Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Menjelaskan Nalar dengan Hati

Marwoto Hadi Soesastro dikenal sebagai ekonom, perunding, dan seorang pencinta seni. Kerap berseberangan pendapat dengan teknokrat Orde Baru.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang pada 2009, terdengar suara ketukan di pintu ruangan Christie Mahendra. Anggta staf publikasi dan dokumentasi Centre for Strategic and International Studies itu membuka pintu dan menemukan Marwoto Hadi Soesastro berdiri di depannya. Sembari tersenyum, salah satu pendiri lembaga tangki pemikir beken semasa Orde Baru itu menyorongkan satu tube vitamin C cepat larut. ”Saya kaget, kok bos mau mendatangi kami,” ujar Christie.

Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma punya kenangan mirip tentang seniornya itu. Berkat dorongan Hadi, Rizal memutuskan sekolah ke London School of Economics di Inggris. Setelah ia selesai kuliah dan kembali ke Indonesia, Hadi menampung Rizal yang belum punya rumah. ”Saya sempat tujuh bulan tinggal di rumahnya. Gratis,” katanya. Seperti Rizal, banyak intelektual muda lain merasa berutang budi kepada Hadi. Soalnya, dengan ringan tangan dia membuatkan rekomendasi agar mereka bisa memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri.

Selasa pekan lalu, bapak dua anak kelahiran Malang, Jawa Timur, 30 April 1945 itu wafat di usia 65 tahun. Sebelumnya, Jumat dua pekan lalu, sebuah misa diadakan di Gereja Santo Yohanes Penginjil, Jakarta, untuk mendoakan dia pada hari ulang tahunnya. Suami Janti Solihin ini menderita kanker prostat sejak 2006. Beberapa pekan terakhir kondisinya memburuk dan akhirnya mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Bagi Daoed Joesoef, koleganya sejak sekolah di Eropa, selain cerdas, Hadi adalah orang yang cepat kaki dan ringan tangan. Hadi bersekolah di Jerman, sedangkan Daoed di Prancis. Bila Daoed berkunjung ke Jerman, Hadi sering mengantarnya membeli rekaman musik klasik. Kebetulan keduanya memiliki hobi yang sama.

Pemilik nama lahir Tan Yueh Ming yang akrab disapa Mingkie itu juga dikenal punya jiwa seni yang tinggi. Dia sering ikut menata meja dan kursi untuk seminar yang diselenggarakan oleh CSIS. Tatkala Daoed menggelar pameran lukisan, Hadi membantu penataan lukisan sehingga enak dilihat. ”Jiwa seninya membuat Mingkie lengkap, tak cuma mengandalkan nalar sebagai intelektual,” ujar Daoed.

Hadi bersama Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Clara Joewono, dan Daoed Joesoef dikenal sebagai intelektual dan aktivis pendiri CSIS. Ikut mendukung mereka dua jenderal yang dekat dengan bekas presiden Soeharto: Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.

Manakala terjadi debat sengit atas sebuah isu, bekas penasihat ekonomi Presiden Abdurrahman Wahid itu mendengar, mencatat, dan menengahi mereka. ”Dia yang termuda, tapi bisa ngemong kami yang tua-tua,” ujar Daoed.

Istrinya mengenang Hadi sebagai pekerja keras yang sering sampai tertidur di meja kerjanya. ”Saya bahkan tak tahu kapan dia tidur, karena ketika saya tidur dia belum tidur. Saat saya bangun, dia sudah bangun.”

Albert, putra bungsunya, mengenang ayahnya sebagai orang yang penuh perhatian, baik semasa dia masih di Indonesia maupun ketika sudah melanjutkan sekolah di Australia. ”Meski sibuk, dia selalu bertanya kepada kami tentang sekolah dan berdiskusi,” ujarnya. Kesabarannya membuat dia menjadi orang tua favorit. ”Dia mendengarkan kami, tak pernah marah, bahkan kalau nilai kami jelek.”

Sebagai ekonom, Hadi mampu menjelaskan permasalahan ekonomi kepada siapa pun secara sistematis, terperinci, dan santun dengan gaya bicara yang halus. ”Seperti menarik rambut dari tepung. Rambut tidak putus, tepung tak berserak,” ujar Daoed.

Bersama rekan-rekannya di CSIS, Hadi mensosialisasikan ide Profesor Panglaykim—ayah Menteri Perdagangan Mari Pangestu—tentang Indonesia Incorporated. Gagasan itu berupaya menyatukan seluruh kekuatan ekonomi untuk membangun Indonesia dan menghadapi persaingan dengan negara lain.

Gagasan ekonomi Hadi kerap bertentangan dengan paham yang dianut teknokrat di era Soeharto seperti Widjojo Nitisastro, yang ingin membuat Indonesia bisa diakses pasar dengan bebas. ”Sejak awal pembangunan kita sudah salah kaprah, karena pembangunan cuma diartikan urusan ekonomi,” Daoed menambahkan.

Daoed menilai kelihaian Hadi lantaran dia digembleng dua disiplin ilmu: teknik penerbangan dan ekonomi. Meninggalkan dunia teknik penerbangan, Hadi melanjutkan studi ekonomi sampai bergelar doktor ke Rand Graduate Institute, Santa Monica, California, Amerika. ”Dia mampu menjelaskan nalar dengan hati,” ujar Daoed.

Dalam wawancara dengan Tempo pada 1980-an, Hadi sendiri dengan rendah hati berkata tentang banting setir studinya itu, ”Terjun ke bidang ekonomi adalah sebuah kecelakaan.”

Yophiandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus