Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utang itu lunas sudah. Maret lalu, Indro Hardjodikoro akhirnya mengeluarkan album solo pertama. Sepuluh lagu menjadi mahar pemain bas yang telah setia bermusik lebih dari 20 tahun ini. Sepuluh lagu menebus rencana sepuluh tahun lalu yang tertunda.
Album ini memang mengarungi proses panjang. Indro tak bisa berkonsentrasi penuh membuat lagu lantaran sibuk tampil bersama sejumlah grup musik, seperti Tohpati and Friends dan Twilite Orchestra. Ia juga menjadi music director Keenan Nasution dalam konser Nuansa Bening, dan memberikan workshop di berbagai kota. Padahal Indro mulai menciptakan lagu untuknya sendiri pada 2000. Lagu-lagu itu pun akhirnya menjadi cicilan dengan tenggat tak jelas. ”Saya terlalu asyik main, jadi sering lupa bikin album,” katanya.
Konsep yang diusung adalah permainan tiga orang. Tapi personel nya dua kali berubah. Sebelumnya sejumlah musisi sempat mendukung Indro, seperti gitaris Andre Dinuth yang kerap mengiringi Glenn Fredly dan drummer Sandy Winarta. Kesibukan mereka masing-masing membuat Indro Trio tak berjalan. Indro lalu mengajak dua putra musisi besar Said Kelana, yaitu Inang Noorsaid (drum) dan Iwang Noorsaid (keyboard) yang juga pentolan Emerald. Nasibnya sama saja. Trio tak berjalan lagi.
Belakangan Indro memilih dua musisi muda berbakat, keyboardist Lal Intje Makkah yang kerap menggunakan keyboard-guitar (keytar) saat manggung dan Demas Narawangsa pada drum. Demas, 17 tahun, kerap bermain dengan musisi senior. Adapun Lal, 26 tahun, biasa mengiringi Agnes Monica. ”Rasa nya menantang bermain bersama pemain sehebat Mas Indro,” kata Lal.
Dua tahun terakhir penggarap an album dimulai. Indro bekerja sama dengan perusahaan Demajors Independent Music Industry untuk memproduksi album. Mungkin karena penebusan dengan rentang waktu yang lama, Indro memberikan judul Feels Free.
Sepuluh lagu diciptakan dan diaransemen sendiri oleh Indro serta cenderung beraroma fusion. Selayaknya album solo, dominasi Indro terasa sejak awal. Dalam lagu Titik Awal, misalnya, Indro cukup menggebrak. Di tengah lagu, ia tampil menonjol dengan memainkan melodi yang didukung akor sederhana dari keyboard dan iringan drum.
Begitu juga dalam I Like Surprises. Pengguna Musicman 5 Strings dan Fodera 6 Strings ini memainkan dua peran sebagai pengiring layaknya pemain bas, tapi juga sekaligus lead. Ditambah teknik slap yang cepat, Indro mampu mengambil alih peran gitar. Dua lakon itu dijalankan dengan sempurna oleh pemusik otodidak ini, dan membuat lagu jauh dari kekosongan.
Tak hanya mengambil peran gitar, dawai tebal yang dimainkan Indro menjelma menjadi gitar itu sendiri, alat musik yang pertama kali ditekuni nya saat bermusik. Ia menunjukkan kemahiran ini dalam lagu Feels Free. Selama sekitar tiga menit, Indro mampu me ngombinasikan susunan nada mayor dengan minor dan memadukan petikan nada tinggi dalam tempo cepat dengan iringan nada rendah.
Dominasi ini jelas berbeda dengan penampilan Indro selama ini. Ia jauh dari gaya permainan ego tinggi yang ambisius. Indro paham atas kapasitasnya mengiringi banyak musisi kondang seperti Donny Suhendra, Dwiki Dharmawan, Indra Lesmana, ataupun trio dewa gitar Tohpati, Dewa Budjana, dan Balawan dalam Trisum. Indro cenderung berada di belakang dan tak terlihat meski genta basnya tetap terasa.
Sosok Indro mengingatkan kita pada Nathan East yang kerap bermain bersama Phil Collins, Eric Clapton, dan Bob James dalam Fourplay. Nathan hampir melulu menjadi pengiring. Kapasitas permainan bas Nathan tentu tak diragukan, tapi ia tetap memilih menjadi pengiring sejati. Indro pun mengaku sangat terinspirasi oleh Nathan sehingga terus berkelana dengan banyak grup, membuatnya dikenal sebagai basis sejuta band.
Toh, dominasi Indro kali ini tetap halus dan tak berlebihan. Ia tetap memberikan porsi yang sangat cukup untuk Lal dan Demas. Lal berkesempatan menampilkan nada-nada yang menyayat dalam rentangan tutsnya. Demas pun mampu menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam teknik dan perubahan tempo. Sungguh dominasi Indro tetap halus dan bersahabat.
Ayah dua anak kelahiran 1968 ini masih sangat mampu mengimbangi energi yang melimpah-ruah dari dua anak muda tersebut. Dalam lagu Drum and Bass, terdengar jelas harmoni hasil kelincahan jari-jari Indro dengan permainan cepat Lal dan Demas yang kadang berubah lamban tapi tetap di namis. Lagu ini menunjukkan solidnya permainan yang eksplosif tapi bersih dan sangat segar.
Pengajar bas di Institut Musik Indonesia ini juga menggandeng soul mate-nya, Tohpati Ario Hutomo. Dalam My Angels, Indro tampil berdua saja dengan sobat yang nyaris selalu hadir sepanjang penziarahan bermusiknya itu. Kebersamaan Tohpati-Indro selama lebih dari 22 tahun, antara lain melalui Halmahera, Simak Dialog, Tohpati and Friends, hingga Tohpati Ethnomission, terbukti telah memadukan keduanya. Bergantian mereka mengambil peran sebagai melodi atau pengiring.
Lagu ini menjadi begitu meng alir, hangat, dan mampu memunculkan keharuan dari nada-nada yang dihasilkan dawai berbagai ukuran. Kemampuan mencipta lagu jelas dibuktikan Indro. Ini sekaligus mematahkan anggapan banyak orang bahwa Indro hanya menjadi bayangan sang maestro gitar. Ia memang setara dengan Tohpati, dan keduanya saling melengkapi.
Sang gitaris pun mengakui musikalitas Indro. Tohpati merasa kaget dengan kemampuan Indro menghasilkan My Angels. Komposisinya jauh berbeda dengan yang ditunjukkan Indro selama ini. ”Enggak Indro banget, tapi sangat enak,” kata Tohpati.
Indro juga menghadirkan Irfan Chasmala (keyboard) dan gitaris jazz Oele Pattiselanno yang dianggapnya sebagai guru dalam Menyapa Pagiku. Dengan tempo lambat, permainan ketiganya mampu membuai telinga dengan nada-nada sederhana yang mengalun lembut. Duet Indro-Oele dalam Senja juga menunjukkan kehalusan instrumen talia yang menenangkan pikiran.
Secara umum, lagu-lagu yang dibuat Indro cenderung sederhana, jauh dari kerumitan yang kadang sulit dicerna seperti dalam grup musik yang diiringi nya selama ini. ”Hati saya ingin lagu yang sederhana,” kata Indro.
Tapi, dengan kesederhanaannya, Indro telah mampu mencurahkan energi dahsyat tanpa berlebihan. Tohpati menilai, dengan kemampuan dan kematangan yang dimiliki, album Indro ini seharusnya bisa keluar sepuluh tahun lalu. ”Indro telah menunjukkan bas bukan lagi sebagai penjaga gawang, melainkan menjadi alat musik yang bisa dinikmati,” ujarnya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo