dan wakil presiden mendatang. Karena itu, jangan heran jika timbul berbagai persoalan pada kinerja kepolisian nasional. Kebrutalan pasukan polisi ketika menyerang mahasiswa UMI di Makassar hanyalah sebagian dari puncak gunung es permasalahan itu yang muncul ke permukaan.
Persoalan ini jelas harus segera ditangani. Sebab, tanpa kehadiran polisi yang profesional, efektif, dan dihormati rakyat, upaya membangun masyarakat madani yang bertumpu pada konsep rule of law akan terasa bagai menegakkan benang basah. Dan membangun institusi polisi seperti ini tak mungkin dilimpahkan hanya pada jajaran pimpinannya. Terbukti, di negara-negara yang sudah modern pun, yang melakukan supervisi ketat pada aparat hukumnya, persoalan kebrutalan ataupun korupsi polisi tak pernah dapat dibasmi secara tuntas. Apalagi di negara berkembang, yang oknum polisi dan tentaranya acap lebih dilihat sebagai sumber utama penyebab hilangnya rasa aman masyarakat ketimbang sebagai pengayom. Setidaknya itulah hasil survei Bank Dunia pada sekitar sepuluh ribu orang miskin di bumi ini pada tahun 2000.
Indonesia tak bebas dari gejala umum di negara berkembang ini. Beredar luasnya ungkapan "kalau melaporkan kehilangan ayam ke polisi malah akan kehilangan sapi" adalah indikasi kuat buruknya citra polisi di mata rakyat. Penelitian ilmiah siswa angkatan 39-A Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun lalu juga secara gamblang menunjukkan betapa merebaknya korupsi jual-beli jabatan di jajaran polisi. Suatu hal yang telah diungkapkan lebih dulu oleh Jenderal Purnawirawan Kunarto, Kepala Kepolisian RI periode 1991-1993, dalam buku yang ditulisnya, Merenungi Kritik terhadap Polri.
Mewabahnya penyalahgunaan wewenang di tubuh aparat penegak hukum ini terutama karena "sistem pengawasan internal tidak efektif sama sekali." Setidaknya itulah yang ditulis Jenderal Purnawirawan Awaloedin Djamin, Kepala Kepolisian RI periode 1978-1981, dalam bukunya yang berjudul Menuju Polri Mandiri yang Profesional. Wajar jika Jenderal Kunarto menyimpulkan dibutuhkan sedikitnya 30 tahun untuk mereformasi polisi agar menjadi institusi yang betul-betul profesional. Itu pun dengan asumsi jajaran pimpinan polisi mendukung upaya ini dan pemerintah memberikan dukungan politik sepenuhnya.
Penindakan hukum terhadap para polisi pelaku kebrutalan di Makassar serta pencopotan kepala polisi provinsi dan kota oleh Kepala Polri menunjukkan iktikad itu sudah ada dan patut dihargai. Kini giliran jajaran pimpinan politik untuk menunjukkan dukungan mereka. Pembentukan segera Komisi Kepolisian Nasional adalah salah satu caranya. Paling tidak, seperti bunyi pepatah dari Negeri Cina, sebagai "ayunan langkah pertama dalam perjalanan seribu lie."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo