Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UMURNYA 70 tahun. Ia masih energetik. Badannya ramping, geraknya luwes, ekspresif. Di panggung, tanpa satu patah kata pun, ia berganti-ganti menirukan penari balet, penggesek biola, pencabik harpa, dan penari kabuki. Ia mungkin memiliki puluhan atau bahkan ratusan karya. Inspirasinya datang dari kitab suci, Noh, opera-opera dan drama Eropa terkenal, kisah-kisah comedia de l’arte, mitologi. Dia tak berhenti mencipta. Dan malam itu ia menghidangkan nomor-nomor solo lama dan baru.
Semua disajikan dengan satu spirit: jenaka tapi bukan slapstick, penuh humor tapi bukan model konyol-konyolan. Dengan mimik yang lucu, ia bergerak dari sesuatu yang realis hingga yang abstrak. Ia menirukan banyak ekspresi dan situasi. Cara membawakannya khas, geraknya indah. Tatkala jarinya seperti memilin-milin atau menabur-naburkan benih, telapak tangannya sering digerakkan melengkung. Tampak ia memiliki dasar gerak dari balet.
Milan Sladek, salah satu maestro pantomim dunia. Pantomimer ini ditunggu-tunggu kedatangannya oleh banyak orang. Dua puluhan tahun silam ia pernah datang ke sini. Sladek datang pada 1981 atas undangan Goethe Institut dalam rangka memberikan workshop di negara-negara Asia Tenggara. Ia memberikan serangkaian pelatihan di Jakarta dan Yogya. Banyak teaterwan kita yang saat itu terkesan olehnya. Kedatangannya membekas.
Beberapa penonton yang puluhan tahun lalu pernah menyaksikan pertunjukannya melihat pementasan Sladek malam itu tak kalah dibanding saat ia muda. Gerakannya tetap clear, sederhana, minimalis, tapi puitis. Tubuhnya memaksimalkan setiap gerak. Subarkah, komedian, pengajar Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, misalnya, pernah menyaksikan nomor Bunga Matahari pada 1980-an. Ini cerita tentang seseorang dengan taburan kuaci.
”Ketika Sladek berpura-pura makan kuaci, lalu tiba-tiba seolah ada pesawat jatuh, gerakannya tetap sekuat dulu,” kata Barkah. Menurut Barkah, Sladek pandai sekali membuat penonton tetap segar terjaga perhatiannya. Kerap tema ceritanya sedih, tapi untuk menjaga mood penonton, dia selalu kembali ke hal yang jenaka.
Betul. Lihatlah bagaimana Sladek memainkan My Favourite Ballet. Di tengah alunan Swan Lake, ia menirukan ekspresi musisi orkestra. Saat ia menggesek biola, mendadak ia menjilat senar. Penonton tersenyum. Atau nikmati Leda and the Swan, salah satu karya barunya yang diambil dari mitologi Yunani. Leda and the Swan sesungguhnya kisah yang erotis. Zeus sang raja menyukai Leda, tapi ditolak karena Leda sudah bersuamikan Tyndareus, raja Sparta. Lalu Zeus datang lagi dalam bentuk angsa dan mencumbu Leda.
Sladek secara lucu mulanya membawakan adegan orang berciuman. Tangannya sendiri merangkul punggungnya, seolah ada seseorang yang memeluk hangat. Persetubuhan Leda dan angsa itu diekspresikannya dengan menirukan kepakan sayap angsa yang semakin lama semakin kencang. Dan penonton pun tertawa.
”Di kepala saya ada gambar, ada emosi, ada rasa yang mesti keluar, menjadi jiwa,” katanya kepada Tempo, pagi seusai pertunjukan. Pantomim baginya adalah dasar dari seni berperan. Gerak-gerik yang dimunculkan dalam pantomim menurut dia tidak sebanyak gerak seorang aktor atau penari. Cukup sedikit, tapi dapat menyampaikan pesan yang kuat. Sladek mengatakan banyak tema pantomimnya berangkat dari kisah-kisah Eropa, tapi ia berusaha membuatnya bisa diterima di mana-mana.
Ia pun bercerita tentang riwayat perjalanannya. Akhir 1950-an, ia mendirikan grup pantomim di Bratislava. Pada 1968, ia menjadi Direktur Teater Studio di Bratislava, tapi hanya sampai Agustus, karena tentara Rusia menyerbu Bratislava. Ia lalu eksil ke Swedia selama dua tahun, kemudian hijrah ke Koln, Jerman. Koln menjadi kota keduanya. Di situlah, pada 1974, ia mendirikan teater pantomim Kefka. Kelompok ini disebut-sebut masa itu sebagai satu-satunya kelompok teater permanen di Eropa.
Lena Simanjuntak, dramawan yang bermukim di Jerman, ingat bagaimana 20 tahun lalu ia pernah belajar pada Milan Sladek di Koln. Saat itu Sladek tengah antusias melakukan eksperimen pantomim. Ia meninggalkan seni pantomim klasik yang hanya bermodalkan wajah putih, pakaian sederhana putih atau hitam polos, dan tanpa properti.
Lena ingat, suatu kali, Sladek pernah meminta muridnya melakukan gerakan orang dalam kendaraan. Lena pun berpura-pura seperti orang yang sedang naik bus. Sebelah tangannya seolah bergantung di tali pegangan, tubuhnya bergoyang pelan, pandangannya nanar mengantuk, sambil sesekali terguncang-guncang.
Sladek pun bertanya, ”Sedang apa kau?” Lena menjawab, naik bus. Sladek bertanya lagi: naik bus di mana? Lena bingung. Ya, bus di Koln, jawab Lena. Sladek menangkis. ”Pasti itu bus di Jakarta karena bus di sini tak ada guncangan, jalannya mulus.” Dengan kata lain, menurut Lena, berguru bersama Sladek berarti mengikuti gerakan yang benar, jelas, dapat dianalisis secara logis, dapat dipahami. ”Jadi mesti clear, tapi dibarengi oleh rasa,” katanya.
Mereka yang di sini pernah berguru pada Sladek barang sebentar juga mengingat ”rasionalitas” Sladek ini. Jujuk Prabowo, sutradara Teater Gandrik, ingat bagaimana Sladek mengajarkan bahwa suatu ide harus dipikir dulu, tidak boleh tergesa-gesa digarap. Setelah ide matang, barulah saatnya memikirkan teknik dan menyiapkan fisik. Menurut Jujuk, Sladek menasihati agar tidak mudah menyerah kalau pencarian belum ketemu. ”Latihan demikian di Yogyakarta saat itu masih langka,” kata Jujuk.
Jujuk—yang memiliki latar belakang penari klasik—juga ingat bagaimana Sladek tertarik pada tari Indonesia. Kepada Tempo, siang itu, Sladek menilai kultur Indonesia sungguh sangat menghargai pergerakan tubuh. Menurut Sladek, tari Bali, topeng Bali, dan wayang orang ”sangat pantomim”.
Kedatangan Sladek pada 1980-an juga mengubah riwayat hidup Jemek Supardi—yang kini dikenal sebagai pantomimer andal. Waktu itu, Sladek mengadakan workshop di Senisono, Yogyakarta. Pesertanya kebanyakan awak Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Jemek ikut. ”Saya waktu itu belum apa-apa. Belum juga memutuskan mau jadi apa,” kenang Jemek. Saat itu Sladek mengajarkan dasar-dasar pantomim. ”Sladek mementaskan koboi. Sladek sebagai pemimpinnya. Kami mengikuti gerak dia, menunggang kuda,” ujar Jemek. Perjumpaan singkat dengan Sladek itu membuat Jemek memutuskan menekuni pantomim hingga kini.
Pemberontakan Sladek terhadap pantomim klasik tidak hanya dari segi akting. Lena mengatakan Sladek banyak bereksperimen dengan obyek pembantu, kostum, aksesori, tata lampu, tata panggung, dan lainnya. Sladek sendiri sesungguhnya jebolan sekolah seni rupa Bratislava urusan kriya kayu. ”Saat main ke rumahnya di Koln, Jerman, saya melihat banyak topeng, kostum pertunjukan, yang ia desain sendiri,” kata Subarkah.
Dalam tata panggung, sesungguhnya Sladek terkenal karena sering menciptakan efek ”tipuan” cahaya. Sladek menyebutnya teater hitam, karena untuk permainan cahaya ini panggung seluruhnya harus berkain hitam. Subarkah pernah belajar tentang teater hitam ini. ”Dengan menggunakan tipuan sinar ultraviolet dan permainan cahaya fluorescent, yang diserap kain hitam, Sladek bisa menampilkan sosok ikan terbang atau burung yang lahir dari telur.”
Sebenarnya, pertunjukan pantomim dengan penuh ”keajaiban” panggung demikian menarik dipentaskan di sini, di Salihara dan Goethe. Tapi Sladek hanya memainkan nomor-nomor sederhana. Ia tampil bersama Milan Taro, putranya, 24 tahun. Taro sejak berusia 8 tahun, sedikit-sedikit, diajak tampil berdua oleh Sladek.
”Dulu ia menganggapnya hanya sebagai lucu-lucuan, selalu mencari-cari cara membuat orang tertawa. Tapi saya ajarkan, lihat Chaplin. Pada saat bercanda, ia akan bercanda. Namun, dalam hal lain, ia sangat serius,” katanya. Dan sang anak pun menurut. Kini ia selalu mempelajari gerakan detail pantomim.
Taro adalah hasil perkawinan Sladek dengan seorang perempuan Jepang. Malam itu, di Salihara, Sladek menampilkan satu nomor yang diinspirasi tarian kabuki dan sandiwara boneka tradisional bunraku. Ia mengenakan kimono dan gelung ala lakon-lakon kabuki. Judulnya Cho-cho San.
Lakon ini sebetulnya parodi atas lakon Madame Butterfly—opera karya Giacomo Puccini. Diperankan Sladek, ”sang Madame” menjadi tragedi perempuan Jepang yang ditinggal pergi suaminya, pelaut Amerika. Dengan gerak tubuh dan keluwesannya berperan sebagai perempuan, Sladek memutar balik drama yang mestinya mengundang derai air mata menjadi suatu dagelan yang menggelikan.
Penonton tertawa riuh saat Sladek menggunakan ikon bendera Amerika dan membawa foto seorang perwira militer laut Amerika. Juga ketika dengan pisau Sladek menikam dirinya tapi tak mati-mati. ”Reaksi penonton sungguh mengejutkan. Saya tak menyangka Cho-cho San ini bisa menyenangkan orang. Tapi ini mungkin karena ada faktor aktualitasnya, ya,” katanya merendah.
Tujuh puluh tahun sudah usianya. Tapi ia tak undur. Fisiknya seperti tak mengenal lelah. Ia terus mencari ide-ide baru. Bagai trubadur, ia tetap berkelana ke pojok-pojok dunia untuk menggelitik penonton. Ia menyerahkan hidupnya untuk pantomim.
Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo (Jakarta), Lucia Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo