Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya penuh tato. Kemeja kotak-kotak merah lusuh dan celana jins hitam membalut tubuh cekingnya yang berwarna gelap. Rambutnya yang sedikit gondrong dibiarkan tergerai. Dengan bersandal jepit, dia menyusuri jalan setapak di Taman Ayodya di tepi Jalan Barito, Jakarta.
Yadi, 25 tahun, adalah salah seorang penghuni kawasan itu. Kini dia menjadi penjaga toilet umum di dekat taman tersebut. "Boleh ambil, ya, Mbak. Ini makanan kesukaan saya," kata Yadi, lalu mengunyah dua rengginang dari meja panitia Jakarta Biennale#14.2011, yang sedang membuka pameran gambar Komunitas Wedha's Pop Art Portrait di taman tersebut pada Ahad pekan lalu.
Tiga bulan lalu, rambut Yadi gimbal. Penampilannya yang urakan itu terabadikan dalam sebuah gambar seukuran 1,5 x 1,5 meter. Gambar karya Andika Danang Suhendra berdasarkan foto karya Gunawan Syarifudin, keduanya seniman Komunitas Wedha, itu menampilkan wajah Yadi dari samping kiri. Matanya menatap jauh. "Pas difoto itu saya lagi mikir, kangen pengen pulang kampung," kata Yadi, yang mengaku dari Yogyakarta.
Wajah Yadi pada gambar itu dicat kotak-kotak warna-warni, seperti merah, jambon, biru, kuning, dan cokelat. Gambar itu menempel di satu sisi sebuah kubus, yang sisi lainnya memajang potret orang-orang lain yang sering muncul di daerah tersebut. Setiap tiga kubus ditumpuk membentuk semacam menara. Enam menara tersusun dari sisi barat hingga timur taman, termasuk sebuah menara di tengah-tengah danau kecil di tengah taman tersebut. Gambar tampangnya dipajang di sana membuat Yadi merasa dihargai. "Rupanya masih ada yang peduli dengan kami-kami ini," katanya.
Yadi adalah satu dari sekitar 20 model yang gambar wajahnya dipajang di pameran yang berlangsung hingga 15 Januari 2012 ini. Para seniman Komunitas Wedha menghiasi taman yang sering menjadi tempat kencan para remaja itu dengan gambar para tokoh dari kawasan Blok M, Bulungan, Melawai, Barito, dan Taman Ayodya. Ada tokoh betulan, seperti Anto Baret, Ray Sahetapy, Sujiwo Tejo, Rizal Ramli, Teguh Esha, dan Mbah Surip. Ada pula orang biasa, seperti Pak Sobiun, pedagang pakan burung di Pasar Barito; Kang Wendi, penjual gorengan; Mamat, pedagang rujak; Pak Mista, pedagang minuman keliling; Pak Musbar, pedagang rujak bebek; Babeh Abin, pedagang burung di Pasar Barito; dan H Sa'alih, Ketua Forum Komunikasi Pedagang Kaki Lima Pasar Burung Barito. "Kami ingin menjadikan mereka tuan di rumah mereka sendiri," kata Itock Soekarso, Ketua Komunitas Wedha's Pop Art Portrait.
Menurut Sungging Priyanto, anggota Komunitas Wedha, tak mudah mendekati orang-orang biasa di kawasan itu untuk dijadikan model mereka. Pada awalnya anggota komunitasnya memotret para calon bintang itu secara diam-diam, lalu menyeleksi wajah yang kuat karakter dan ketokohannya. Setelah itu, mereka mencoba melakukan pendekatan. Foto itu disodorkan kepada sang calon model. Sambil makan gulai kambing di tikungan Bulungan atau bertemu di Taman Ayodya, mereka mengobrol enteng tentang rencana pameran ini hingga para calon model itu bersedia difoto lebih serius.
Ganjalan tentu saja ada. Sungging berkisah, saat mendekati seorang pengamen untuk dijadikan model, tiba-tiba dia ditelepon sang calon model pada tengah malam. "Dia curhat habis dimarahi 'ketua'-nya. Nah, 'ketua' ini minta kami menemui dia," ujarnya. Sungging pun menemui "sang ketua" dan mengobrol panjang. Belakangan malah sang ketua turut menjadi model mereka. "Ternyata ketua ini preman budiman. Dia membina pengamen di Ayodya agar tidak menodong dan menggunakan narkoba."
Setelah para model dipotret, proses melukis wajah pun dimulai. Lebih dari 50 seniman ikut terlibat. Mereka mulai melukis dengan teknik vektor dengan bantuan perangkat lunak pengolah gambar, seperti Adobe Photoshop, Adobe Illustrator, dan CorelDraw. Hasil olah grafis ini dicetak di atas plastik yang biasa digunakan untuk membuat poster. Bahan ini dipilih karena tahan hingga enam bulan. Hasil itulah yang kini terpajang di Taman Ayodya. "Persiapannya dimulai tiga bulan lalu, tapi selesainya baru beberapa hari ini," ujar Itock.
Karya mereka seragam dan khas: bentuk geometris dengan sudut tajam atau tanpa lengkungan dan warna-warna bertabrakan. Lukisan ini semacam bentuk yang berkembang pada kubisme seni pop, tapi tidak mengalami distorsi bentuk, hanya memotong-motong permukaan obyek dan mengisinya dengan beragam warna.
Di Indonesia, teknik ini dipopulerkan oleh Wedha Abdul Rasyid, ilustrator majalah remaja Hai era 1980-an dan 1990-an. Wedha-lah yang memvisualkan karakter Lupus dari cerita pendek karya Hilman dan ilustrasi untuk karya-karya Arswendo Atmowiloto di majalah tersebut. Dia sering pula menggambar wajah para tokoh politik, musikus, dan tokoh lain di sana. Sekitar 1990, Wedha, yang saat itu memasuki usia 40 tahun, mulai menurun daya penglihatannya sehingga tak mudah baginya untuk menggambar secara realistis dan terperinci. Maka ia mencoba cara baru dengan gaya kubisme. Gaya ini memungkinkannya untuk menyederhanakan bentuk dan mengabaikan warna aslinya. Dia menyebutnya foto marak berkotak.
Saat itu tentu saja Wedha masih menggunakan kertas dan pewarna biasa. Belakangan gaya ini berkembang luas, bersamaan dengan tersedianya perangkat lunak pengolah gambar yang mempermudah proses pengubahan foto ke bentuk kubisme. Sejumlah penggemar teknik Wedha ini lantas membentuk Komunitas Wedha's Pop Art Portrait pada 27 September 2010, bersamaan dengan pameran pertamanya di Grand Indonesia. Hingga kini, mereka sudah 14 kali berpameran. "Teknologi mempermudah kami belajar," ujar Dien Yodha, salah seorang dari 2.300 lebih anggota komunitas tersebut yang tersebar di berbagai kota dan berkomunikasi melalui jejaring sosial.
Dian Yuliastuti, Kuniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo