Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Brave One Sutradara: Neil Jordan Cerita: Roderick Taylor dan Bruce A. Taylor Skenario: Roderick Taylor, Bruce A. Taylor dan Cynthia Mort. Pemain: Jodie Foster, Terrence Howard, Naveen Andrews Produksi: Warner Bros Pictures, Village Roadshow Pictures, Silver Pictures
UNTUK puluhan tahun yang pe nuh warna, hubungan Erica Baine dan kota New York seperti sebuah bulan madu abadi. ”Sisirlah setiap helai kota ini, di sana… di Plaza Hotel, kita selalu teringat do ngeng masa kecil Eloise… atau jika kita melihat sebuah pojok New York….”
Suara Erica Baine (Jodie Foster) empuk membelai telinga pendengar sekaligus mampu mempengaruhi mereka yang tengah dihajar macet New York melalui acara radio bernama StreetWalk. Hidup seperti warna pastel bagi nya. Ia memiliki tunangan Andre Kirmani (Naveen Andrews), seorang ahli bedah keturunan India. Film ini diawali memperlihatkan kemesraan se pasang kekasih yang sibuk memilih warna undangan kawin; yang sibuk berdebat mereka cukup menikah de ngan cara sederhana atau dengan pesta yang ”wah” sembari berciuman sepanjang jalan New York dengan anjing kesayangannya. Di tengah keme sraan itulah, pasangan ini dihajar begundal jalanan. Habis-habisan. Baine babak belur mengalami koma selama tiga minggu, sementara sang kekasih tewas. Anjing mereka dicuri. Itulah New York pasca-9/11.
Setelah tragedi itu, Erica Baine melalui masa depresi yang mengoyak hati. New York bukan lagi sebuah rumah yang aman yang menimbulkan rasa damai setiap kali ia menyisir setiap pojok kota. Adegan kekerasan dan aroma darah masih terus berkelebatan mengejar malam-malam Baine yang dilalui tanpa tidur. Sementara polisi dan detektif New York berge rak seperti siput. Di mata Baine, akhirnya nasib keselamatannya harus diletakkan di tangan sendiri. Dia membeli pistol. Dan hanya beberapa menit setelah dia mengantongi senjata itu, dia sudah meledakkannya kepada seorang suami begundal yang menem bak istrinya di sebuah pasar swala yan kecil. Setelah penembakan pertama, selanjutnya jadi lebih ”mudah”. Seorang lelaki penyiksa pelacur; dua begundal jalanan, seorang dealer narkoba kelas kakap dan seterusnya....
Erica Baine menjelma menjadi se orang sosok vigilante tanpa topeng dan jubah Batman. Dia menjadi petrus yang bergerak seperti bayang-bayang. New York yang sudah capek dihajar teror malah menyambut kedatangan ”pah lawan” yang tak peduli hukum itu.
Keistimewaan film ini ternyata bukan pada adegan laga yang terus-menerus membuat jantung berdegup setiap 20 menit, setiap kali tokoh Erica Baine berhadapan dengan penjahat. Jodie Foster adalah seorang aktris istimewa selain Merryl Streep. Jika Anda ingin meli hat bagaimana Foster me ner jemahkan perkembangan dan trans formasi emosi seorang gadis ceri a yang akan menempuh hidup baru, menjadi seorang pembunuh yang isi tubuhnya berisi dendam, tontonlah film ini. Perkembangan jiwa nya tidak membutuhkan dukung an teknis dari musik atau tata cahaya apa pun (meskipun itu akan membantu ), karena seluruhnya betul-betul tertum pah pada kemampu an Jodie Foster mencu rahkan emosi Baine yang begitu mencintai kekasih nya menjadi Baine yang akhirnya dengan mu dah melepas peluru pada begundal New York.
Terrence Howard (film Clash) yang berperan sebagai Detektif Mercer sejak awal digambarkan sebagai detektif yang memiliki hati; polisi yang lurus, yang peduli dan berpihak pada mereka yang baik. Sudah diduga bahwa Mercer akan dipertemukan dengan tokoh Erica Baine (yang saat itu sudah menjelma menjadi petrus. Siang dia bekerja seba gai penyiar, malam dia membunuh). Persoalannya, Erica tahu dia melakukan sesuatu yang salah. Tapi Baine tak akan berhenti hingga dia menemukan para pembunuh kekasihnya.
Lazimnya film psychology thriller seperti ini bisa ditebak akhirnya. Namun, akhir dari film ini sungguh istimewa karena di antara klimaks pembalasan yang penuh tangis, darah, dan emosi yang tinggi, sutradara Neil Jordan masih mampu menyelipkan humor antara detektif Mercer dan Erica Baine. Tapi, meski cerita sudah selesai antara Baine dengan para begundal yang diburunya sepanjang New York, dia menyatakan satu hal yang penting: ”Saya tak mungkin kembali lagi menjadi saya yang dulu.” Dan Baine sangat merindukan dirinya yang dulu, yang berwarna pastel, yang menghargai setiap jengkal New York yang damai.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo