Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Perempuan di Jagat Lelaki

Film tentang seorang pastor yang mencapai posisi tertinggi gereja Katolik dengan menyembunyikan identitasnya sebagai perempuan. Potret perjuangan perempuan Eropa pada abad pertengahan.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIE PAPSTIN (POPE JOAN)
Sutradara: Sonke Wortmann
Skenario: Heinrich Hadding, Sonke Wortmann
Pemain: Johanna Wokalek, John Goodman, David Wenham

BERTAHUN-TAHUN aku mencari-Nya, sekarang Tuhan menemukanku, mana mungkin aku menyia-nyiakannya.” Bibir Johanna mengucapkan kata-kata itu pelan dan tegas. Namun kebimbangan tergambar jelas di wajahnya. Cita-citanya tercapai, dia diangkat menjadi paus, penguasa tertinggi gereja Katolik. Sesuatu yang mustahil terjadi bila dia tak pandai menyimpan identitas aslinya sebagai perempuan. Brother Johannes, begitu dia biasa disapa.

Di sisi lain, perempuan yang mengubah penampilannya seperti laki-laki (memangkas rambut panjangnya dan membebat dadanya dengan kain erat-erat) itu tak bisa menolak naluri keperempuanannya untuk hidup bersama kekasihnya, Graf Gerald. Kabar pengangkatannya sebagai paus membuatnya bimbang. Dia harus memilih pergi meninggalkan Roma dan menjadi suami-istri, sesuatu yang juga amat didambakannya, atau terus menjadi laki-laki dan menerima kursi kehormatan sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik.

Kisah hidup Johanna tertuang dalam film buatan Jerman, Die Papstin. Pertama kali dirilis di Berlin, Jerman, pada 19 Oktober 2009, tahun ini film produksi Constantin Film ini beredar di Amerika Serikat dengan judul Pope Joan. Diadaptasi dari novel laris karya penulis Amerika, Donna Woolfolk Cross, Die Papstin, inilah kisah legenda Paus Yohanes yang diyakini sebagai satu-satunya paus perempuan dalam sejarah gereja Katolik. Menurut legenda, sang paus menyamar sebagai laki-laki dan dikenal sebagai Paus Yohanes VIII.

Seperti dalam novelnya, sang sutradara, Sonke Wortmann, berusaha ”mendekatkan” sosok Johanna (diperankan oleh aktris Jerman Johanna Wokalek) sebagai sejarah. Semacam konstruksi sejarah yang ditulis lewat fiksi. Seperti dalam film-film hasil adaptasi lainnya, Wortmann berusaha setia pada novelnya. Periode demi periode perjalanan hidup Johanna dijabarkan secara detail, mulai kelahirannya hingga akhir hidupnya.

Dalam film, Johanna digambarkan sebagai sosok yang selalu tersisih sejak lahir. Pada masa itu, tahun 800-an, di Eropa perempuan tak lain budak lelaki, dan keberadaannya tidak diperhitungkan. Karena keturunan Hawa, yang memakan buah pengetahuan di Eden, dia menjadi yang bersalah atas segala kutuk dan kesialan dalam rumah. Tak boleh belajar, tak boleh mengetahui terlalu banyak, terlebih memahami Injil.

Maka Johanna yang berotak cemerlang memberontak. Dia mendobrak semua peraturan. Diam-diam dia belajar membaca dan menulis dari kakak pertamanya—yang sayangnya meninggal di usia amat belia. Ketika Johannes, kakak keduanya, masih terbata-bata mengeja tulisan, dia sudah mahir membaca dan menulis bukan cuma dalam bahasa Latin, melainkan juga Yunani. Sang ayah menyiksanya dengan cambukan hingga pingsan ketika mengetahui kemampuannya itu.

Tanpa diketahui sang ayah, Johanna menjadi murid di sekolah Katedral di Kota Dorstadt. Di sana dia berkenalan dengan Graf Gerold, bangsawan beristri dan beranak dua. Belakangan, Johanna yang beranjak dewasa jatuh cinta pada Gerold. Hidup Johanna makin rumit ketika hubungan terlarang itu diketahui istri Gerold. Ketika Gerold pergi berperang, Johanna dipaksa menikah dengan laki-laki yang tak dikenalnya. Pernikahan batal lantaran gerombolan Viking datang dan membantai hampir semua orang yang menghadiri upacara pernikahan. Johanna selamat dan sejak saat itu memutuskan menyamar menjadi laki-laki. Dia memulai karier sebagai biarawan di Biara Benediktus di Fulda, dengan nama Johannes.

”Bagi saya, cerita dalam novel itu sangat emosional,” kata Wortmann, sesaat sebelum pemutaran film di GoetheHaus, Jakarta, Selasa pekan lalu. Wortmann mencoba menggambarkan kondisi Eropa pada abad pertengahan yang muram dan dingin. Adegan kekerasan dan sadistis bertaburan. Adegan pembantaian—dari jari yang diiris hingga pemenggalan—digambarkan gamblang. ”Zaman itu memang penuh kegelapan dan brutal,” Wortmann beralasan. Toh, Wortmann tak melulu mengumbar kekerasan. Sisi-sisi romantis percintaan Johanna dan Gerold juga disajikan apik.

Die Papstin merupakan film pertama Wortmann yang dirilis secara internasional. Tapi, di negerinya, kepiawaian lelaki lulusan Universitas Televisi dan Film Muenchen ini sudah tak diragukan. Sederet film terkenal telah dibuatnya. Salah satunya film komedinya Alone Among Women (Allein unter Frauen, 1991), meraih Hypo-Award dalam Munich Film Festival 1991.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus