Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Ahmad Kemal Idris wafat pada Rabu pagi, 28 Juli lalu dalam usia 84 tahun, kebanyakan orang hanya melihatnya sebagai pertanda berakhirnya generasi Angkatan 45 dalam TNI.
Kemal, begitu almarhum populer dikenal, memang tokoh penting dari angkatannya. Bahkan Kemal bisa dipandang sebagai prototipe generasinya di dalam militer. Ia memulai kegiatan militernya sebagai pemuda yang dilatih oleh Jepang jauh sebelum Indonesia merdeka. Keterampilan itulah yang mendorong Kemal memilih lapangan militer dalam mengabdikan dirinya untuk Indonesia yang baru merdeka.
Ia bertempur bertarung, istilah yang disukainya dari Tangerang hingga Madiun untuk akhirnya kembali lagi bergerilya di Jawa Barat pada akhir masa revolusi. Tapi Kemal kemudian lebih dikenal sebagai komandan berpangkat mayor yang mengarahkan laras meriamnya ke Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952.
Usaha Angkatan Darat dalam mendesak Presiden Soekarno hari itu untuk membubarkan parlemen gagal. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution kemudian diberhentikan. Kemal memang tidak kehilangan jabatan, tapi sejak itu ia ”dicatat” Soe karno sebagai musuh. Akibatnya, ka rier militer Kemal terhambat.
Pada Juni 1956 Kemal hampir terlibat lagi dalam gerakan menurunkan Nasution dari jabatan KSAD. Usaha yang tampaknya melibatkan Kolonel Zul kifli Lubis itu juga berakhir dengan kega galan. Nasib Kemal semakin buruk. Sebab, selain Soekarno, kini Nasution memusuhinya.
Nama Kemal muncul kembali ketika Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto menugasinya sebagai Panglima Komando Tempur Kostrad, yang bermarkas di sekitar Medan. Tugas Kemal adalah menyiapkan penyerbuan ke Malaysia.
Dalam kenyataannya Kemal lebih banyak melaksanakan perintah Soeharto mencari jalan damai penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia. Untuk tujuan itulah Kemal melakukan Operasi Khusus, yang lembaganya kemudian, pada masa Orde Baru, diguna kan Ali Moertopo untuk operasi politiknya menyingkirkan musuh-musuh Soeharto.
Kemal makin menonjol ketika di awal Orde Baru ditarik ke Jakarta mengambil alih kepemimpinan Kostrad yang ditinggal Soeharto untuk menduduki posisi Panglima Angkatan Darat yang diting galkan oleh almarhum Ahmad Yani yang dibantai oleh Gestapu/PKI. Pada saat itu Kemal menghadapi dua musuh lamanya: PKI yang diperanginya di Madiun dulu dan Soekarno yang selama bertahun-tahun mempersulit ka rier militernya.
Bekerja sama dengan Mayor Jenderal H.R. Dharsono, Panglima Siliwangi, dan Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD, Kemal pada masa itu dengan cepat bertransformasi menjadi kingmaker. Dia mendukung, bahkan mendesak Soeharto untuk secepatnya menjadi presiden menggantikan Soekar no.
Adalah Kemal yang merancang aksi tentara tanpa tanda pengenal pada 11 Maret 1966 untuk mengepung Istana ketika Soekarno sedang memimpin rapat kabinetnya. Aksi pasukan ”tak dikenal” itulah yang membuat Soekarno meninggalkan kabinetnya dan menyingkir ke Bogor. Pada malam harinya Soekarno mengeluarkan dokumen yang kemudian dikenal sebagai Super Semar.
Sebagai politikus yang canggih, Soeharto rupanya mengamati dengan saksama tingkah laku Kemal, yang tidak kenal kompromi sejak zaman revolusi hingga jatuhnya Soekarno. Dari pengamatan itulah tampaknya Soeharto sampai pada kesimpulan bahwa Kemal bisa membahayakan kekuasaannya. Maka Kemal harus secepatnya disingkirkan dari Jakarta.
Bersama Kemal, Dharsono dan Sarwo Edhie juga terlempar dari posisi strategis mereka yang telah mereka pergunakan untuk menaikkan Soeharto. Kemal dilempar ke Makassar sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan, Sarwo Edhie ke Medan sebagai Panglima Kodam, dan Dharsono ke Bangkok sebagai duta besar. Bagi Soeharto, tugas ketiganya sebagai kingmaker sudah selesai, dan karena itu harus secepatnya meninggalkan ” halaman istana”.
Dari Makassar, Kemal dilempar lebih jauh lagi. Sebagai duta besar selama beberapa tahun di Yugoslavia, dia menghabiskan banyak waktunya berburu di hutan-hutan sekitar Beograd bersama Joseph Broz Tito, Presiden Yugoslavia waktu itu.
Ketika kemudian balik ke Jakarta, dengan penuh harga diri Kemal menolak tawaran jabatan dan kesempatan bisnis yang datang dari Soeharto. ”Pak Harto sudah sibuk mengurusi negeri ini, biarlah saya mengurusi diri saya sendiri,” begitu kira-kira ucapan Kemal menolak tawaran Soeharto.
Setelah itu, Kemal dikenal sebagai ”jenderal sampah”, karena perusahaannya bergerak di bidang pengolahan sampah. Pilihan bisnis Kemal ini sangatlah simbolis. Setelah gagal membersihkan sampah masyarakat, almarhum akhirnya hanya sanggup berusaha membersihkan sampah kota.
Kisah Kemal tak berakhir pada sampah. Ketika dilihatnya Soeharto sudah menjadikan dirinya penafsir tunggal konstitusi dan Pancasila, bersama sejumlah senior, pada 1980 Kemal menjadi salah seorang penanda tangan Petisi 50 yang amat kritis terhadap Soeharto. Tentu saja sejak itu Soeharto memusuhinya dan, seperti biasa, mempersulit kegiatan bisnisnya.
Kini Kemal telah menghadap Tuhannya, dia tidak lagi ”mempersulit” dan dipersulit oleh siapa-siapa. Yang ditinggalkan oleh almarhum adalah cerita dari jalan hidupnya yang boleh jadi pelajaran bagi mereka yang punya hati nurani.
Salim Said (pengamat militer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo