Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI cerita Tantri Kamandaka,” kata Ida Bagus Gede Subali Jelantik Manuaba. Mahasiswa Universitas Hindu Indonesia itu memamerkan lontar buatannya kepada Tempo. Dan kita melihat bukan lontar biasa yang penuh berisi aksara Bali kuno, tapi juga gambar binatang: bangau, kerbau, burung. Seperti fabel, hewan digambarkan tengah bercakap-cakap.
Inilah terobosan yang dilakukan anak muda itu, hingga ia meraih Indonesia Berprestasi Award, penghargaan yang disponsori oleh perusahaan telekomunikasi.
Subali mengangkat riwayat yang ada dalam kakawin lontar kuno ke dalam gambar sehari-hari. Dan memang menarik. Anak muda ini menyusunnya dalam bentuk komik strip. Meski tanpa gelembung percakapan, gambar itu mudah dipahami. Goresan pisau pangrupak pengukir daunnya terasa lugas dan tajam.
Di tangannya, lontar yang sakral menjadi ”berdimensi pop”. Ilmu mengukir lontar diperoleh Subali Jelantik dari sang ayah, Ida Bagus Gede Jelantik Manuaba, dosen bahasa dan sastra daerah Bali di Universitas Hindu Indonesia. Sang ayah memang mengajari semua anaknya menulis di lontar.
Subali anak nomor dua. Bersama kakaknya Yudha dan adiknya Apsari, sedari kecil mereka telah dilatih oleh ayahnya menyalin lontar-lontar tua milik keluarga. Meskipun pelajaran aksara kuno Bali diberikan di sekolah dasar, pendidikan langsung di keluarga membuat Subali amat jatuh cinta pada lontar kuno.
Keluarga Subali keturunan Brahmana—yang memperlakukan lontar sebagai benda keramat. Daun lontar kuno mengajarkan berbagai rahasia yang ada di bumi, dari sastra, obat-obatan, hukum, arsitektur, silsilah keluarga, hingga pangiwa alias ilmu kiri. Dibutuhkan jiwa yang matang dan bijak untuk bisa mempelajari dan menguasai ilmu yang terkandung. Sang ayah sesekali mengajak Subali bersama adik dan kakaknya berkunjung ke Gedong Kirtya, museum penyimpanan lontar kuno di Buleleng, untuk melihat koleksi lontar kuno lainnya.
Subali masih percaya, lontar menyimpan kekuatan yang misterius. Bila orang menyucikan diri dan merapal aksara-aksara di lontar tertentu, ia bisa memunculkan kekuatan tertentu. ”Bisa untuk mencelakai orang, membuat gila orang, bisa berjalan di atas air, bisa membuat hujan, berdasarkan kalimat di kitab-kitab ini,” kata Subali.
Sebelum siap dipakai, daun lontar perlu diproses satu tahun. Makanya harganya mahal dan sulit pula diperoleh. Jelantik biasa membelinya di Karang Asem setahun sekali, setiap September. Harganya sesuai dengan ukuran. Yang 30 sentimeter dihargai Rp 3.000, 40 sentimeter Rp 4.000, dan 50 sentimeter Rp 5.000 per lembar. ”Belinya antre, seperti beli es. Itu pun kalau tidak dijadikan makanan sapi. Biasanya diborong orang Belanda,” katanya.
Karena daun lontar yang asli makin langka, Subali bereksperimen membuat tiruan daun lontar. Untuk kertasnya, ia gunakan dua lapis fancy paper warna matte—sering disebut dengan istilah dof—dan disemprot pylox warna clear setelah itu. Hasilnya lumayan.
Banyak kisah yang diketahuinya akan dijadikan komik. Meski demikian, ia berkonsultasi dengan ayahnya untuk memilih-milih cerita mana yang bisa diekspresikan dalam bentuk gambar. Tidak sembarang kisah tentunya. Sekarang ia mencoba menjajal Babad Catur Brahmana untuk dikomikkan. Babad mesti dibaca, dari aksara Bali, ditranslasi ke Latin, dipahami, disadur intinya, baru kemudian digambar.
Kurie Suditomo, Rofiqi Hasan (Badung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo