Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Ruang Kerinci, Hotel Sultan, Jakarta, Syarifuddin Hasan membuat urut-urutan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Politikus anggota koalisi pendukung pemerintah hadir pada pertemuan Ahad malam tiga pekan lalu itu. Hampir semua setuju Bambang Widjojanto harus dipilih. Namun perpecahan segera muncul untuk memilih tiga pemimpin antikorupsi lainnya.
Ada delapan kandidat yang diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat: Bambang, Yunus Husein, Abraham Samad, Adnan Pandupraja, Zulkarnain, Abdullah Hehamahua, Aryanto Sutadi, dan Handoyo Sudrajat. Hanya separuh yang dipilih untuk bergabung dengan Busyro Muqoddas, yang kini memimpin komisi antikorupsi. Partai Demokrat—partai Syarif—tegas menginginkan Yunus. Yang lain mengingatkan agar hasil uji kelayakan dan kepatutan di Komisi Hukum Dewan tetap dipertimbangkan.
Seorang politikus bercerita, rapat malam itu dihadiri Marwan Ja'far (Partai Kebangkitan Bangsa), Tjatur Sapto Edy dan Andi Anzhar Cakra Wijaya (Partai Amanat Nasional), Azis Syamsuddin (Golkar), Muhamad Arwani Thomafi (Partai Persatuan Pembangunan), serta Abu Bakar (Partai Keadilan Sejahtera). Selain mengutus Syarif, Sekretaris Sekretariat Gabungan koalisi, Demokrat mengirim Saan Mustopa dan Jafar Hafsah.
Komposisi pemimpin dari unsur kepolisian juga diperdebatkan. Adnan Pandu, anggota Komisi Kepolisian Nasional, dinilai cocok dan tidak menimbulkan penolakan seperti halnya Inspektur Jenderal Aryanto Sutadi. "Track record Aryanto dinilai kurang," kata seorang peserta. Sampai bubar menjelang tengah malam, rapat belum bisa mengambil keputusan.
Pertemuan dilanjutkan Kamis malam dua pekan lalu—atau sehari sebelum pemilihan di Komisi Hukum Dewan. Berlangsung di kantor Sekretariat Gabungan, Jalan Diponegoro 43, Menteng, Jakarta Pusat, dengan suguhan bakso, semua ketua fraksi anggota koalisi hadir, kecuali PKS.
Di awal pembicaraan, daftar calon terpilih mengerucut ke tiga nama: Bambang, Abraham, dan Adnan Pandu. PAN menyatakan setuju, begitu pula Marwan dari PKB. Lalu Setya Novanto dari Golkar mengatakan, "Saya bukan setuju tiga, tapi empat. Satu lagi Zulkarnain." Syarif langsung menolak, "Jangan Zulkarnain. Yunus saja."
Di tengah perdebatan, Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat datang terlambat dan langsung menyampaikan pendapat. "Masak, diisi advokat semua? Bambang advokat, Abraham advokat, Pandu juga. Kita perlu polisi." Dia mengajukan nama Aryanto dan Yunus. "Yunus ahli keuangan." Menurut seorang peserta rapat, pernyataan Benny dianggap merusak peta koalisi. "Banyak yang keluar waktu dia ngomong," ujarnya.
Tak lama kemudian, Jafar Hafsah menyusul masuk. Kepada hadirin, dia mengaku dari Istana. "Presiden ingin Yunus dan Aryanto," katanya. Alasannya tak berbeda dengan yang sudah disampaikan Benny. Suasana rapat tambah kacau.
Sewaktu membicarakan calon ketua yang akan disokong, semua pemimpin fraksi sepakat pada nama Abraham Samad, kecuali Demokrat. Sinyal dari Cikeas kembali diajukan: Yunus, Busyro, atau Bambang. Kemudian menciut jadi dua nama, yakni Busyro dan Bambang. Pada saat itu, peserta tersebut menceritakan, Benny bilang, "Busyro saja." Syarif langsung menolak, "Jangan Busyro. Masak, kementerian saya dianggap korup?" Dua hari sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis kementerian-kementerian yang dianggap korup, termasuk Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah yang dipimpin Syarif.
Syarif dan Benny segera terlibat perdebatan, yang membuat peserta dari fraksi lain kesal. "Sudahlah, Demokrat selesaikan dulu. Kami keluar," kata seorang ketua fraksi. Rapat diskors.
Saat ditanya soal perdebatan itu, Benny tak mau menanggapi. Adapun Syarif mengatakan tak pernah memaksakan agar Yunus dipilih. "Saya tidak menolak Busyro jadi ketua. Kami tidak pernah menolak atau merekomendasikan siapa pun," katanya Jumat pekan lalu.
Sumber di dalam koalisi tersebut memastikan, rapat malam itu benar-benar payah karena Demokrat ngotot berkeras mengegolkan dua jagoannya. Ia menirukan pernyataan Syarif di ujung pertemuan, "Kita lihat perkembangan besok. Ada rapat kabinet jam 9. Nanti diomongin SBY." Maksudnya, Susilo Bambang Yudhoyono akan berbicara dengan para pemimpin partai politik yang menjadi menteri.
Sekitar tengah malam, rapat berakhir dengan deadlock. Semua pulang tanpa keputusan jelas.
DI malam yang sama, pertemuan lain yang lebih guyub digelar oleh "koalisi Century" di restoran Jepang, Basara, di Gedung Summitmas, kawasan Sudirman, Jakarta. PDI Perjuangan diwakili Trimedya Panjaitan. Lalu ada Bambang Soesatyo dan Aziz Syamsuddin dari Golkar, Nasir Djamil dan Abu Bakar dari PKS, Ahmad Yani dari PPP, serta Pius Lustrilanang, yang menggantikan Desmon Mahesa dari Gerindra. Syarifuddin Suding berhalangan datang karena meriang, tapi terus memantau melalui telepon.
Menurut Trimedya, pada acara makan malam bersama itulah kesepakatan kelompok kembali ditegaskan. "Yang jelas, Abraham Samad tidak ada di situ," Trimedya menyebutkan.
Lobi untuk mengegolkan Abraham masih berlanjut sampai Jumat pukul 08.00 WIB di Hotel Crowne. Di situ hadir Setya Novanto, Marwan Ja'far, Bachrudin Nasori (PKB), Nasir Djamil, Trimedya, Martin Hutabarat (Gerindra), dan Hasrul Azwar (PPP). Dalam pertemuan satu jam ini, Abraham Samad hadir.
Suara bulat: Bambang, Abraham Samad, Adnan Pandu, dan Zulkarnain. Soal ketua, Busyro dianggap terlalu keras menyerang politikus Senayan. Bambang dianggap masih terikat dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Dia juga dinilai terlalu dekat dengan pemimpin lama, seperti Erry Riyana. Adapun Zulkarnain dianggap terlalu senior. "Sekalian saja orang dari luar: Abraham Samad. Dia dianggap bebas dan tak terikat siapa pun," kata seorang politikus, menyebutkan kesimpulan rapat.
Sumber yang sama mengatakan pertemuan dengan Abraham Samad ini disebut sebagai kontrak sosial. Motor pertemuan ini adalah Marwan dan Setya. Dalam beberapa kali pertemuan informal, Marwan mengungkapkan kekesalannya kepada Presiden, yang dianggap tidak melindungi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam perkara suap di kementeriannya. "Yang penting ketua umum saya jangan sampai kena," sumber ini menirukan pesan Bachrudin Nasori kepada Abraham. Sedangkan Setya tak menitip pesan apa pun, "Nanti saja."
Nama-nama yang disebut hadir dalam pertemuan Crowne itu kompak membantahnya. "Tidak ada pertemuan itu. Saya baru ke luar rumah untuk salat di DPR," kata Hasrul. "Ah, saya malah baru dengar kalau ada pertemuan itu. Apalagi sampai ada pesan pada (Abraham) Samad," ujar Bachrudin Nasori. Marwan pun mengaku masih tidur pada Jumat pagi itu. "Saya ini 'bangsawan'—bangsa tangi awan (bangun siang)." Martin juga bilang tak tahu soal rapat itu.
Trimedya mengaku diundang melalui BlackBerry Messenger dari seorang peserta untuk datang ke Crowne pagi itu. "Tapi saya tidak datang," ujarnya.
Menurut dia, yang dilakukan "koalisi Century" pada Jumat siang itu adalah pemantapan kesepakatan melalui acara makan bersama di ruang rapat Fraksi PKS di Gedung Nusantara I. "Habis Jumatan, kami kumpul. Sengaja kami pesan kepada teman-teman PKS agar menyediakan nasi kebuli sebagai hidangan," Trimedya bertutur. "Habis makan, kami bareng-bareng masuk ke ruang pemilihan dengan mencolok, karena yakin sekali akan menang."
Ditemui di Jakarta, Abraham Samad mengatakan pada Jumat pagi itu ia baru tiba dari Makassar menumpang pesawat Garuda. "Tidak ada deal-deal seperti itu," katanya. "Saya tahu, sebagai orang kampung, pasti banyak yang meragukan saya. Tapi saya kan bukan tiba-tiba berkiprah di arena antikorupsi ini." Ia kembali menyampaikan janjinya akan mundur dan pulang kampung jika dalam setahun tak bisa melakukan sesuatu yang berarti di KPK.
Ketika Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menggelar pemungutan suara pada Jumat dua pekan lalu, hasilnya sudah bisa diduga. Abraham, Bambang, Zulkarnain, dan Adnan Pandu terpilih. Ketika digelar lagi pemungutan suara buat menentukan ketua (yang juga diikuti Busyro), Abraham Samad terpilih dengan dukungan 43 suara. Busyro Muqoddas, yang kini masih memimpin KPK, hanya meraih 5 suara. Adapun Bambang Widjojanto mendapat 4 suara, Zulkarnain memperoleh 3 suara, dan Adnan Pandu hanya 1 suara.
Benny Harman mengatakan kecewa berat. Menurut politikus Partai Demokrat ini, paket pemimpin KPK yang baru terpilih itu mencerminkan lemahnya koalisi partai-partai pendukung pemerintah. Bahkan kolega Benny di Demokrat, Ruhut Sitompul, terang-terangan memilih Abraham Samad. Ia mengatakan memilih Abraham karena sama-sama "anak kolong"—keluarga tentara. "Begitu dia bilang sebagai juniorku di Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri, luluhlah hatiku," Ruhut mengatakan.
Abraham menyatakan siap menghadapi banyaknya berita miring seputar keterpilihannya. "Makanya saya tak akan mengkonfrontasi soal itu. Percuma saja," ujarnya. Yang masih sulit ia terima adalah saat ia dicap sebagai fundamentalis dan terlalu dekat dengan kelompok garis keras.
Beberapa media memang menulis bahwa Abraham dikenal pernah membela kelompok seperti Laskar Jundullah, Abu Bakar Ba'asyir, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan. Pada 2002, ia juga menjadi pengacara untuk terdakwa terorisme Agus Dwikarna. Ketika Ba'asyir mengunjungi Makassar pada Juli 2009, Abraham ikut menyambutnya. Katanya, "Masak, gara-gara itu saya dibilang fundamentalis sampai ditanya-tanyai soal Pancasila seperti anak SD."
Y. Tomi Aryanto, Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo