Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Sihir Tak Kunjung Padam

Kelompok musik Toto berpentas di Jakarta, pekan lalu—dengan memamerkan skill yang nyaris tanpa cacat.

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jeda panjang itu—delapan tahun, tepatnya—terbayar sudah. Di ruang pertunjukan Tenis Indoor Senayan, ribuan penonton "menuai bayaran" atas kesabaran mereka menantikan Toto, sebuah kelompok musik pop rock asal Amerika dengan hampir tiga dekade sejarah. Berbeda dengan dua kunjungan terdahulu, kali ini Toto tampil dalam formasi lengkap. Bobby Kimball, pujaan penonton yang disebut-sebut sebagai penyanyi terbaik yang pernah dimiliki Toto, ikut menggoyang panggung.

Sadar bahwa si Bobby adalah "jantung-hati" penonton, juru bicara merangkap gitaris Toto, Steve Lukhater, menjerit dari atas panggung: "Hadirin sekalian: Bobby Kimball. Inilah penampilan pertamanya di Jakarta." Tempik-sorak pun meledak di tepi arena. Karisma Kimball terlihat dari jumlah penonton. Pentas terakhir Toto pada 1996 di Jakarta Hilton Convention Center hanya memikat 3000-an penonton.

Kini, 5.000 lebih penonton menyambut permainan mereka. Di antaranya, Yovie Widianto, Glenn, personel Sheila On 7 serta Dewa. Bagi penikmat musik era 1980-an, sosok Bobby Kimball punya arti khusus. Dialah pemilik suara melengking yang ikut melejitkan nama Toto ke seantero dunia lewat hit klasik Rosanna, Africa, atau Hold the Line. Mengundurkan diri pada 1982, Bobby kembali bergabung pada 1999 dan band tersebut merilis Mindfields. Sekarang, formasi komplet itu tegak di hadapan penonton kita: David Paich (keyboard, vokal), Michael Porcaro (bas), Simon Phillips (drum), Steve Lukather (gitar, vokal), Bobby Kimball (vokal), serta additional pemain Tony Spinner (gitar).

Kehadiran Toto kali ini atas undangan promotor Original Production. Jakarta menjadi kota pertama dari rangkaian paket berjudul 25th Anniversary World Tour 2004. Selama hampir dua jam tersebut, penonton diajak menelusuri perjalanan panjang band yang menjadikan musik rock sebagai dasar lagu-lagu pop mereka itu. Materi yang dibesut mulai album Hydra (1979) sampai Mindfields (1999). Harus diakui, Steve Lukather amat piawai menghidupkan suasana lewat celetukan-celetukan lucu.

Pertunjukan dibuka pada pukul 20.30 WIB dengan nomor instrumental Child's Anthem yang dibuat medley dengan Goodbye Elenore dan beberapa nomor klasik lain. Penonton mulai berdengung ketika I'll Be Over You, hit balada yang amat terkenal di sini, berkumandang melalui suara berat Lukather. Dukungan tata lampu mampu memberi aksen pada setiap lagu dan menjadi elemen pertunjukan yang menarik dan impresif.

Tatkala Toto membawakan nomor Africa dari album Toto IV (1982), yang pernah menyabet Grammy Awards, warna lampu yang merah-ungu menjilat-jilat permukaan panggung seperti ikut membangun suasana ritual. Simon Phillips memainkan tongkat dengan konstan pada snare drum, memandu lengkingan suara Bobby Kimball dan suara rendah David Paich agar dapat disimak dengan harmonis. Dan penonton seakan tersihir. Kualitas kerja sama seperti ini hanya bisa dicapai melalui jam terbang yang tinggi.

Sebagai kumpulan musisi yang berangkat dari studio rekaman, mereka memang sudah khatam akan segala permasalahan teknis maupun musikal. Hasilnya? Tata suara yang jernih serta visualisasi yang memikat. Pendek kata, Toto pol-polan memanjakan penonton pada malam itu. Tiap personel tampil dengan atraksi solo. Bukan cuma David, Steve, atau Bobby Kimball yang bergantian menyanyi. Tonny Spinner pun diberi kesempatan melantunkan Stop Loving You. Intro keyboard dari David Paich pada lagu ini langsung membuat penonton terlonjak kegirangan.

Klimaks pertunjukan terjadi ketika dua karya legendaris mereka, Rosanna dan Hold the Line, meluncur dengan koordinasi permainan yang amat rapi. Semburan suara dari tumpukan speaker segera saja tenggelam oleh teriakan gegap-gempita. Tubuh Bobby Kimball meliuk-liuk mengimbangi sayatan Steve Lukather pada dawai gitar, sementara dari balik set drum Simon Phillips terlihat habis-habisan menghajar perangkatnya. Maka, penonton seperti tak rela ketika Toto memungkas penampilannya dengan Home of the Brave. Tapi "pameran" harmoni yang bertiket VIP Rp 300 ribu, kelas 1 Rp 225 ribu, dan festival Rp 175 ribu itu benar-benar telah berakhir.

Dibentuk pada 1977, Toto sebenarnya tidak disiapkan untuk konsumsi panggung. Personelnya ketika itu, Bobby Kimball, Steve Lukather, David Hungate (keyboard), Steve Porcaro (keyboard), serta Jeff Porcaro (drum), adalah sekumpulan musisi studio yang banyak mengisi album artis dari berbagai genre musik, mulai Elton John, Bruce Springsteen, Miles Davis, Michael Jackson, Paul McCartney, atau Eric Clapton. Nama Toto sendiri diambil dari karakter anjing milik Dorothy dalam kisah The Wizard of Oz.

Tapi, selepas peluncuran beberapa album, para personel Toto "dipaksa" keluar dari bilik studio dan merambah berbagai belahan dunia untuk menemui penggemarnya langsung. Steve Lukather menjadi juru bicara, jembatan penghubung Toto dengan dunia luar, termasuk media massa.

Setelah Bobby Kimball mengundurkan diri, Toto merekrut beberapa penyanyi muda dengan harapan dapat menjembatani kesenjangan usia mereka dengan konsumen baru. Antara lain, Fergie Fredericksen (album Isolation, 1984), Joseph Williams (album Fahrenheit, 1986, dan The Seventh One, 1988), dan Jean-Michel Byron (album Past to Present, 1990).

Urusan cuap-cuap ini akhirnya ditangani bersama antara Steve Lukather dan David Paich, yang memang memiliki kualitas vokal di atas rata-rata. Lalu, Bobby Kimball pun bergabung kembali. Kini, sedikitnya lebih dari 30 juta album Toto beredar di seluruh dunia.

Musibah menimpa Toto ketika personel mereka, Jeff Porcaro—juga dikenal sebagai satu drummer terbaik dunia—tewas keracunan insektisida. Album Kingdom of Desire (1992) adalah karya terakhir musisi itu yang memiliki variasi pukulan yang amat kaya. Kematian Jeff hampir membuat formasi Toto berantakan. Beruntung, akhirnya mereka mendapatkan pengganti yang kemampuan musikalnya sejajar: Simon Phillips.

Seperti halnya personel Toto lain, Simon Phillips adalah musisi studio yang telah membantu sejumlah besar artis papan atas. Termasuk grup Asia dan beberapa album solo Jon Anderson (vokalis Yes). Lahir di London pada 6 Februari 1957, Simon Phillips sudah mengenal perangkat drum sejak usia tiga tahun. "Dari kecil, saya bercita-cita jadi pemusik rocker," begitu dia pernah berujar.

Dan Simon Phillips adalah pilihan yang jitu. Malam itu, sang drummer membuktikan bahwa permainannya yang berkelas di hadapan penonton Jakarta telah turut memberikan roh dalam karier musik Toto.

Denny M.R., pengamat musik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus