Lembaran partitur itu berserakan di atas sebuah meja. Dengan hanya mengenakan sarung, di pelosok Cilandak di selatan Jakarta, Tony Prabowo mencipta. Lembaran partitur itu sebetulnya tak penting betul karena Tony adalah komponis yang—menggunakan bahasa penyair Goenawan Mohamad—begitu brilian dan ”gila” karena mampu membuat komposisi dalam kepalanya saja.
Rumah tempat dia bernaung, yang terbuat dari kayu dan diisi dengan berbagai aksesori etnis, patung, lukisan, gendang, kecapi, dan serangkaian alat musik tiup itu, berbaur dengan ”simbol” modernisme. Seperangkat CD player yang tak pernah dimatikan, ”bahkan ketika saya tidur, karena saya harus men-dengarkan musik 24 jam penuh,” itu mengukuhkan satu hal: Tony Prabowo mengawini musik dengan penuh cinta. Dan itu pula yang menyebabkan musisi seperti Suka Hardjana—yang irit dengan pujian—mengakui bahwa Tony adalah ”satu-satunya komponis Indonesia yang paling serius saat ini”.
Lahir di Malang, 9 Juni 1956, Tony adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan R.M. Soetikno dan R.A. Satimin. Tony mengaku sudah mengenal musik sejak dia berusia tujuh tahun ketika sang ayah mendentingkan gitarnya.
Ia menempuh pendidikan di Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta tahun 1974-1975 dengan spesialisasi biola, lalu belajar komposisi di Institut Kesenian Jakarta-LPKJ. Tony belajar musik dari banyak tempat. Di Indonesia, salah seorang gurunya adalah Slamet Abdul Syukur. Pernah pada tahun 1980-an, untuk menghidupi diri, ia membuat musik jingle iklan (di antaranya iklan bubuk detergen Soklin). Karir internasionalnya berawal pada 1988 tatkala ia menggarap musik untuk pementasan Rendra, The Ritual of Solomon’s Children. Tom Andrews dan Karen Williams, sutradara Amerika yang menjadi penata lampu Rendra, mengajak Tony berkolaborasi. Tahun 1989, Blurred Vision dipentaskan New York’s Theater for the New City. Sebuah resensi New York Times memuji pementasan itu. Setelah itu, dengan Jarred Powel, komposer Amerika yang menguasai gamelan, ia menghasilkan Visible Religion yang dipentaskan tahun 1994 di berbagai kota di Amerika. ”Sejak saat itu saya berkeinginan membuat opera,” tutur Tony.
Gairahnya itu tertuang dalam opera berjudul The King’s Witch: A Variation on the Tale of Calon Arang, tempat Tony mencipta musik dan Goenawan Mohamad menggarap libretto. Opera yang sudah dipentaskan di AS itu rencananya akan diboyong ke Jakarta. ”Kami akan pentas di Graha Bakti Budaya sekitar Juli-Agustus 2002 nanti, ” kata Tony. Pentas yang akan memakan biaya sekitar US$ 60 ribu itu—setelah mengalami penghematan di sana-sini—menurut Tony bak penulisan sebuah novel, membutuhkan proses yang lama dan rumit. Itu seperti membuat novel, butuh proses lama. ”Untuk King’s Witch, saya butuh waktu tiga tahun menulis komposisinya. Padahal saat pentas di Lincoln Center itu cuma 30 menit,” katanya.
Boleh dibilang, Tony adalah satu dari sedikit komposer Indonesia yang karyanya kerap dimainkan orkestra asing seperti New Julliard Ensemble, dan bisa menembus panggung prestisius di Amerika. Kali: An Experimental Opera, komposisi operanya, disajikan di Lincoln Center, New York. Di saat gelombang para komponis kontemporer Cina, Jepang, bahkan Vietnam menggebrak New York, hanya Tony—sebagai ”wakil” Indonesia—yang menjadi bagian dari gelombang komposer muda Asia yang bergulat meraih pengakuan di sana. Acara mondar-mandir antara New York dan Cilandak sudah menjadi bagian rutin dalam setahun dalam hidupnya.
Tony mengaku paling puas ketika karyanya, Autumnal Steps, dimainkan New Julliard Ensemble di Lincoln Center dan Seattle, dan juga ketika Empty Tradition, sebuah kolaborasinya bersama Yin Mei, dipentaskan di festival Jacobs Pillow. Apalagi ketika sebuah komposisi Tony dimainkan di Tanglewood dengan konduktor masyhur Tan Dun yang memimpin.
Tony sadar, untuk menjadi warga kelas musik dunia dibutuhkan perjuangan amat keras. Dibandingkan dengan komposer Cina, Jepang, Korea, Vietnam, menurut Tony masih ketinggalan jauh. ”Kita masih belum apa-apa.”
Acara 2002? Ia tengah membuat komposisi untuk Kronos Kuartet, salah satu grup kuartet terkenal di dunia. Di Cilandak, di jalan-jalan, di dalam kepalanya yang diselimuti rambut yang panjang menggerai itu, otak dan hatinya bekerja dengan keras dan disiplin. Hidupnya diabdikan untuk mengutak-atik not balok guna melahirkan ”anak” dari hasil perkawinannya dengan musik.
Leila S. Chudori, Seno Joko Suyono, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini