Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lumrah bila tiga partai besar—Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan—setuju menaikkan batas perolehan suara sebagai syarat masuk parlemen. Meningkatnya parliamentary threshold itu jelas menguntungkan partai besar. Pesaing politik mereka akan berkurang. Kendati belum ada kesepakatan batas jumlah suara itu, bisa dipastikan dalam pemilu mendatang jumlah partai di parlemen akan susut. Di satu sisi, berkurangnya jumlah partai bisa membuat pemerintahan yang kelak terbentuk lebih stabil. Apalagi bila pemenang pemilu mendatang memilih berkoalisi dengan semua partai. Tapi, di sisi lain, ada kekhawatiran pengurangan jumlah partai itu akan memunculkan "kartel politik" yang merugikan demokrasi dan mengurangi keberagaman aspirasi.
Boleh dikata, suara tiga partai besar itu sangat mempengaruhi pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan. Sebelum revisi, dalam pasal 202 undang-undang itu dinyatakan partai yang ikut pemilu bisa hadir di parlemen jika di seluruh Indonesia mendapat sedikitnya 2,5 persen suara. Dengan ketentuan itu, dari 39 partai yang ikut Pemilihan Umum 2009, hanya sembilan partai yang lolos ke Senayan.
Bila ambang batas 2,5 persen itu dinaikkan, katakanlah sampai 3 persen, jelas partai yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat akan berkurang jumlahnya dari sembilan. Kalau "perjuangan" PDIP dan Golkar dalam mengegolkan batas 5 persen berhasil, jumlah partai penghuni DPR ditaksir akan tinggal enam. Apabila batas ditetapkan sebesar 4 persen, seandainya persentase perolehan suara dalam pemilu mendatang tak berubah dibanding Pemilu 2009, hanya ada delapan partai yang bertahan di DPR.
Kami tak ingin ikut dalam perdebatan ambang batas suara itu. Yang perlu dijamin: hak berserikat warga negara, sesuai dengan amanat konstitusi, tidak dikebiri melalui revisi undang-undang atau ketentuan hukum lain. Mendirikan partai politik merupakan hak yang dijamin konstitusi, sehingga syarat pendirian partai baru seharusnya ditetapkan seringan mungkin. Dalam perumpamaan ekstrem, lima orang pun berkumpul untuk mendirikan partai seharusnya tak boleh dihalang-halangi dengan ketentuan berat.
Lain cerita jika partai baru tadi mendaftar ikut pemilihan umum. Dukungan dari simpatisan, termasuk perwakilan di sejumlah provinsi, memang perlu ditetapkan dengan syarat yang cukup pantas. Syarat itu perlu ditetapkan sedemikian rupa sehingga partai yang tak punya basis dukungan kuat tak gampang saja lolos sebagai kontestan pemilu. Sebaliknya, partai yang punya dukungan nyata di sejumlah daerah, memiliki gagasan segar tentang perbaikan negeri, dan memiliki figur pemimpin yang baik tidak boleh terjegal oleh syarat yang kelewat berat.
Partai yang gagasannya ditolak masyarakat, sehingga perolehan suaranya kecil, semestinya berbesar hati untuk mundur dari ajang kompetisi politik. Inilah risiko berdemokrasi. Toh partai yang tak mencapai kuota untuk duduk di parlemen masih memiliki hak hidup. Awal bulan ini Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan salah satu aturan di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang menyatakan partai yang tak bisa masuk parlemen otomatis bubar.
Partai yang gagal masuk parlemen, kalau masih "penasaran" bertahan di dunia politik, masih memiliki kesempatan menawarkan gagasan baru melalui partai baru. Mereka harus memulai perjuangan dari bawah lagi. Aturan main berdemokrasi ini perlu kita junjung tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo