Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown>RUU Keamanan Nasional</font><br />Mesin Lama Desain Baru

DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Definisi pasal-pasalnya tidak begitu ketat dan jelas. Ditakutkan menjadi "pasal karet".

25 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika tak ada aral menghadang, Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional akan mulai dibahas Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dua pekan lagi. Panitia khusus untuk itu sudah dibentuk setelah DPR menerima rancangannya dari pemerintah pertengahan bulan lalu.

Kini Komisi sedang mengumpulkan masukan dan pendapat publik dari para akademisi serta pegiat lembaga-lembaga hak asasi. "Rancangan ini akan menjadi landasan undang-undang yang sudah atau masih digodok untuk mengatur keamanan secara nasional," kata Effendy Choirie, anggota Komisi Pertahanan DPR, pekan lalu.

Yang dimaksudkan politikus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu adalah Undang-Undang Pertahanan, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Kepolisian, dan Rancangan Undang-Undang Intelijen. Beleid terakhir ini masih alot dibahas di DPR karena tak henti menuai pro dan kontra, terutama dalam pembahasan usul pemerintah soal kewenangan intelijen menangkap terduga kejahatan.

Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional juga kontroversial. Sebelum resmi diajukan ke DPR, rancangan itu bahkan harus dirombak dan berganti nama hingga dua kali. Pembahasan awal dimulai pada 2005. Effendy Choirie pernah diundang Kementerian Pertahanan untuk memberi masukan. Waktu itu namanya Rancangan Undang-Undang Keamanan Negara.

Beleid itu hanya mengatur koordinasi antarlembaga keamanan. Selama ini polisi, tentara, jaksa, dan intelijen memiliki peran sendiri-sendiri sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Rancangan itu disusun untuk mengatur fungsi-fungsi lembaga tersebut. "Latar belakangnya penanggulangan radikalisme, yang selama ini belum diatur," kata Choirie.

Tapi pengaturan seperti itu dinilai terlalu sempit. Maka, pada 2007, rancangan itu berubah menjadi RUU Keamanan Nasional. Paradigma keamanan juga berubah cukup drastis. Sementara sebelumnya pengertian ancaman hanya didefinisikan sebagai ancaman fisik terhadap negara, pada rancangan baru pengertian ancaman diperluas.

Kemiskinan, kebodohan, perusakan lingkungan hidup, dan penyakit juga masuk kategori ancaman. Hak asasi dan demokrasi menjadi landasannya. Karena itu, ancaman juga menyangkut keamanan secara individual.

Menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim, perluasan itu mengadopsi isu keamanan nasional di dunia internasional. "Ancaman tak lagi sekadar spionase dan sabotase," katanya. Perdagangan manusia, peredaran ilegal narkotik, krisis ekonomi, bahkan persaingan usaha tak sehat sudah dikategorikan ancaman terhadap sebuah negara.

Tapi Ifdhal menyayangkan, pada rancangan dengan pengertian modern ini, eksekusi teknis dalam pasal-pasalnya masih memakai pendekatan militer. Ia menilai rancangan ini memberi ruang terlalu luas kepada aparatur negara. "Kelihatan sekali aktor-aktor keamanan diberi peran sangat eksklusif dan powerful," katanya.

Pasal 20, misalnya, memberi kewenangan kepada pelaku keamanan nasional untuk menyadap dan menangkap para pengancam keamanan. Siapa pelaku keamanan? Semua lembaga yang berwenang dalam pengamanan, hukum, dan pertahanan: tentara, polisi, intelijen, jaksa, lembaga penanggulangan terorisme, badan antinarkotik, penanggulangan bencana, dan lembaga lain yang berhubungan dengan itu.

Seharusnya, kata Ifdhal, dengan cakupan yang diperluas ini, peran keamanan juga melibatkan lembaga-lembaga masyarakat. Lembaga nonpemerintah yang mengadvokasi masyarakat tapi tak masuk aktor pengamanan nasional jadi seolah berhadapan dengan kekuasaan.

Padahal lembaga advokasi ini berperan menjaga keamanan nasional karena kejahatan-kejahatan yang diadvokasi sudah masuk kategori ancaman. Misalnya lembaga perlindungan korban perdagangan manusia.

Adanya pihak luar yang terlibat di Dewan Keamanan Nasional juga menghindarkan lembaga ini menjadi represif. "Tanpa kontrol, bisa jadi dewan ini seperti Komando Pemulihan Ketertiban dan Keamanan di zaman Orde Baru yang represif," katanya.

Tapi Imparsial, lembaga swadaya pemantau hak asasi, justru lebih setuju aturan Keamanan Nasional tak terlalu luas cakupannya. Al-Araf, Direktur Program Imparsial, sebelumnya berharap beleid ini mengatur koordinasi aktor-aktor keamanan saja. Soalnya, peran mereka sudah diatur secara spesifik dalam undang-undang tiap lembaga. "Tapi soal koordinasi ini malah tak diatur," katanya.

Araf menilai RUU Keamanan Nasional cenderung memberi ruang kepada tentara untuk bertindak seperti penegak hukum. Dengan tentara diberi kewenangan menyadap dan menangkap, beleid ini mengembalikan fungsi tentara tak sekadar di bidang pertahanan, tapi juga masuk wilayah hukum seperti pada zaman Orde Baru.

Choirie juga menilai definisi setiap pengertian dalam beleid ini masih longgar dan plastis. Tak ada pengertian spesifik, misalnya apa saja tindakan yang mengancam dalam kategori ancaman tak bersenjata. Ia mencontohkan, jika sekelompok orang berdemonstrasi meminta presiden turun karena tak becus memberantas korupsi, mereka bisa dikategorikan sebagai ancaman terhadap negara.

Prinsipnya, kata Choirie, hak asasi, demokrasi, dan kebebasan berekspresi tetap menjadi landasannya. "Dalam pembahasan nanti, ini yang akan dikedepankan," katanya.

Tak mau berpolemik, Kementerian Pertahanan menyerahkan segala kritik dan masukan itu dibahas di DPR. Menurut Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Pos M. Hutabarat, rancangan itu hasil pembahasan panjang antarkementerian, bahkan sudah didiskusikan dalam rapat koordinasi politik dan keamanan. "Segala masukan nanti dibahas saat pembicaraan dengan DPR," katanya dua pekan lalu.

Pernyataan Hutabarat ini menang­gapi permintaan koalisi 70 tokoh nasional beberapa hari sebelumnya, yang secara resmi meminta pemerintah merombak total RUU Keamanan Nasional dan mendengarkan lebih banyak suara publik. Para tokoh itu khawatir beleid ini mengembalikan Indonesia ke zaman represif kekuasaan Soeharto.

Direktur Setara Institute Hendardi dalam rilisnya mengibaratkan rancangan ini seperti mobil yang berdesain baru tapi mesinnya lama. Itu karena pemulihan keamanan memakai pendekatan militer dengan menerapkan keadaan darurat sipil dan militer.

Bagja Hidayat, Kartika Chandra


Pasal Genting Itu
Inilah sejumlah pasal dalam RUU Keamanan yang dianggap berbahaya karena, antara lain, mengandung multitafsir dan dinilai bisa membungkam demokrasi.

Pasal 1 ayat 2
Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.

Pasal 1 ayat 1 angka 3
Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.

Penjelasan pasal 4 huruf c
Pencegahan dini merupakan langkah dan tindakan untuk mencegah terjadinya potensi ancaman oleh instansi pemerintah terkait agar tidak berkembang menjadi ancaman nyata atau memperkecil dampak akibat dari ancaman apabila terjadi.

Penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c
Yang dimaksud dengan ancaman tidak bersenjata adalah ancaman yang tidak menggunakan senjata, dan/atau yang ditimbulkan oleh bencana alam dan non-alam yang membahayakan keselamatan instansi, keselamatan publik, keselamatan negara dan pertahanan negara di segala aspek kehidupan, antara lain kerusuhan, penyakit menular, gempa bumi, dan tsunami.

Pasal 17 ayat 2 huruf c
Bentuk ancaman tidak bersenjata merupakan ancaman terhadap keamanan publik dan keamanan instansi antara lain: 12. penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa 19. diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi

Pasal 24 ayat 3
Dalam menetapkan kebijakan dan strategi keamanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 2, presiden dibantu oleh anggota Dewan Keamanan Nasional.

Pasal 54
Pengawasan terhadap penyelenggaraan Sistem Keamanan Nasional dilakukan secara berlapis melalui suatu mekanisme pengawasan konsentrik sesuai dengan pengamanan demokratis yang meliputi:
e. Pengawasan penggunaan kuasa khusus
Penjelasan :
Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur Keamanan Nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa sah lainnya yang pengawasannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sumber: RUU Keamanan Nasional, wawancara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus