Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kua Etnika identik dengan grup yang mengolah musik tradisi secara trengginas. Melodi nyeleneh selalu bertaburan di antara kalimat-kalimat lagu mereka. Ken dang, saron, bonang, ataupun rebab bertatapan langsung dengan instrumen modern. Riuh. Pentatonik dan diatonik melebur tak berbatas.
Rabu malam pekan lalu, kelompok musik kontemporer dari Yogyakarta itu kembali menyapa. Mereka menggelar konser di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Penikmat berdesakan ingin mendengar Kua Etnika ngamen.
Ya, seperti biasa, pentas mereka renyah. Gurih. Repertoar-repertoar me ngalir komunikatif. Melibatkan seluruh indra humor penonton yang dikemas dalam percakapan keseharian. Sangat dekat, hingga tak berjarak.
Nusa Swara menjadi tajuk konser mereka malam itu. Slogan mereka adalah Satu Bangsa, Satu Nusa, dan Satu Swara. Pertunjukan ini sekaligus bagian dari diluncurkannya album anyar mereka dengan judul sama. Tak semua komposisi album adalah karya baru. Sebagian besar adalah komposisi yang pernah mereka garap dan sudah dipentaskan. ”Komposisi yang terserak itu kami kumpulkan. Ada delapan nomor, lalu kami record secara live, supaya tidak hilang,” kata Djaduk.
Reog, misalnya, komposisi baru mereka yang digarap dengan konsep kenusantaraan. Djaduk, yang memainkan trompet tradisional, mengiringi dua penari reog. Mereka jumpalitan. Benturan warna gitar elektrik yang dimainkan Arie Senjayanto tak menimbulkan friksi. Trie Utami, vokalis Kua Etnika, dengan gaun pendek merah marun, menyahutnya dengan lengkingan berwarna Arabian.
Lain lagi dengan repertoar Sintren. Warna pesisir Jawanya begitu kental. Beberapa frasa berikutnya sudah berubah menjadi pola ritmik smooth jazz, sedikit atonal dengan berbagai elemen vokal etnik. Ii, begitu Trie Utami akrab disapa, mengubah warna dan karakter suaranya dengan cepat. Variasi kelokan pesisir yang cempreng namun masih patuh dengan harmoni, lalu sesaat kemudian berganti dengan corak begitu dalam. Malam itu, Ii menjadi sinden seka ligus ronggeng bagi Kua Etnika.
Boleh dibilang, perbedaan antarpemain adalah sebuah perayaan. ”Dalam perjalanan, kami ingin selalu berubah dan berbeda. Kita ingin berbaur dengan apa pun. Tidak satu selera,” ujar Djaduk. Tiap pemain menyumbang tafsir, lalu disatukan dalam tema utama repertoar itu.
Saat memainkan lagu Matahari, misalnya, Wahyudi diberi ruang untuk solo keyboard. Lalu bergantian dengan pemain bas Dhanny Eriawan Wibowo. Setelah bebas menafsir, mereka kembali pada tema lagu utama. Agaknya itu resep musikal Djaduk.
Sajian teatrikal tergelar saat membawakan Kembang Boreh, yang berarti kembang kematian. Repertoar itu ditampilkan dengan memadu corak India, Jawa, lalu diramu dengan bu nyi-bu nyian elektrik. Trie Utami harus masuk kurungan ayam yang ditutup kain putih untuk berganti rupa. Saat muncul, dengan sedikit malu, Trie Utami sudah memakai kacamata hitam yang dihiasi ronce melati di kanan-kirinya.
Lalu, dalam repertoar Cilik, semua per sonel memainkan instrumen etnik dalam ukuran kecil: kendang, bonang, saron, dan kecrek. Mereka mengeksplorasi vokal sembari memainkan instrumen masing-masing. Terciptalah dialog perkusif yang memunculkan guyon waton.
Memang, dibandingkan dengan album Kua Etnika sebelumnya, antara lain Nang-Ning-Nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara, dan Unen-Unen, corak album ini lebih kaya. Namun pergulatan Djaduk tetap tak bisa keluar dari eksotisme bunyi.
Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo