Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Peta Baru Biennale Jogja

Biennale Yogyakarta tahun ini menyandingkan seniman Indonesia dan India. Upaya meletakkan diri dalam peta seni rupa dunia?

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama kurator Alia Swastika (Indonesia) dan Suman Gopinath (India), akhirnya terbukalah jalan baru bagi Biennale Jogja setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Jalan baru itu kiranya akan menghela peristiwa seni rupa dua tahunan yang diawali pada 1988 itu ke peta luas seni rupa internasional.

Apa yang sebenarnya baru dalam Biennale Jogja XI, yang pameran utamanya berlangsung sejak dua pekan lalu hingga 8 Januari 2012, kali ini? Alia Swastika menggandeng Suman Gopinath untuk memamerkan karya perupa kontemporer India, bersanding dengan karya-karya Indonesia. Ini adalah seri pertama dari lima biennale internasional yang dicanangkan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta, merujuk pada nalar geopolitis negara-negara di lintasan khatulistiwa. Pameran bertajuk Equator # 1"/ Shadow Lines: Indonesia Meets India ini mengundang 25 perupa Indonesia dan 15 perupa asal India.

Perupa Indonesia didominasi perupa muda dari Bandung, seperti Erika Ernawan, 25 tahun, Ariadhitya Pramuhendra (27), Albert Yonathan (27), dan Wiyoga Muhardanto (27). Pilihan Alia cukup mengejutkan. Adapun India diwakili oleh nama-nama besar yang tak lagi muda, seperti Atul Dodiya, 52 tahun, N.S. Harsha (42), Sheela Gowda (54), Shilpa Gupta (35), dan yang tertua Valsan Korma Kolleri (58). Ini adalah pameran dengan persandingan latar budaya, tumpang tindih spiritualitas dan kepercayaan, tapi tak sepenuhnya lepas dari warna konflik politis yang cukup kental.

Gagasan yayasan ini menantang kesinambungan Biennale Jogja dengan penyelenggaraan yang makin bermutu. Selain itu, pemilihan negara sekawasan yang jitu tentunya juga penting, sampai satu dekade mendatang. Alia menyebutnya sebagai "tantangan untuk bersiasat, untuk menghindari kebangkrutan gagasan kreatif dan kekukuhan ideologis dalam rangka meletakkan diri dalam peta seni rupa dunia". Merenungkan arus globalisasi seni rupa dunia sekarang, siasat itu boleh dibilang politis. Apa identitas seni rupa global? Ketika yang global makin menggantikan konsep internasional, apa yang ditawarkan oleh seni rupa global? Tidakkah pada prakteknya yang global masih menunjukkan kuatnya dominasi dan arus seni rupa dari negara-negara maju terhadap yang pinggiran? Yang pertama sarat oleh sumber daya dan kesigapan infrastruktur yang mapan, sedangkan yang kedua berkutat dengan soal kelembagaan, pendanaan, dan dukungan masyarakat.

Menurut Alia, kemungkinan telah terjadi "penyeragaman dalam diskursus estetika global", dan karena itu Biennale Jogja ingin mengajukan semacam "tawaran untuk memberi makna baru pada konsep internasional (-isme) menjadi pendekatan yang strategis secara politis." Dikaitkan dengan pilihan temanya, yang dimaksud dengan "yang politis" di situ agaknya, bagi Alia—juga Suman—bukan soal kritik terhadap lembaga dan sistem politis. Tapi lebih sebagai kisah mengenai kelindan dan batas antara narasi religiositas, spiritualitas dan kepercayaan, antara budaya dan agama, bahkan antara agama dan nasionalisme politik. Dalam arti itu, politik bukan sebagai yang "ontologis", melainkan sebagai yang "ontis", yang ditunjang oleh praktek keseharian, yang bergerak, jamak, berbenturan.

Di halaman depan Jogja National Museum (JNM), ditampilkan Sites of Gods (instalasi dan pertunjukan) karya Jompet Kuswidananto. Karya ini menggambarkan situasi yang disebutnya sebagai "realitas ketiga" dunia pascakolonial. Karya Jompet mengembuskan suasana asing sekaligus dekat, membumi tapi tak nyata, melalui penampilan orang-orang, keanehan atribut dan busana, jejak arsitektur serta teks "budaya". Ada sosok mirip punggawa keraton atau satpam kantoran, di antara pilar-pilar yang menyiratkan semangat lokal Jawa. Sesuatu yang kukuh dari masa silam, tapi masih terus hadir di masa kini, menciptakan identitas, sekaligus bagian paling kabur untuk didefinisikan. Bersisian dengan karya Jompet ada karya Valsan Korma Kolleri, sebuah arsitektur gerbang yang dibangun dari bahan alam (tanah subur dari letusan Merapi, serat alami, dan bambu). Valsan menyerap kedalaman spiritualitas alam, membaurkan antara patung, instalasi site spesifik dan arsitektur untuk meraih keintiman purba dengan bumi. Alam atau bumi menyimpan segala bentuk inti dan paling bersahaja, dan agaknya itulah tanda hadirnya yang spiritual. Di negerinya, Valsan dikenal sebagai seniman yang bekerja dengan hutan, air, sampah, dan lingkungan sekitar.

Pada sejumlah ruangan terpisah di JNM kita bersua dengan karya obyek dan instalasi Nurdian Ichsan, Linkage, dan Albert Yonathan, Cosmic Labyrinth: The Bells. Nurdian menggunakan media tanah liat dan air, menampilkan sosok seukuran orang dewasa, yang secara perlahan hancur oleh tetesan air. Karyanya membawa kita pada suasana eksistensialistis, paradoks antara kebebasan dan otonomi subyek, sekaligus tanda kerapuhannya. Albert menyusun obyek berbentuk lonceng atau kuil dari bahan terakota menjadi kesatuan lingkaran dan labirin, memantulkannya kembali pada ketidaknyataan gambar-gambar dan kekosongan yang bergema.

Gagasan spiritualitas kosmis kuat tersirat pada karya site spesifik N.S. Harsha yang menggarap lantai sebuah ruangan JNM dengan cipratan cat. Harsha menyelesaikan sekali jadi "lukisan lantai"-nya dan dengan menyadari sepenuhnya struktur kemenjadiannya. Ia mengajak kita "mengalami" chaos semesta menurut imajinasi sang seniman. Lantai menjadi bentangan langit kelam, dengan bintang-bintang dan galaksi yang menyimpan misteri penciptaan. Kita tercenung di hadapan teka-teki nocturnal lukisan Harsha. Subyek merdeka-esoteris dan manusia yang merasa bagian dari keutuhan-holistik alam, keduanya mengandung gagasan spiritualitas dalam pandangan seniman di masa kini.

Di dalam ruangan JNM inilah kita menemukan karya-karya terbaik Biennale Jogja XI. Shilpa Gupta menempeli dinding dengan stiker berisi tulisan "There is No Borders" berwujud bendera berkibar, disisipi oleh pesan-pesan puitis tentang kemerdekaan yang dibayangkan laksana awan berarak atau langit yang tak terjangkau. Belasan potongan gambar dari reproduksi lukisan Piero della Francesca (Piero Pierced/Breakfast Project) menunjukkan jejak tusukan atau lubang peluru pada lukisan-lukisan religius pelukis zaman Renaisans. Itu karya Atul Dodiya. Religiositas bertaut dengan tradisi-tradisi besar keagamaan seakan terkoyak dan jatuh menjadi peristiwa kekerasan banal seperti diberitakan surat kabar. Koran telah menggantikan bacaan religius pada pagi hari, dan di antara itukah sebenarnya keindahan yang diyakini oleh seniman masih bersikukuh? Tiang gantungan yang angker, simbol kematian, menjadi obyek keindahan karena sebait puisi oleh mistikus? Dodiya mungkin mengkontemplasikan paradoks terdalam mengenai makna keindahan yang dituntut oleh "seni", dan kebanalan yang membayangi jantung tiap seniman di masa kini. Gagasan religiositas sebagai "agama yang eksesif" kerap berujung pada skema fundamentalis untuk mengembalikan preseden Ilahi, sehingga sejarah harus melayani teologi dan hukum dipisahkan dari gagasan kesetaraan, tulis Suman. Mungkin di titik inilah tema Biennale ingin dimaknai. Spiritualitas berpihak pada gagasan imajis dan kepercayaan intuitif para seniman, sedangkan religiositas berkelindan di ranah publik.

Melati Suryodarmo membungkus tubuh dengan karpet hitam, tertancap menghadap tembok selama dua jam, hampir setinggi langit-langit. Itulah karyanya, Conversation with the Black. Melati seakan mengiyakan bahwa manusia pada dasarnya bukanlah sepenuhnya active being, apalagi agresif. Diri adalah lokus paling kontemplatif yang menyentuh "batasan cair antara tubuh dan lingkungan".

Kendati menyentuh gagasan mengenai kepercayaan yang bisa menyasar kepada keagamaan para seniman, simbol-simbol religius dalam konteks itu tak tampak di pameran ini. Tiap agama mengandung sesuatu yang sangat partikular, ujar Habermas. Sekularisasi masyarakat mendorong agama-agama untuk memikirkan tempat yang non-eksklusif dalam wacana universal. Dengan begitu, relativisasi posisi, misalnya, tidak sama dengan relativisasi dogma atau iman.

Kritik terhadap praktek keberagamaan di ruang publik menjadi tema karya Setu Legi , Berhala/Idols. Ia menampilkan alat pengeras, sosok dengan busana keagamaan tertentu dan bermacam obyek lain. "Partikularitas" berlebih-lebihan di ruang publik yang demokratis dipertanyakan oleh Setu Legi. Sang seniman memohon pada kita untuk menimbang konteks budaya, seperti keyakinan Krisna Murti pada karya e-ART-h-quake No. 4. Busana kerudung yang melekat pada perempuan yang menggenggam lampu senter mainan—di antara citra virtual empasan ombak—bukanlah identitas religius yang paling esensial menurutnya. Di titik inilah seniman mengkritik keberagamaan publik dan kembali pada universalitas kepercayaannya sendiri.

Hendro Wiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus