Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPANYE Andi Mallarangeng di Hotel Majapahit, Surabaya, tiga pekan lalu, diawali dengan pembacaan daftar hadir. Satu per satu, pengurus cabang Partai Demokrat diabsen. Edhie Baskoro Yudhoyono, yang sejak awal mendukung pencalonan Andi sebagai ketua umum partai itu, membacakan daftar tersebut.
Ia tampak kecewa karena sejumlah ketua dewan pimpinan cabang hanya mengirimkan pengurus di bawahnya. Tiba di urutan pengurus Partai Demokrat Tulungagung, ia meradang. ”Mana Ketua Dewan Pimpinan Cabang Tulungagung?” ia bertanya. Ia mendapati, pengurus Tulungagung hanya mengirimkan satu wakil ketua.
Ibas, begitu ia akrab dipanggil, langsung meminta perwakilan dari Tulungagung mengirimkan pesan kepada sang ketua agar mendukung Andi Mallarangeng. ”Tolong, sampaikan pesan saya kepada ketua Anda, juga ketua cabang lainnya yang tidak hadir, kembalilah ke jalan yang benar,” katanya.
Dua pekan menjelang Kongres Partai Demokrat di Bandung, bursa calon ketua umum tetap disemarakkan dengan persaingan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, ketua fraksi partai itu di Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya terus menggalang dukungan dari para pemberi suara, pengurus cabang partai, seperti yang dilakukan Ibas. Gencar memajang iklan di pelbagai media, pendukung keduanya juga bersaing keras dalam mengadu pernyataan.
Tim Anas Urbaningrum, misalnya, mempersoalkan dukungan politikus Partai Golkar buat Andi Mallarangeng. ”Ada foto Ketua Golkar yang dipasang bersama Andi Mallarangeng di depan kantor Partai Beringin,” ujar Ahmad Mubarok, ketua tim sukses Anas.
Tudingan, tentu saja, diarahkan ke Rizal Mallarangeng. Adik Andi itu salah satu ketua Partai Golkar, di bawah pimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie. Mubarok menuduh, Golkar sengaja mendukung Andi. ”Kalau Demokrat dipimpin Anas, mereka tidak sanggup lagi menyalip pada 2014,” ujarnya.
Kubu Andi menyerang Anas dengan isu agama. Mereka menyatakan perlunya mewaspadai Anas yang dianggap akan ”menghijaukan” Partai Demokrat. Kampanye itu diembuskan karena Anas adalah mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Persaingan keras itu membuat sejumlah politikus mengusulkan perlunya calon jalan tengah. Usul itu antara lain disampaikan Amir Syamsuddin, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Ia mengakui, syarat pengurus adalah telah dua tahun menjadi anggota partai. ”Tapi syarat itu bisa diubah kongres bila diperlukan,” katanya.
Ia mengatakan, tak mudah memunculkan calon di luar Andi, Anas, juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie. Ia mengatakan, Yudhoyono mengharapkan tokoh muda yang akan memimpin partai itu pada lima tahun ke depan. Alasannya, mayoritas pemilih pada 2014 adalah orang muda.
Calon ”jalan tengah” itu bisa muncul, menurut Irvan Edison, mantan staf khusus Presiden, jika terjadi pertentangan akibat persaingan. Bisa juga jika dikehendaki Yudhoyono, ketua dewan pembina partai itu. ”Jadi, pengurus cabang jangan sampai beradu otot,” ujarnya.
Setidaknya ada dua nama yang disebut-sebut sebagai ”calon jalan tengah”. Mereka adalah Marsekal Purnawirawan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, serta Letnan Jenderal Purnawirawan Erwin Sudjono, mantan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia, ipar Nyonya Ani Yudhoyono.
Dua nama itu disebut, melihat kedekatan mereka dengan Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Djoko Suyanto, teman seangkatan Yudhoyono di Akademi Angkatan Bersenjata 1973, cukup berperan dalam pemenangan Yudhoyono-Boediono dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun lalu.
Djoko adalah wakil ketua tim kampanye nasional pimpinan Hatta Rajasa. Djoko Suyanto juga memimpin Tim Echo, yang bertugas mengadopsi fungsi teritorial di militer untuk mendongkrak suara SBY-Boediono di daerah. Tim ini ramping, hanya satu pemimpin di kabupaten atau kota.
Kepada Tempo, Djoko mengatakan tak berminat terjun ke dunia partai politik. ”Saya bukan kader Partai Demokrat, dan saya tidak punya kemampuan politik, apalagi memimpin partai besar,” kata mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini.
Djoko mengatakan, banyak kader Partai Demokrat yang bisa memimpin partai pemenang Pemilu 2009 itu. ”Cuma, selama ini, orang melihat Pak SBY sebagai figur sentral,” ia melanjutkan. ”Menurut saya, perlu dimunculkan kader-kader yang lebih ‘muda’, lebih agresif, lebih sehat, masih punya energi besar, dan yang paling penting, sudah berpengalaman di partai politik.”
Adapun Erwin Sudjono dinilai bisa menjadi kuda hitam. Apalagi ia dianggap bisa meneruskan ”dinasti politik” keluarga Cikeas. Meski begitu, Erwin Sudjono bukan orang dalam Partai Demokrat.
Erwin bukannya tak bergerak. Ia rajin menjalin komunikasi dengan sejumlah kalangan, termasuk para pengelola media massa. Menurut seseorang yang pernah bertemu dengannya, Erwin mengatakan tak akan aktif menggalang dukungan. ”Tapi ia mengatakan siap jika terjadi deadlock,” katanya.
Ramadhan Pohan, pendukung Andi Mallarangeng, menyatakan tidak pernah mendengar keinginan Yudhoyono menjadikan Erwin Sudjono sebagai alternatif calon Ketua Umum Partai Demokrat. Ia mengatakan hanya pernah mendengar, Yudhoyono ingin Erwin masuk ke bursa pencalonan sekretaris jenderal.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fachri Ali, mengatakan bahwa calon tengah belum tertutup sama sekali. ”Semuanya terbuka, namanya juga politik,” ujarnya. Menurut dia, calon tengah juga hal biasa dalam persaingan politik.
Meski begitu, ia menganggap kecil kemungkinan munculnya calon alternatif. Sebab, kompetisi dan persaingan Anas dan Andi belum terlalu sengit, sehingga perlu dimunculkan kandidat lain. Ia menduga, usul calon tengah yang muncul disebabkan Andi dan Anas belum mempresentasikan prototipe sosial dan politik Yudhoyono, yang berasal dari kalangan militer.
Padahal, Fachri menjelaskan, Partai Demokrat sangat bergantung pada Yudhoyono. Jika kemudian Yudhoyono menghendaki calon di luar Andi dan Anas, kongres akan selesai dengan penunjukan tokoh alternatif itu. ”Tapi saya yakin,” katanya, ”Partai Demokrat akan memberi kesempatan Andi dan Anas bersaing.
Cheta Nilawaty (Jakarta), Rohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo