Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Januari 2009. Di atas kereta api Cirebon Ekspres, Adrian B. Lapian menyanyikan lagu Sentimental Journey. Sudah berulang dua kali, sebelum dia berkata, "Saya ingin ke Tegal, mencari rumah kelahiran."
Saat itu, ia yang digelari "Nakhoda Sejarawan Maritim Asia Tenggara" ini segera akan 80 tahun. Sebaris kata di lagu sohor Doris Day itu menjelaskan tujuannya, "to renew old memories". Adrie, begitu ia akrab disapa, lahir di Tegal, 1 September 1929. Di kota itu, ia cuma numpang lahir, karena ayahnya, B.W. Lapian, segera setelah kelahirannya memutuskan kembali ke kampung halaman di Tomohon, ingin mengikuti pemilihan anggota Minahasaraad.
Sejak itu, Adrie tak pernah lagi ke Tegal. Dan sebelum ia tutup usia, dua hal yang hendak dilakukannya. "Melihat negeri-negeri di Eropa Timur, tapi sulit karena badan yang tua. Lantas menemukan tanah kelahiran, di mana ari-ari saya ditanam," katanya. Ia tak ragu meski hanya berbekal foto kusam tahun 1929, gambar ia digendong ayahnya, bertulisan "Kraton West No. 3".
Adrie memiliki sebuah rumah di gunung, di Tomohon, dan sebuah rumah lagi di tanah warisan di tepi Laut Amurang. Kedua rumah itu sebenarnya perpustakaan koleksi Adrie yang sangat luas tentang sejarah maritim dan kawasan Asia Tenggara yang ditekuninya sejak 1963, saat bergabung di Seksi Sejarah Angkatan Laut dan ÂMaritim Markas Besar Angkatan Laut. Koleksinya berkembang seiring ia membina jaringan dengan para sejarawan kawasan Asia Tenggara untuk merintis studi sejarah maritim, tidak hanya di Indonesia, tapi di wilayah Asia Tenggara.
Sebagai sejarawan, Adrie muncul saat naik kritik J.C. van Leur agar "jangan hanya melihat sejarah dari geladak kapal". Tapi baginya, "Sejarah memang harus dilihat dari geladak kapal, tapi jangan kapal VOC atau Belanda, melainkan harus kapal Indonesia." Konsekuensinya, Adrie merasa memerlukan pengetahuan budaya lokal serta penguasaan berbagai sumber berbahasa lokal dan asing.
Bakat poliglot memudahkan Adrie menurunkan pemikiran itu dalam artikel sejarah pertamanya pada 1964, tentang Pangeran Nuku dan jalan perdagangan maritim ke Maluku abad ke-16, yang dikembangkan jadi skripsi. Tulisannya mengoreksi citra "kemerosotan" pelayaran laut pribumi abad ke-18 dan ke-19. Sesuatu yang kelak dikembangkan sebagai pokok disertasinya pada 1987: "Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX".
Berkat magnum opus itu, Adrie membuka lembaran baru penulisan sejarah Indonesia. Ia mengingatkan agar hati-hati mengkriminalkan bajak laut dalam sejarah Indonesia. Ia melakukan perimbangan terhadap Sartono Kartodirdjo bahwa people without history itu tak hanya di darat, tapi juga di laut. Tak kalah penting diungkapkan betapa durhaka bangsa Indonesia yang menyebut diri sebagai "tanah air" tapi orientasi dan aspirasi nasionalnya lebih mementingkan darat, padahal sesungguhnya lebih dari separuh wilayahnya laut.
"Warisan kerajaan konsentris yang mementingkan pusat yang di pedalaman masih hidup dalam sikap dan orientasi pemerintah kini," ujarnya. Kendati sudah ada Deklarasi Djuanda dan Wawasan Nusantara, tiada perubahan fundamental bahwa Indonesia seharusnya berasas negara kepulauan. Jadi sektor maritim harus diprioritaskan dalam pembangunan integral.
"Ilmu sejarah tak sekadar suatu latihan akademis yang eksotik," katanya pagi itu di Pelabuhan Tegal. Sejarawan memainkan peran utama dalam menjaga episodic memory yang penting bagi pembinaan kewarasan berbangsa. Adrie seumpama peluit kapal: santer mengingatkan ihwal kebaharian sebagai pelabuhan asal Indonesia. Pelupaan lautan membuat Indonesia jadi bangsa "ketinggalan kapal dan kehilangan haluan".
"Pemikir, perencana, dan pelaksana pembangunan kurang kesadaran dimensi waktu atau pengetahuan masa lampau," kata Adrie saat mobil sudah jauh dari pelabuhan dan mendekat ke Jalan Kapten Ismail, yang dulu Jalan Kraton West. Sepanjang jalan, tiada tanda-tanda rumah yang sesuai dengan foto tahun 1929. Lewat sejam berjalan sambil bertanya, Adrie berdiri di depan sebuah ruko. "Saya rasa ini, sudah, saya sudah sampai," katanya.
Tayang wéta’ un lalan, perjalanannya sungguh jauh. Tapi sampai juga, lalu ia pulang dengan gembira seperti mendapat pahala, sebelum akhirnya malam 19 Juli lalu memulai lagi sebuah perjalanan, a sentimental journey home.
J.J. Rizal (Sejarawan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo