Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cold Mountain
Sutradara: Anthony Minghella
Skenario: Anthony Minghella dan Charles Frazier
Pemain: Nicole Kidman, Jude Law, Renee Zellweger
Produksi: Miramax Film
DI kaki Gunung Ridge, Carolina Utara, kisah cinta antara Ada Monroe (Nicole Kidman) dan Inman (Jude Law) terlukis di antara selajur darah yang mengecat tumpukan salju. Sebuah kisah romantis di antara ledakan perang saudara di AS yang diangkat dari novel karya Charles Frazier yang kemudian menjadi sebuah bahasa gambar yang luar biasa.
Inilah sebuah kisah tentang sepasang kekasih (yang belum sempat mengenal satu sama lain) yang terpisah oleh perang saudara antara AS Utara dan Selatandan berusaha bersatu kembali setelah tiga tahun peperangan yang tak berkesudahan. Selama peperangan, Ada harus menghadapi kematian ayahnya, mengurus pertanian (sesuatu yang tidak biasa dilakukan, karena dia warga Utara, anak sekolahan yang mengisi kesehariannya dengan membaca sastra dan bermain piano), menghadapi teror kelompok Confederate Home Guard, yakni kelompok lelaki yang tidak ikut berperang dan berpretensi melindungi warga kampung, padahal mereka mengejar dan menangkapi para desersi dan warga kampung yang berani menyembunyikannya. Selama menanti itulah, Ada akhirnya menulis sepucuk surat yang mengatakan, "Jika kau sedang berperang, berhentilah. Jika kau sedang berbaris, berhentilah. Kembalilah kepadaku ."
Demi cintanya dan karena nuraninya terganggu atas "sebuah perang yang tidak saya yakini gunanya", Inman memutuskan pergi meninggalkan ladang pembantaian dan menempuh sebuah perjalanan Odyssey kembali, menuju Cold Mountain, tempat Ada menantinya.
Kisah penantian dan perjalanan pasangan kekasih yang terpisah inilah yang kemudian menjadi inti seluruh cerita. Kita menyaksikan sepasang kekasih yang hanya beberapa saat terlihat bersama, dan selebihnya kepada kita disajikan penderitaan Ada maupun Inman menghadapi perang dan segala akibatnya. Perjalanan ala Odyssey Inman yang bertemu dengan berbagai sosok dan karakter sepanjang jalan hampir merupakan sebuah dunia dongeng yang berbaur dengan kisah nyata. Dia bertemu dengan oportunisdiperankan oleh Giovanni Ribissiyang ternyata menjual dia kepada kelompok pemburu desersi. Inman bertemu dengan seorang pendeta yang menghamili seorang wanita kulit hitam dan berniat membunuhnya (daripada ketahuan oleh warga kampungnya). Dia juga bertemu dengan sekelompok perempuan yang begitu haus seks, tetapi kemudian dia bertemu dengan seorang perempuan tua yang mengobati luka-lukanya yang parah. Yang membuat Inman tampak menjadi Odyssey sejati adalah pertemuannya dengan seorang ibu muda, cantikdiperankan oleh Natalie Portmanyang nyaris diperkosa tentara Utara. Inman gemetar dan mengucapkan sebuah kalimat yang mengharukan, "Persoalannya, aku sangat mencintai seseorang ," katanya ketika sang ibu muda itu meminta dia membaringkan tubuhnya di sebelahnya. Mereka berdua berbaring, tapi tak pernah terjadi apa-apa. Masih adakah cinta sejati seperti ini dalam kehidupan nyata?
Seperti dalam film The English Patient dan The Talented Mr. Ripley, sutradara Minghella menerjemahkan kata-kata menjadi goresan lukisan di atas kanvas. Visualisasi yang sangat artistikdengan dukungan sinematografi John Sealehingga gambaran kekejaman bias menjadi sebuah puisi (berdarah). Gambaran ledakan bom yang menyebabkan langit berwarna jingga, atau pembunuhan terhadap keluarga Sally oleh kelompok begundal, yang darahnya tergurat di atas seprai putih, tentu tidak dimaksudkan untuk sebuah glorifikasi kekejaman. Namun Minghella memang seorang penyair dalam dunia sinema, sehingga segalanya selalu menjadi rapi, bersih, dan puitis, hingga penampilan Ada Monroe dengan keindahan rambutnya yang ikal dan kulitnya tanpa goresan apa pun tampak terlalu bersinar di antara ladang yang sedang digarapnya. Suasana muram film ini dibantu oleh kehadiran sosok Ruby Thewes (Renee Zellweger), seorang perempuan desa yang datang untuk membantu Ada menggarap ladang dan mengurus rumah. Dengan logatnya yang sangat kental dengan aksen Selatan dan bahasa tubuh yang serampangan, Renee menampilkan segumpal keberanianbahkan di antara penonton yang menahan napas ketegangan akibat teror kelompok begundal yang menyiksa penduduk dengan cara kejisehingga kita percaya bahwa pasti ada keadilan di antara ketidakadilan dunia. Terkadang penampilan yang agak penuh "lemak" alias berlebihan, tetapi dia menjadi bersinar, karena seluruh film ini sungguh kelabu.
Film diakhiri dengan sebuah ironi. Selajur darah di atas salju, yang memperlihatkan insting Ada yang tepat tentang nasib kekasihnya. Mungkin karena cinta sejati memang sungguh langka, maka setiap novel atau film yang baik akan selalu "membunuh"-nya. Dalam hidup nyata, cintadalam keadaan perang maupun damaitak akan pernah bisa sejati, karena dunia terlalu penuh dengan anggur dan pedang. Dan manusia terlalu lemah untuk bisa berperang melawannya segagah Inman memerangi musuh dan "musuh" dalam hidupnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo